Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Nasionalisme yang memudar?

Ada keturunan cina yang belajar di luar negeri enggan kembali ke indonesia. keterikatan terhadap indonesia tipis. tidak kurang yang memilih indonesia sebagai daerah akar. ada yang terjun non-bisnis.

21 Juli 1990 | 00.00 WIB

Nasionalisme yang memudar?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEORANG siswi Indonesia yang belajar di sebuah SMA di Australia belum lama ini mengeluh: banyak temannya yang keturunan Cina bersikap seperti bukan orang Indonesia, begitu tiba di Australia. "Kami orang Cina yang tinggal di Indonesia," begitu selalu mereka mengaku. Keluban yang mirip datang dari seorang mahasiswa Indonesia yang belajar di AS: banyak temannya (keturunan Cina) yang menanggalkan "nama Indonesia"-nya, dan kembali memakai "nama Cina", begitu sampai di Amerika. Dua cerita ini mencuatkan pertanyaan: apakah ini merupakan gejala baru di antara generasi muda keturunan Cina Indonesia? Mengapa keterikatan mereka dengan tanah kelahiran Indonesia begitu tipis? Memang, perkembangan komunikasi, mobilitas yang tinggi, dan gejala globalisasi adalah gejala dunia. Kini orang dengan mudah pergi ke mana saja ke seluruh dunia, atau belajar ke negara mana pun. Keterikatan dengan negara kelahiran bisa saja makin merapuh. Seberapa jauh gejala ini menyebar di kalangan generasi muda nonpri Indonesia yang belajar ke luar negeri? Jumlah mereka memang banyak. Sebagai gambaran, kini ada 9.500-an mahasiswa Indonesia di AS. Ditaksir, sekitar 70% di antaranya keturunan Cina. Dalam bukunya yang berjudul Warga Baru: Kasus Cina di Indonesia, Siswono Yudohusodo (sekarang Menteri Negara Perumahan Rakyat) mencatat banyak mahasiswa Indonesia yang belajar ke luar negeri enggan kembali ke tanah air. Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa keturunan Cina. Mengapa mereka enggan pulang ke Indonesia? Ternyata alasannya tidak selalu berkaitan dengan menipisnya nasionalisme. Lihat saja contoh yang terdapat dalam buku itu tentang seorang WNI keturunan Cina yang kemudian menetap di Toronto, Kanada, seusai menyelesaikan studi selama enam tahun di sana. Alasannya: dia sudah menikah dengan warga Kanada dan dikaruniai dua orang anak. "Bukankah wajar kalau istri (dan anak-anak) saya tidak bisa meninggalkan Kanada karena kedua orangtuanya telah lanjut usia dan saya memilih tetap tinggal di sini?" katanya. Memang ada faktor lain yang ikut memperkuat kecenderungan alasan masing-masing. Misalnya, adanya perlakuan sebagai warga kelas dua di "tanah air" mereka sendiri. Termasuk kebijaksanaan pengetatan kemungkinan keturunan Cina melanjutkan studinya di universitas negeri. Soal jaminan hukum yang belum pasti ini tampaknya memang membuat banyak warga keturunan Cina enggan pulang setelah selesai studi. "Teman-teman yang memilih tinggal dan bekerja di Amerika, kebanyakan karena di sana mereka merasa secured, terjamin. Mereka tahu mereka boleh membeli apa saja yang mampu mereka beli, bisa melangsungkan hubungan kekeluargaan. Peraturannya juga sudah jelas," kata seorang bekas mahasiswa keturunan Cina di AS yang kini membuka usaha biro iklan di Jakarta. Tak semua mahasiswa keturunan Cina enggan pulang ke tanah air. Misalnya Amri Sidin, bukan nama sebenarnya, yang telah menyelesaikan lima tahun studinya di AS. Sejak sebelum berangkat ke luar negeri, menurut Amri, 26 tahun, tidak terpikir bahwa ia tidak akan kembali ke Indonesia. Karena itu, ia memilih belajar ilmu yang bisa dimanfaatkan di Indonesia. "Saya kan lahir di Indonesia," katanya. Amri mengambil contoh Douwes Dekker dan banyak lagi keturunan Belanda yang menjadi WNI dan mengakui Indonesia sebagai tanah air yang menghidupinya. "Mereka tahu bahwa mereka sebenarnya berakar di Indonesia. Orang Belanda saja begitu, apalagi orang keturunan Cina yang akarnya di Indonesia lebih jauh daripada Belanda," tambahnya. Contoh lain adalah Putera Sampoerna, 42 tahun, yang menghabiskan hampir seluruh masa pendidikannya di luar negeri. Demikian pula anak-anaknya. Hal itu, menurut dia, tidak akan menjadikan seseorang melupakan akarnya. "Semua orang harus punya tempat di mana dia harus mengakar. Seperti juga hewan, gajah misalnya, biarpun sudah berjalan ke sana kemari, toh dia akan kembali mencari daerahnya. Nah, saya hidup di Indonesia dan saya bangga jadi warga negara Indonesia. Kalau saya mati, saya tidak akan minta dikuburkan di Amerika," ujar Direktur Utama PT HM Sampoerna, perusahaan rokok terbesar di Surabaya itu. Sofjan Wanandi, tokoh Angkatan '66, menganggap pengaruh internasionalisasi tidak selalu berkonotasi negatif. Menurut pimpinan kelompok Gemala dan Pakarti Yoga ini, generasi muda Cina keluaran sekolah luar negeri tampak sombong, bukan karena "kecinaannya", melainkan karena rasa "keindonesiaannya" dan prinsip kesamaan hak yang mereka dapat dari dunia pendidikan. "Mereka melihat semua orang sama, berpandangan kalau saya punya uang, saya bisa beli apa saja. Bisa beli rumah segede apa pun, karena saya punya hak, saya Indonesia," analisa Sofjan. Gambaran generasi muda Cina tidaklah selalu berhubungan dengan simpul-simpul ekonomi atau kemewahan. Banyak juga yang terjun ke dunia di luar bisnis. Misalnya Osdar -- nama samaran -- yang terjun di LSM (lembaga swadaya masyarakat). "Apakah saya punya banyak pilihan? Kadang-kadang, terpikir juga enaknya kalau saya jadi direktur BCA, misalnya," kata pemuda gondrong dengan kaca mata minus ini. Tampaknya memang tidak mudah mengukur kadar "nasionalisme" generasi muda keturunan Cina. Supriyanto atau Cian Ning, mahasiswa ITB yang diadili karena terlibat "peristiwa 5 Agustus" di Bandung, berang ketika jaksa menyebut-nyebut dirinya dengan embel-embel WNI keturunan Cina. Hal itu, menurut dia, "berbau rasialis" dan "tidak Pancasilais". Mungkin kita memang harus bersikap, seperti yang dikatakan Amri, "Tidak ada generalisasi, itu tergantung orangnya." Rustam F.M., Liston P.S., Ardian T.G. (Jakarta), dan Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus