KAMIS pekan lalu penjual buku tua itu meninggal. Bukan oleh kepingan granat yang telah beberapa puluh tahun terselip di kepalanya. Ia meninggal dalam usia 68 tahun di kota kecil Purmerend, 20 km dari Amsterdam, konon karena serangan jantung -- beberapa jam setelah marah-marah pada wartawan yang memburu masa lalunya. Masa silam memang terus memburu Raymond Paul Pierre Westerling. Kapten "Turk" Westerling, begitu ia lebih dikenal di Indnesia, bisa dikatakan tidak bisa dicoret dari sejarah Indonesia. Kalaupun ia tercatat dengan bau dendam, itu pun bisa dimengerti. Westerling telah meninggalkan jejak-jejak berdarah dalam masa singkat petualangannya di Indonesia. Ia bahkan di juluki "Alogojo Pembunuh 40 Ribu Rakyat Sulawesi Selatan". Meski begitu, Westerling selalu menganggap tindakannya benar. "Yang saya jalankan itu adalah melindungi penduduk dari teror orang yang mengaku nasionalis," begitu pengakuannya berkali-kali. Westerling sendiri menganggap tokoh nasionalis Soekarno sebagai "orang yang paling saya benci". Mungkin karena itulah Westerling gusar, ketika sejarawan Belanda Prof. Leo de Jong, dalam buku yang akan segera terbit -- tapi sebagian telah diungkapkan mengatakan bahwa pasukan Belanda di Indonesia pada 1945-1950 telah melakukan kekejaman seperti yang dilakukan tentara Nazi Jerman dan Jepang semasa Perang Dunia II. Westerling menganggap amat memuakkan bahwa sejarawan itu menulis tanpa berbicara dengan para pelaku sejarah tadi. Julukan "Si Turki" (De Turk) diperoleh Westerling karena ia dilahirkan di Turki. Ayahnya seorang Belanda dan ibunya orang Yunani, tapi bekerja sebagai pedagang karpet di Turki. Waktu Perang Dunia II pecah dan Belanda diduduki Jerman, Westerling yang berusia 21 tahun mendaftar menjadi serdadu dan dilatih sebagai pasukan komando di Inggris. Menurut pengakuannya, ia pernah ikut bertempur melawan Jerman di Eropa, sebelum dikirim ke Filipina untuk ikut melawan Jepang. Pada 1945 ia bertugas di Medan (Sum-Ut). Maka, dimulailah kisah-kisah petualangan Westerling yang membuat geger, antara lain pembunuhan di Sulawesi Selatan 11 Desember 1946 -- yang konon memakan korban 40 ribu orang. Kemudian juga Peristiwa APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung 23 Januari 1950. Waktu itu Westerling membentuk sebuah pasukan partikelir yang dituntutnya agar dijadikan tentara resmi Negara Pasundan. Pada 23 Januari 1950, Westerling menyerang Bandung dan kemudian juga Jakarta. Pembunuhan dan kekejaman yang dilakukan Westerling waktu itu membuat marah seluruh Republik. Westerling sendiri selalu membantah bahwa ia membunuh dengan sadistis. "Kaum ekstremislah yang membunuh perempuan dan orang hamil," bantahnya tatkala ia diwawancarai majalah Ekspres pada 1970. Dalam wawancara itu ia juga membantah telah membunuh 40 ribu penduduk Sul-Sel. "Bisakah Anda bayangkan saya membunuh begitu banyak orang hanya dalam waktu dua bulan ?" katanya. Jumlah yang diakuinya hanya 463 orang. Tapi setelah itu, dalam beberapa wawancara lainnya, Turk menyebutkan angka 4 ribu. Keganasan Westerling, terutama dalam Peristiwa APRA, yang menewaskan 79 pasukan Siliwangi, plus enam warga sipil, akhirnya mendorong Komisaris Tinggi Belanda di Indonesia menghukum Westerling dan memerintahkan ia ditangkap. Sayangnya, penguberan selama empat minggu tidak membuahkan hasil. Malah tiba-tiba saja Westerling dinyatakan telah meloloskan diri ke Singapura dengan sebuah pesawat Catalina. Itu versi Dr. De Beus dalam bukunya Morgen bij het aanbreken van de dag (1977). Kemudian muncul sebuah tanggapan dari Letnan (pur.) Supardi, bekas anggota Komando Militer Kota di Tanjungpriok, yang dimuat dalam harian Sinar Harapan. Supardi menegaskan, semua aksi Westerling diketahui dan dilindungi oleh pemerintah Belanda. Buktinya, siapa lagi yang menyediakan pesawat Catalina untuk melarikan diri, kalau bukan pihak Belanda sendiri. Supardi mendukung bantahannya dengan beberapa fakta. Pada 23 Februari 1950, KMK Tanjungpriok mendapat informasi dari KMPDR (Komando Militer Pangkalan Djakarta Raya), bahwa Westerling (yang melarikan diri dari Bandung setelah kegagalan APRA) berada di Pelabuhan Il Tanjungpriok. Ditemani oleh seorang rekannya, Letnan Kusumah, Supardi pun meluncur dengan sebuah jip ke arah sasaran. Informasi yang diterima, ternyata, benar. Bersama tujuh pengawalnya, Westerling sedang bersantai, sambil minum bir. Di luar dugaan Westerling malah menghampiri Supardi dan Kusumah, mengajak minum bir. "Terpaksa saya duduk di sampingnya serta minum bir bersama-sama mereka," cerita Supardi. Itu berarti rencana Supardi untuk menembak Westerling dengan mendadak, sementara Kusumah meledakkan granat, batal. Beberapa saat, baru Supardi mengatakan bahwa Westerling "dipanggil" KMK. Tanpa protes sedikit pun, Turk menuruti ajakan itu. Tapi siapa nyana, di tengah perjalanan, Turk dan kawan-kawannya menyerang Supardi dan Kusumah, hingga keduanya luka-luka dan jip mereka terbalik. Westerling kembali ke pelabuhan. Di situ sebuah Catalina telah siap dan menerbangkan Turk ke Singapura. Setibanya di Singapura, pasukan Inggris langsung menahan Westerling. Tapi hanya dua pekan ia sudah dibebaskan lagi. Dua perwira TNI, yang diutus untuk mengejarnya, tak berhasil. Westerling sudah terbang ke Blussel. Ia kembali ke Belanda pada tahun 1952. Di sini ia sempat menikah tiga kali, walau semuanya berakhir dengan perceraian. Turk pernah berdagang barang antik, bahkan pernah mencoba menjadi penyanyi, tapi gagal. Ia tidak pernah lagi berhubungan dengan dunia militer, kendati pernah diisukan ia diminta melatih Vietkong dalam perang gerilya. "Saya jual buku saja," katanya. Budi Kusumah (Jakarta) dan Hendrix M. (Amsterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini