MINGGU malam 19 Maret sekitar jam 8 malam, tiba-tiba terdengar
ledakan di WC untuk pria lantai bawah gedung MPR di Senayan.
Tidak jelas siapa pelakunya. Sejak malam itu penjagaan makin
diperketat. Keluar-masuk pintu utama kompleks Senayan, harus
melalui pemeriksaan tiga lapis -- tak terkecuali bagi para
anggota MPR. Menurut Kapendam V/Jaya Letkol Anas Malik, ledakan
tersebut bukan bom waktu melainkan hanya pecahnya lampu neon
lantaran kortsluiting kabel.
Tapi beberapa petugas mengaku mencium bau mesiu. "Ah, bukan asap
mesiu. Asap rokok barangkali," sahut sekjen DPR-MPR Moedjono
yang ikut memeriksa. Sampai sehari setelah sidang umum usai,
pintu dari satu di antara dua WC masih ditutup rapat dengan
papan kayu.
Delapan jam sesudah ledakan itu Senin pagi subuh, 2 colt penuh
petugas ABRI menggerebeg kantor pusat Gerakan Pemuda Islam (CPI)
di Jl. Menteng Raya 58, Jakarta. Sekitar 50 orang dari 22 kepala
keluarga yang tinggal di kompleks tersebut diminta keluar.
Tapi Maksum, yang mereka cari, tidak ketemu. Maksum, yang
berasal dari Banten, adalah sekretaris GPI. Para petugas
kemudian menggeledah kantor GPI, membawa beberapa arsip dan 3
mcsin tulis. Kantor disegel dan papan nama GPI yang berlambang
bulan-bintang miring itu dicopot.
Pada saat yang bersamaan, para petugas lain menggerebeg rumah
Sholahuddin, sekretaris I GPI cabang Tanah Abang. Juga menangkap
Supriyo SH, ketua III PP-GPI di kompleks perumahan sebuah
koperasi batik di Setiabudi. Beberapa jam kemudian sebuah taksi
terbakar di depan Universitas Trikti setelah sebelumnya disiram
ecnsin. Lari ke kompleks universitas tersebut, pelakunya
berhasil ditangkap para mahasiswa dan diserahkan kepada Laksus.
'Ini juga tak jelas latar-belakangnya. Konon, sebelumnya juga
ada isyu mengajak mogok para sopir taksi tapi tak berhasil.
Tak lama kemudian beberapa orang ditangkap meski juga belum
jelas apakah ada hubungannya dengan peristiwa sebelumnya. Antara
lain Novisar Alwan, 20 tahun, yang tinggal di Tomang, mahasiswa
tingkat I FT Universitas Muhammadiyah yang baru mulai kuliah 27
Pebruari lalu. Dalam keterangannya kepada Laksus yang disiarkan
TV-RI, ia mengaku membawa bom bakar dan selebaran di sekitar RS
Islam jalan Cempaka Putih, Jakarta.
Buruh Kasar
Esok harinya, sebuah pick up agak tua merek Peugeot B 9679 AT
warna abu-abu yang memuat 2 drum bensin, terbakar di bunderan
Hotel Indonesia Sheraton jalan MH. Thamrin. Beberapa pengemudi
lain memadamkannya, sementara sopirnya melarikan diri, hingga
peristiwa ini tak jelas rangkaiannya dengan peristiwa lain.
Beberapa jam kemudian Pangdam V/Jaya Mayjen Norman Sasono
memberi keterangan pers.
Di sebuah sudut aula Makodam V/Jaya tampak tak kurang dari 16
bom bakar yang berhasil dirampas di beberapa tempat seperti
Pusat Perdagangan Tanah Abang dan HI Sheraton. Bom itu terbikin
dari botol berisi bensin campur pasir atau serbuk gergaji.
Bertutup kaleng, bahan peledak itu selain bersumbu di luarnya
juga diikatkan sekotak korek api. Bahan lain berupa potongan
pipa ledeng 60 Cm, juga bersumbu, berisi tanah liat. Bagian luar
dikerat-kerat dengan kikir barangkali biar mudah meledak.
Panglima juga menyatakan telah menggulung 39 orang yang
merencanakan membakar tempat-tempat hiburan, pusat perdagangan,
perkampungan, termasuk sebuah rumah pejabat tinggi. Mereka
terdiri dan "para penganggur, buruh kasar, karyawan, guru agama,
pelajar dan mahasiswa," kata Panglima. "Ada yang berasal dari
luar kota, seorang di antaranya dari kabupaten Lahat,
Palembang."
Panglima tak lupa menegaskan, kepada para petugas sudah
diinstruksikan "tembak di tempat" begitu kelihatan ada orang
melempar bom atau mengambil kesempatan merampok dalam kekacauan.
Tentang kebakaran di kompleks WTS Pejompongan beberapa hari
sebelumnya, menurut Panglima "mungkin saja mereka pula yang
melakukan." Yang jelas, katanya lagi, "besar kemung kinan teror
ini ada hubungannya dengan yang pernah melanda di beberapa
tempat di Sumatera." Tapi tentang terdapatnya beberapa peluru di
kompleks Pasar Induk Cipinang, kata Panglima "bisa saja, sebab
daerah itu bekas gudang peluru."
Dua hari kemudian, Kamis malam 23 Maret, 4 di antara 39
tersangka diperiksa dan dipertontonkan di layar televisi dan
diulang Minggu siang. Novisar Alwan mengaku merencanakan menuju
Senen, menunggu instruksi "senior"nya dekat jembatan
penyeberangan depan bioskop Kramat. Ia ditugaskan membakar
sebuah obyek yang ia sendiri belum tahu persis sasarannya.
Sebelumnya bersama 12 kawannya menurut rencana ia diperintahkan
melakukan semacam pembajakan bus. Bus akan dihentikan di tengah
jalan supaya jalan macet lalu ia membacakan apa yang disebut
"panca tura." Sementara kawan-kawan lainnya mencar, 20 orang
"senior" yang katanya berjaket mahasiswa Universitas
Muhammadiyah berwarna hijau dan akan muncul dari arah Salemba -
tak kunjung nongol. Sebelum semua itu terlaksana, Novisar keburu
ditangkap. Dan di Komwil Kemayoran ia bertemu dengan 3 rekan
lainnya.
Tersangka kedua Syarif Hidayat, sekretaris II GPI wilayah
Jakarta yang tertangkap bersama Suparman. Di layar televisi ia
mengaku menerima 3 bom bakar 2 hari sebelum 20 Maret untuk
membakar tempat-tempat seperti Bina Ria Ancol.
Leuwiliang
Tersangka ketiga yang diperiksa oleh Laksus adalah Sholahuddin
yang mengaku sebagai petugas pengaman bila massa turun ke jalan.
Hari Senin 20 Maret, ia mengaku kepada Laksus akan bergerak di
jalan Sabang bersama 10 pemuda GPI ranting Tanah Abang, 2 orang
dari ranting Bendungan Hilir dan 5 dari ranting Jati Petamburan.
Seorang di antaranya bernama Hatta Rais, 29 tahun, bekas
mahasiswa IAIN.
Sholahuddin juga mengaku 3 kali bertemu dengan ketua umum PP
GPI, Abdul Kadir Djaelani, terakhir hari Jum'at 17 Maret di
rumah haji Sukardi di Kebon Kacang. Ia ditugaskan membantu
membuat lebih kurang 200 poster dan menyediakan botol-botol.
Orang keempat yang dipertontonkan di layar televisi itu adalah
Supriyo, 38 tahun, asal Bantul, Yogya, beranak 3 orang. Lulusan
FH-UII Yogya tahun 1966 itu terakhir tercatat sebagai karyawan
sebuah koperasi batik di Jakarta. Ia juga mengaku sebagai ketua
III PP GPI. menurutnya, sebagian terbesar pengurus PPGPI
menolak gerakan yang direncanakan oleh Kadir. "Secara
organisatoris gerakan itu tak bisa dibenarkan," katanya kepada
pemeriksa dari Laksus.
Tidakkah pengungkapan lewat layar televisi itu melanggar asas
presumption of innocent? "Karena kesadaran hukum dari
masyarakat sudah cukup, maka hasil interogasi itu perlu
diungkap," jawab Letkol Anas Malik, Kapendam V/Jaya. Anas juga
tidak merasa perlu, misalnya, menutup mata atau menyingkat nama
para tersangka. "Nanti masyarakat tidak percaya. Pendeknya
siaran televisi itu bukan pengadilan, tapi pemeriksaan,"
tambahnya. Bahkan ia menegaskan, "sasaran kita bukanlah
'wajah-wajah yang tak bersalah' di layar televisi itu, tapi
dedengkotnya yang kini sedang kita kejar."
Menurut Anas, sampai minggu kemarin sudah 62 orang yang
tertangkap, 22 di antaranya sudah dilepas. Selain nama-nama yang
telah disebut, terdapat pula beberapa tokoh PP-GPI lainnya
seperti ketua I PP GPI Anwar Sholeh dan sekjen PP-GPI drs MU
Zainuddin Qori.
Akan halnya Kadir sendiri, sampai minggu lalu masih buron.
Kabarnya ia tinggal di kecamatan Leuwiliang, 20 Km arah barat
kota Bogor. Orang Jakarta asli yang belum berusia 40 ini memang
beristerikan wanita Bogor, beranak 4 orang. Dan terakhir
tercatat sebagai dosen luar biasa mata pelajaran agama di IPB
Bagaimana Kadir sampai aktif di GPI? GPI adalah hasil kongres
1968 di Sala, dalam rangka menasionalkan organisasi PPUI Pemuda
Persatuan Ummat Islam) anak dari PUI (Persatuan Ummat Islam)
yang berpusat di Majalengka, Jawa Barat. Hal itu dilakukan
setelah GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) dilarang oleh
Soeharno. Kadir sendiri baru tampil sebagai ketua umum PP GPI 2
tahun lalu.
Menurut Husni Thamrin, anggota DPR-MPR fraksi PP beberapa tahun
terakhir ini sikap Kadir sudah lain dari dulu. Tidak lagi
terbuka tapi lekas curiga dan emosionil. "Saya rasa dia
menderita psychosomatik," kata Husni. Hal itu barangkali
lantaran penderitaan ketika Kadir dipenjarakan di Nirbaya, di
jaman Orde Lama.
Tahun 1963 ia dituduh melakukan rapat gelap bersama Buya Hamka
dan 5 orang lainnya termasuk Mr. Kasman Singodimedjo di
Tangerang untuk melakukan kegiatan anti Soekarno. Menurut Husni
Thamrin, itu adalah fitnah Hasan Suri, anggota PKI dari kampung
Ciganjur Pasar Minggu, Jakarta.
Di penjara, Kadir disiksa hingga selama 3 bulan hanya mampu
merangkak. Baru Nopember 1965 ia bebas.
Betapa pun, tindakan oknum-oknum GPI itu kekanak-kanakan dan
mentertawakan. Ini pendapat Yusuf Hasyim, tokoh PP kepada Pelita
minggu lalu. Ia menilai hal itu bisa mengakibatkan kecurigaan
terhadap kelompok masyarakat dan di pihak lain bisa
menghilangkan arti partisipasi yang telah dilakukan kelompok
tersebut demi kepentingan bangsa dan negara.
Dan lewat layar televisi itu Panglima Norman memang meyakinkan,
bahwa tindakan membongkar latarbelakang peristiwa-peristiwa itu
"sama sekali tidaklah berarti menyudutkan sesuatu golongan atau
pun pemeluk agama Islam." Sebab, katanya lagi, "perbuatan teror
itu dilakukan oleh oknum-oknum pelanggar hukum yang merugikan
rakyat banyak."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini