20 Juli, 1956, Wakil Presiden Mohammad Hatta menulis sepucuk
surat kepada Ketua DPR, Sartono SH yang isinya antara lain:
"Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa
sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat
mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah
tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri
sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik,
saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi."
20 juli adalah hari Jum'at. Surat sampai ke DPR hari Senin,
tanggal 23 juli. Empat bulan setelah tanggal tersebut,DPR
belum memberikan tanggapan apapun. Akan hal ini, ada beberapa
dugaan DPR sibuk dengan sidang-sidang,atau DPR tidak
yakin bahwa itu keputusan akhir salah seorang dari tokoh
Dwitunggal. Dugaan lain : DPR menolak secara halus
permintaan Hatta tersebut, dengan jalan mendiamkan surat
tersebut.
Kemudian, 23 Nopember dalam tahun ang sama, Bung
Hatta menulis surat susulan tentang suratnya yang pertama.
Isinya tetap.Bahwa tanggal 1 Desember 1956, dia akan berhenti
sebagai wakil Presiden, jabatan yang telah dipegangnya selama 11
tahun. Kendati, di tahun 1955, Hatta pernah pula mengedarkan
pernyataannya bahwa bila parlemen dan konstituante pilihan
rakyat sudah terbentuk, dia akan mengundurkan diri. Dalam
negara yang mempunyai kabinet parlementer, begitu pendapatnya,
Kepala Negara adalah sekedar lambang saja dan Wakil Presiden
tidak diperlukan. Dengan tegas Hatta berkata: "Sejarah
dwitunggal dalam politik Indonesia tamat, setelah UUD 1950
menetapkan sistim kabinet parlementer. "
Tanggal 28 Nopember, DPR bersidang khusus membicarakan minta
berhentinya Wakil Presiden. Sebelumnya, sebuah Panitia
Permusyawaratan telah dibentuk untuk mempermudah rembugan
ten-tang masalah ini. Hadir dalam sidang 28 Nopember
tersebut 145 anggota.Dan sidang hanya berlangsung
selama 2 menit saja. Ketua DPR Sartono SH bertanya
kepada panitia tentang laporan sudah belumnya dibuat
tentang pertemuan mereka dengan Wakil Presiden
Mohammad Hatta. Panitia belum siap dalam hal laporan.
Gedung DPR pada waktu itu terletak di Lapangan Banteng Timur
bersebelahan dengan Departemen Keuangan yang sekarang. Sidang
dilanjutkan pada hari berikutnya, 29 Nopember. Kali ini hadir
200 anggota dan sidang cuma berlangsung 7 menit saja.Panitia
melapor kepada ketua DPK bahwa dianggap perlu untuk bertemu
dengan Presiden Sukarno untuk membicarakan hal ini. Dan Sukarno
baru akan menerima panitia keeokan' harinya, 30 Nopember.
Sidang ketiga tentang acara setuju tidaknya parlemen bila Wakil
Presiden Hatta meletakkan jabatan dilangsungkan malam hari
tanggal 30 Nopember. Jumlah anggota yang hadir bertambah dan
disemarakkan pula oleh 14 orang Menteri yang turut muncul.
Panitia memberikan laporan, pandangan umum beberapa anggota
dilontarkan dan atas musyawarah dan mufakat, DPR akhirnya
meluluskan permintaan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Akibat dari mundurnya Bung Hatta ini, DPR mencoba membahas,
siapa penggantinya.Dalam UUD hanya disebutkan bahwa
Presiden didalam melakukan kewajibannya dibantu oleh seorang
Wakil Presiden. Lantas siapa yang akan membantu Presiden
kalau wakilnya tidak ada? Tidak dijelaskan dalam UU. Sidang
kemudian diramaikan oleh pro dan kontra perlu tidaknya
jabatan wakil Presiden diisi kembali. Kalau iya siapa yang
akan menggantikan Bung Hatta? Dan pembicaraan tentang hal ini
tetap berlarut-larut sampai hanyut dengan sendirinya.
Jabatan wakil Presiden kemudian osong selama 17 tahun.
Dan barulah di tahun 1973, kursi Wakil Presiden diisi
lagi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Keluarnya Hatta dari lingkaran kekuasaan politik,
telah mengakibatkan berbagai reaksi waktu itu.
Partai NU menginginkan agar Bung Hatta tidak keluar sama
sekali dari kursi pemerintahan. Diusulkan agar Hatta duduk dalam
Badan Perencana Nasional di samping Dewan Nasional yang diketuai
Sukarno. Partai-partai IPKI, Perti, Masyumi dan organisasi
lainnya, mengharapkan sebuah Kabinet Kerja dan Hatta sebagai
pimpinannya. Pihak Angkatan Darat yang waktu itu Kepala Stafnya
adalah Mayjen A.H. Nasution dan Wakilnya Kol. Gatot Subroto,
telah berusaha memulihkan hubungan kerjasama Sukarno-Hatta.
Bahkan seusai Rapat Panglima tanggal 20 Maret 1957, KSAD, Wakil
KSAD dan ketiga Deputy (Kol. A. Yani, Kol. Ibnu Subroto dan Kol.
Dahlan Djambek) daang menghadap ke Bung Hatta untuk melaporkan
hasil rapat. Di sana dinyatakan betapa pentingnya untuk
"memelihara kesempurnaan kekuasaan sentral" dewasa itu.
Retaknya pasangan dwitunggal kian nyata, biarpun Soekarno selalu
menyangkal hal itu. Ini kentara ketika Bung Karno dalam
pidatonya di hari Sumpah Pemuda 28 Okrober 1956, ketika ia
mencanangkan betapa pentingnya sebuah demokrasi terpimpin.
Hatta, sebulan kemudian, ketika dia dikokohkan oleh Universitas
Gajah Mada untuk doktor H.C., 27 Nopember, 1956,antara lain
berkata "Demokrasi terpimpin tujuannya baik, tapi cara dan
langkah yang hendak diambil untuk melaksanakannya kelihatannya
malahan akan menjauhkan dari tujuan yang baik itu."
Sekitar 1957, pertentangan belum meruncing betul. Hatta bahkan
dalam sebuah surat kabar menganjurkan bahwa "untuk mengatasi
kesulitan yang bertumpuk-tumpuk yang sukar diatasi oleh Kabinet
Parlementer dewasa ini, sudah seharusnya diadakan Kabinet
Presidentiil di bawah Presiden Sukarno sendiri." Rupanya, atas
desakan berbagai aliran dan partai, Hatta juga mencoba untuk
bersatu kembali dengan Sukarno Ini terbukti seperti yang ditulis
dalam buku kecilnya Demokrasi Kita (semula diterbitkan oleh
majalah Pandji Masjarakat) pada halaman 19: "Bagi saya yang lama
bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan
pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance
dalam waktu yang layak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami
sendiri, apakah sistimnya itu akan menjadi suatu sukses atau
suatu kegagalan sikap ini saya ambil sejak perundingan kami yang
tidak berhasil kira-kira dua tahun yang lalu." Hatta menulis
Demokrasi Kita di tahun 1960.
Tentang DPR, ada pula kritiknya waktu itu: "Dengan perobahan
Dewan Perwakilan Rakyat yang terjadi sekarang, di mana semua
anggota ditunjuk oleh Presiden, lenyaplah sisa-sisa demokrasi
yang penghabisan. Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu
diktatur yang didukung oleh golongangolongan yang tertentu."
Dan pecahlah ikatan dwitunggal. Dan memang sulit untuk suatu
Kabinet Presidentiil kalau Presiden dan Wakil-nya mempunyai
pandangan dan pendirian yang berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini