PALICPICAN, gedung utama di Puerto Azul, tempat peristirahatan
yang terletak 58 km ke arah barat daya Manila, malam 17 Juli
lalu terasa agak panas. Hadirin yang sudah menunggu sejak
perundingan Presiden Soeharto dan Presiden Marcos dibuka jam
enam sore, hilir mudik melepas kepenatan.
Beberpa pejabat kedua negara yang duduk di lobi, bergantian
dipanggil masuk ruang perundingan. Menteri Penerangan Filipina
Francisco Tatad sempat menyelinap turun ke ruang wartawan Lewat
dia pers segera tahu bahwa Presiden Marcos dalam perundingan itu
telah minta Indonesia untuk meningkatkan penjualan minyak
mentahnya dari yang selama ini 20 ribu barrel sehari menjadi 33
ribu barrel. Bahkan disebut-sebut kemungkinan barter dengan
beras Filipina yang tahun ini dikatakan surplus.
Namun kabar itu segera dibantah. "Kita tidak melakukan barter".
kata Mensesneg Sudharmono selesai perundingan tahap pertama yang
berlangsung dua setengah jam. Dijelaskan minyak mentah Indonesia
selama ini dijual dengan harga dagang. Untuk menambah tok beras
dalam negeri, Indonesia memang akan memprioritaskan pembelian
dari Filipina. "Dan kita beli dengan harga biasa tentunya." kata
Sudharmono menjelang jamuan makan malam.
Dua kali perundingan dilakukan dalam kunjungan tidak resmi
Presiden Soeharto selama 21 jam di Filipina pekan lalu.
Hasilnya? pernyataan pers bersama 15 pasal seusai kunjungan
antara lain menyebutkan adanya kerja sama di bidang energi.
Filipina butuh NGL (Natural Gas Liquified) untuk bahan baku LPG
(Elpiji -- Liquified Petroleum Gas). Filipina setuju untuk
menanam modal dalam proyek NGL di Pangkalan Brandan dan
pemasangan pipa di Rantau, masing-masing dengan investasi
sebesar US$ 26 juta dan US$ 7,5 juta.
Apakah soal kerja sama di bidang energi merupakan pokok
perundingan? "Soal minyak merupakan bagian yang sangat kecil,"
ujar seorang anggota rombongan. Dalam pernyataan pers bersama
masalah Filipina Selatan termasuk yang disinggung paling
panjang. Indonesia memang sudah lama diminta jasa baiknya untuk
membantu menyelesaikan kemelut itu baik oleh Presiden Marcos
maupun pihak MNLF (Moro National Liberation Front) kelompok
penduduk Islam di Filipina Selatan yang memprjungkan otonomi
daerahnya. Bahkan plda pertemuan Soeharto -- Marcos di Manado
pada 1975, Nur Misuari, pemimpin pemberontak MNLF sudah pula
hadir di ibukota Sulawesi Utara itu. "Tadinya kita ingin
mempertemukan Nur Misuari dengan Marcos atau paling tidak dengan
utusannya," kata seorang pejabat tinggi. Namun pertemuan itu
gagal, karena Indonesia sendiri kemudian menilai tuntutan yang
diajukan Nur Misuari sudah melampaui pengertian batasan otonomi.
Belakangan, kedua pihak yang bersengketa itu menggunakan forum
konperensi Islam se Dunia. Dalam forum itu Indonesia turut
memberikan penjelasan. "Sepanjang masih diperlukan misalnya
mendekati Nur Misuari, kita menyediakan diri," ujar pejabat yang
sama. Sikap Indonesia dalam masalah Filipina Selatan tetap.
Dalam pernyataan pers bersama Indonesia menyatakan akan membantu
mencarikan penyelesaian masalah Filipina Selatan berdasarkan
prinsip pengakuan kedaulatan dan integritas wilayah Republik
Filipina. "Kita ingin berusaha agar apa yang jadi tuntutan
golongan yang merasa tertindas itu, yaitu hak otonomi, bisa
disampaikan kepada pemerintah Filipina," tambah sumber TEMPO
lagi.
Lebih Mudah
Masalah penduduk Indonesia di Filipina Selatan, disinggung juga
dalam pembicaraan itu. Dikabarkan dari delapan ribu, sudah empat
ratus yang dimukimkan kembali di wilayah Sulawesi Utara.
Kebijaksanaan pemerintah Filipina untuk memulangkan penduduk
Indonesia, menurut sebuah sumber, belum bisa dikatakan keras.
"Karena itu mumpung persoalannya belum menjadi besar, kita
selesaikan dari sekarang," kata Mensesneg Sudharmono.
Beberapa soal yang menyangkut bidang politik di tingkat regional
tampaknya masih perlu pembahasan lebih lanjut. Misalnya soal
patroli perbatasan yang ada hubungannya dengan kasus Sabah dan
soal Moro di Filipina Selatan penyelesaiannya masih perlu waktu
yang panjang. "Tapi Indonesia berkepentingan terhadap
penyelesaian yang cepat, karena menyangkut perbatasan dengan
wilayah kita," kata Sudharmono lagi. Dan penyelesaian lewat
pertemuan tidak resmi lebih mudah. Itu sebabnya pertemuan serupa
itu sering dilakukn Presiden Soeharto dengan para pemimpin
ASEAN lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini