Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bukan Barter Tapi Moro

Presiden Suharto mengadakan pertemuan tidak resmi dengan presiden Marcos di Puerto Azul. Kerjasama di bidang energi ditingkatkan. Indonesia membantu mencari penyelesaian masalah Filipina Selatan. (nas)

28 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PALICPICAN, gedung utama di Puerto Azul, tempat peristirahatan yang terletak 58 km ke arah barat daya Manila, malam 17 Juli lalu terasa agak panas. Hadirin yang sudah menunggu sejak perundingan Presiden Soeharto dan Presiden Marcos dibuka jam enam sore, hilir mudik melepas kepenatan. Beberpa pejabat kedua negara yang duduk di lobi, bergantian dipanggil masuk ruang perundingan. Menteri Penerangan Filipina Francisco Tatad sempat menyelinap turun ke ruang wartawan Lewat dia pers segera tahu bahwa Presiden Marcos dalam perundingan itu telah minta Indonesia untuk meningkatkan penjualan minyak mentahnya dari yang selama ini 20 ribu barrel sehari menjadi 33 ribu barrel. Bahkan disebut-sebut kemungkinan barter dengan beras Filipina yang tahun ini dikatakan surplus. Namun kabar itu segera dibantah. "Kita tidak melakukan barter". kata Mensesneg Sudharmono selesai perundingan tahap pertama yang berlangsung dua setengah jam. Dijelaskan minyak mentah Indonesia selama ini dijual dengan harga dagang. Untuk menambah tok beras dalam negeri, Indonesia memang akan memprioritaskan pembelian dari Filipina. "Dan kita beli dengan harga biasa tentunya." kata Sudharmono menjelang jamuan makan malam. Dua kali perundingan dilakukan dalam kunjungan tidak resmi Presiden Soeharto selama 21 jam di Filipina pekan lalu. Hasilnya? pernyataan pers bersama 15 pasal seusai kunjungan antara lain menyebutkan adanya kerja sama di bidang energi. Filipina butuh NGL (Natural Gas Liquified) untuk bahan baku LPG (Elpiji -- Liquified Petroleum Gas). Filipina setuju untuk menanam modal dalam proyek NGL di Pangkalan Brandan dan pemasangan pipa di Rantau, masing-masing dengan investasi sebesar US$ 26 juta dan US$ 7,5 juta. Apakah soal kerja sama di bidang energi merupakan pokok perundingan? "Soal minyak merupakan bagian yang sangat kecil," ujar seorang anggota rombongan. Dalam pernyataan pers bersama masalah Filipina Selatan termasuk yang disinggung paling panjang. Indonesia memang sudah lama diminta jasa baiknya untuk membantu menyelesaikan kemelut itu baik oleh Presiden Marcos maupun pihak MNLF (Moro National Liberation Front) kelompok penduduk Islam di Filipina Selatan yang memprjungkan otonomi daerahnya. Bahkan plda pertemuan Soeharto -- Marcos di Manado pada 1975, Nur Misuari, pemimpin pemberontak MNLF sudah pula hadir di ibukota Sulawesi Utara itu. "Tadinya kita ingin mempertemukan Nur Misuari dengan Marcos atau paling tidak dengan utusannya," kata seorang pejabat tinggi. Namun pertemuan itu gagal, karena Indonesia sendiri kemudian menilai tuntutan yang diajukan Nur Misuari sudah melampaui pengertian batasan otonomi. Belakangan, kedua pihak yang bersengketa itu menggunakan forum konperensi Islam se Dunia. Dalam forum itu Indonesia turut memberikan penjelasan. "Sepanjang masih diperlukan misalnya mendekati Nur Misuari, kita menyediakan diri," ujar pejabat yang sama. Sikap Indonesia dalam masalah Filipina Selatan tetap. Dalam pernyataan pers bersama Indonesia menyatakan akan membantu mencarikan penyelesaian masalah Filipina Selatan berdasarkan prinsip pengakuan kedaulatan dan integritas wilayah Republik Filipina. "Kita ingin berusaha agar apa yang jadi tuntutan golongan yang merasa tertindas itu, yaitu hak otonomi, bisa disampaikan kepada pemerintah Filipina," tambah sumber TEMPO lagi. Lebih Mudah Masalah penduduk Indonesia di Filipina Selatan, disinggung juga dalam pembicaraan itu. Dikabarkan dari delapan ribu, sudah empat ratus yang dimukimkan kembali di wilayah Sulawesi Utara. Kebijaksanaan pemerintah Filipina untuk memulangkan penduduk Indonesia, menurut sebuah sumber, belum bisa dikatakan keras. "Karena itu mumpung persoalannya belum menjadi besar, kita selesaikan dari sekarang," kata Mensesneg Sudharmono. Beberapa soal yang menyangkut bidang politik di tingkat regional tampaknya masih perlu pembahasan lebih lanjut. Misalnya soal patroli perbatasan yang ada hubungannya dengan kasus Sabah dan soal Moro di Filipina Selatan penyelesaiannya masih perlu waktu yang panjang. "Tapi Indonesia berkepentingan terhadap penyelesaian yang cepat, karena menyangkut perbatasan dengan wilayah kita," kata Sudharmono lagi. Dan penyelesaian lewat pertemuan tidak resmi lebih mudah. Itu sebabnya pertemuan serupa itu sering dilakukn Presiden Soeharto dengan para pemimpin ASEAN lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus