BEN Mboi resah. Sejak Senin pekan lalu Gubernur Nusa Tenggara
Timur itu menyertai Menhankam Jenderal M. Jusuf meninjau seluruh
daratan Timor Timur. Setelah meresmikan stasion penerus siaran
TVRI di Bukit Lidak, 4 km dari Atambua -- bertepatan dengan
tahun ketiga integrasi Tim-Tim dalam RI -- Jusuf dan rombongan
keliling beberapa kota di sana.
Pada hari ke empat Ben Mboi ingin pulang ke Kupang. "Rasanya ada
firasat yang mendorong saya. Hati saya tidak enak," katanya
kepada TEMPO. Tapi Kamis pagi itu helikopter kecil yang
mengangkutnya tak bisa terbang di atas laut karena angin
kencang. "Baru Kamis sore saya sampai di rumah dengan
helilopter yang lebih besar," tuturnya lagi.
Firasat itu benar. Hari itu, Kamis dinihari jam 01.00, bencana
gelombang pasang melanda sebagian daerah Ben. Tepatnya di
desa-desa Waiteba, Labala, Bobu dan Lebatukan pantai Kecamatan
Atabei serta desa Pantai Harapan di kaki gunung Benolo.
Semuanya di Kabupaten Lembata, pantai selatan pulau Lomblen di
sebelah timur Flores.
Sampai Senin malam lalu, tercatat 539 korban, 175 di antaraya
sudah dimakamkan secara massal Sabtu pekan lalu. "Yang 364 lagi
hilang ditelan ombak, dan kita nyatakan sebagai korban yang
meninggal," kata Ben Mboi dengan nada suara yang tampak letih.
Hanya 171 orang yang lolos.
Untuk sementara para nelayan itu ditampung di Lewoleba, ibukota
Kabupaten Lembata. Dari sana, Senin pagi dibawa ke desa
Karangora dan Lebatukangunung lewat jalan darat selama 6 jam.
Dan sehari kemudian diangkut dengan hapal motor selama 1« jam ke
pemukiman yang baru di Loang.
Korban-korban itu merupakan 80% dari seluruh penduduk Lembata
yang hanya berjumlah 700 jiwa. Tapi akhir pekan lalu
dikhawatirkan ada 2 desa lagi, Leba Ata dan Oaraga yang
berpenduduk 854 jiwa juga terancam. "Gelombang itu terjadi
sepanjang hari. Apalagi di musim timur sekarang, angin dingin
datang dari Australia dan mendadak gelombang besar datang," kata
seorang penduduk yang selamat.
Bagi Ben Mboi yang baru setahun lebih menjadi Gubernur NTT,
bencana kali ini termasuk yang terbesar. Setelah tanah longsor
di Larantuka bulan Pebruari, dua bulan kemudian 9 kabupaten
dilanda kekeringan, hama tikus dan belalang.
"Barangkali ini sudah 'rejeki' saya," kata Gubernur sambil
tertawa kecut. "Saya ditempatkan di sini, agaknya untuk
menanggulangi musibah yang menimpa rakyat," tambahnya.
Ben Mboi sendiri agak menyesali nasib. Katanya: "Sebenarnya
bencana seperti ini tidak usah terjadi, kalau saja tahun lalu
penduduk sudah mau dipindahkan ke pemukiman yang baru di Loang."
Sejak lama, daerah sekitar Kecamatan Atabei memang sudah
dinyatakan rawan. Tanahnya sering mengalami pergeseran dan
goncangan. Tapi waktu itu penduduk menolak dengan alasan
menunggu panenan padi dan jagung mereka.
Naik Turun Gunung
Yang diprihatinkan Gubernur NTT sekarang ialah usaha
resosialisasi. "Bayangkan, 1/3 dari 171 penduduk yang selamat
terdiri dari anak-anak," kata Ben yang Jum'at ini melapor
Presiden Soeharto karena "Peristiwa seperti ini tidak cukup
dilaporkan secara tertulis."
Begitu bencana terjadi, Ben Mboi menelepon Menteri Sosial. Tapi
karena medannya sangat sulit dicapai, sampai Senin malam bantuan
dari pusat belum datang. "Meski begitu, para petugas Kabupaten
Lembata sudah ada yang datang ke sana. PMI Kupang dan Larantuka
juga sudah mengirim bantuan berupa susu, pakaian, beras dan obat
ke Loang," kata I.H. Doko, ketua PMI Propinsi NTT di Kupang.
Bantuan itu sudah lama tersimpan di gudang sebagai persediaan
dalam rangka Program Kewaspadaan Bencana Alam. Tapi bagaimana
menyampaikannya kepada para korban? Tak ada jalan yang cukup
besar, desa-desa di sana hanya bisa dicapai lewat darat dengan
kuda. Untung, Minggu pekan lalu sebuah helikopter mendarat di
Kupang.
Itu sebenarnya helikopter untuk Timor Timur. Dan kebetulan
kosong. Lalu dicarter oleh PMI untuk mengangkut bantuan dan
obat-obatan. Dalam keadaan sesulit itu, Ben Mboi menilai
pertolongan cukup cepat dan cekatan. Dan informasi yang pertama
kali ia terima pun termasuk cepat.
Si pelapor jalan darat naik turun gunung selama 10 jam untuk
mencapai kediaman Pembantu Bupati, belum lagi untuk menuju
Kupang. Hanya cara itu yang bisa ditempuh, sebab peralatan
komunikasi SSB (Single Side Band) juga sudah terendam laut.
Seluruh bangunan di 5 desa itu memang amblas. Dan kini tinggal
padang pasir. Daerah sejauh 150 meter dari perbukitan ke arah
pantai sudah terendam air. Dilihat dari atas, daerah itu tampak
sudah menjadi satu dengan laut. Tragisnya, bencana itu muncul
begitu mendadak ketika penduduk sedang lelap dalam tidur.
Ada dugaan, yang melanda Lomblen kali ini juga sejenis gelombang
pasang yang sering melanda Jepang -- disebut tsu-nami -- dan
disebabkan oleh gempa dangkal tektonik kerak dasar laut (TEMPO,
3 September 1977). Di Lomblen memang banyak gunung berapi. Yang
paling aktif misalnya gunung Werung.
Gelombang sejenis tsu-nami, dua tahun lalu juga pernah melanda
pantai selatan Lombok, Sumbawa, Sumba, Bali dan Nusa Penida di
Nusa Tenggara Barat -- hanya 10 menit sesudah air surut dengan
kecepatan 700 km per jam. Kerugian harta-benda ketika itu cukup
besar.
Berapa kerugian Lomblen kali ini? awab Ben Mboi sedih: "Kecil
saja, sebab daerah sana memang miskin. Tapi mengingat banyaknya
korban manusia, saya kira ini bencana terbesar yang crnah
terjadi di Indonesia."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini