Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Jalan Tol Jagorawi

Di jalan tol Jagorawi, ada yang mengagumkan, ada yang jadi korban, ada yang menikmati dan ada yang merasa bersalah. Para pengendara tak saling menyapa, seakan melambangkan "pembangunan", yang bergerak tapi sepi.

28 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOBIL itu mengaum, menikmati aspal. Jarum di bawah kemudi bergerak 80 km. 100 km. Lalu 120 km. Kecepatan kian meninggi. Tapi tak terasa. Dan jalan itu terus saja meliuk, mulus, ramping, rapih, panjang -- seperti tak habis-habisnya memuaskan. "Ini seperti di Amerika, bah!" seru Ronggur. Ia sudah dari tadi terkesima di belakang stir. Tiga hari yang lalu ia baru datang dari pedalaman Irian yang masih gelap, setelah 5 tahun berada di sana. Kini, di Jakarta, ia menempuh Jagorawi -- jalan besar yang menghubungkan dengan megahnya Jakarta-Bogor-Ciawi. Apa yang dilihatnya, apa yang dialaminya, belum pernah terjadi pada dirinya seumur hidup. "Bayangkan?" katanya lagi, "lima tahun yang lalu jalan ini belum ada. Sekarang seperti di Amerika, bah!" Di sebelahnya Hambali tersenyum. Ia memaklumi perasaan Ronggur. Baginya sendiri, biar pun ia penduduk Jakarta dan sudah tiga kali menempuh high way ini, Jagorawi tetap merupakan suatu sensasi. "Kita memang tak serasa berada di pulau Jawa yang sesak dan ruwet," katanya mengiyakan, dengan kalimat lebih panjang. Di luar, memang tidak ada seorang manusia pun nampak melintas. Yang ada adalah suatu bentangan kesunyian yang hampir-hampir lengkap -- kesunyian dalam arti khusus sebuah suasana yang diisi hanya oleh gerak mobil-mobil, benda-benda yang tak saling menyapa, yang saling mengambil jarak, sementara seakan-akan mereka hidup untuk berkejaran sengit di bawah matahari sore. "Kau tahu apa artinya ini, Hambali?" tanya Ronggur, masih bersemangat. "Ini namanya kemajuan!" Dan di kejauhan, agak tersembunyi oleh jarak dan bukit-bukit, nampak bangunan yang mengkilap dengan menara logam mencuat -- seolah istana dalam dongeng peri atau dalam science fiction. Itulah pabrik semen Cibinong. "Bukan cuma kau yang terpesona," Hambali menyahut. "Ya, aku lihat orang-orang itu juga terpesona," ujar Ronggur seraya menunjuk ke luar. Di tepi jalan, agak di sebelah atas, di mana kampung-kampung setengah tersembunyi di antara warna hijau pohonan, nampak orang duduk-duduk. Mereka seperti menghabiskan waktu sorenya, setelah mandi sepulang kerja: menonton tamasya Jagorawi dan puluhan mobil yang berlari. "Tapi mungkin mereka bukan terpesona," tiba-tiba Hambali seperti menemukan sesuatu. "Mungkin mereka termangu-mangu kini mereka tak bisa lagi bebas berjalan dari sebelah sini ke seberang sana." "Yah, bisa ketabrak, dong." "Dulu mereka tak usah takut ketabrak. Bagian kiri jalan dengan bagian kanan mungkin dulu satu desa. Kini terbelah. Seorang pemuda dari kampung sml yang punya pacar di sebelah sana mungkin jadi sukar ketemu. Aneh, 'kan? Jalan ini memperlancar hubungan dua kota, tapi memisah sebuah wilayah dan mungkin sepasang calon suami isteri." "Alah. Dalam soal begitu memang selalu ada yang jadi korban. Merdeka pun perlu pakai perang." "Untung juga bukan kita yang jadi korban. Kita yang menikmati." "Suaramu seperti suara orang merasa bersalah." "Barangkali karena aku tak merasa punya jerih-payah dalam membangun jalan ini -- cuma tinggal memetik buahnya doang." "Memangnya bagaimana, sih, bisa membikin kau merasa ikut punya jerih-payah? Orang 'kan kerja masing-masing." Ronggur lalu mengendurkan kaki kanannya sedikit dari pedal gas, dan jip itu pun meredakan derunya. Sebuah sedan melintas. Melihat warna birunya yang bagus, ia berfikir: barangkali ada seorang gadis cantik di dalamnya. Tapi anak muda itu tak sempat menangkap sosok yang jelas. Mungkin saja itu mobil seorang sahabatnya, atau mobil bajingan yang menyamar. Siapa tahu? Di Jagorawi, ia pun mulai berfikir, ada yang mengagumkan, ada yang jadi korban, ada yang menikmati, dan ada yang merasa bersalah. Masing-masing tak saling menyapa. Masing-masing seakan melambangkan "pembangunan" yang bergerak tapi terasa sepi. Sendiri-sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus