Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HIKAYAT Prang Sabi mengalun tenang-tenang….
Lama tak terdengar, tembang perlawanan sejak zaman perang kolonial ini meresap di kuping dan hati khalayak di Lamdingin, Banda Aceh, pada Ahad dua pekan lalu. Di markas bekas gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu, mereka hadir untuk mengantarkan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, dua tokoh Gerakan Aceh Merdeka, ke medan pertempuran baru: pemilihan kepala daerah Nanggroe Aceh Darussalam.
Hikayat disambung Salawat Badar. Lagu perang beserta doa menjadi pembuka gerakan kedua tokoh GAM pada hari itu. Keduanya melompat dari politik bedil ke kotak suara. Irwandi dan Nazar secara resmi menyatakan diri menjadi kandidat gubernur dan wakil gubernur Aceh. Mereka maju lewat jalur independen, ruang baru yang terbuka berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Berbeda dengan kandidat lain, Irwandi dan Nazar terbilang istimewa. Keduanya calon ”organik” dari Gerakan Aceh Merdeka. Dulu, mereka berada di dua jalur berbeda. Irwandi aktif pada sayap militer. Nazar adalah tokoh Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). Dia kerap menjadi semacam ”juru bicara sipil”. Meski berlainan cara, kedua tokoh punya tujuan serupa.
Bekas markas GAM itu kini menjadi kantor Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi bekas gerilyawan yang dibentuk setelah mereka menyerahkan bedil dalam proses damai. Di situlah deklarasi dilakukan. Para ”panglima wilayah” serta tokoh GAM dari Aceh hingga luar negeri datang. Didukung 33 anggota Majelis Nasional, wadah tertinggi gerakan itu, tetap ada yang terasa kurang.
Bekas Panglima GAM Muzakkir Manaf—kini dia Ketua KPA—justru tidak hadir. Begitu juga para senior: ”Perdana Menteri” Malik Mahmud, Dr Zaini Abdullah, Zakaria Saman, Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe, dan Ilyas Abid. ”Padahal, semua sudah kami undang,” ujar Irwandi.
Bau ”perpecahan” pun merebak. Apalagi, dua hari sebelum pertemuan di Lamdingin, Muzakkir secara terbuka mendukung calon dari paket lain. ”KPA Pusat dan seluruh KPA wilayah mendukung paket Humam Hamid dan Hasbi Abdullah,” ujarnya di Wisma Dhaka, Lampriek, Banda Aceh. Dia membacakan keputusan itu setelah berembuk dengan para senior.
Humam dan Hasbi sebetulnya sempat masuk bursa calon gubernur versi GAM. Belakangan mereka maju lewat Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Humam adalah doktor sosiologi dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Hasbi, adik kandung petinggi GAM Swedia Dr Zaini Abdullah. Duet ini tampaknya mendapat restu dari para senior. Orang menyebut mereka paket H2O (Humam-Hasbi Oke).
Maka, naiknya Irwandi dan Nazar tentu mengejutkan para senior. Apalagi, kubu tokoh muda GAM itu maju akibat protes atas langkah politik sepihak dari para senior. ”Saat ini keputusan harus bottom up, dan bukannya top down,” ujar Munawar Liza, wakil juru bicara Majelis Nasional GAM, yang turut mendukung Irwandi-Nazar.
Sebetulnya, ada acara rembuk antarmereka tiga bulan lalu di Banda Aceh, bertajuk ”Duek Pakat Bansa Aceh Sigom Donya” (Pertemuan Bangsa Aceh Sedunia). Dalam acara sejenis konvensi calon gubernur itu, terpilihlah Teungku Nashiruddin sebagai kandidat gubernur, dengan calon wakilnya Muhammad Nazar. Di bawah mereka, suara terbanyak diraup Hasbi sebagai gubernur dan Humam sebagai wakil.
Namun, Nashiruddin, bekas juru runding yang rendah hati itu, menolak. Dia mundur. Dengan begitu, berdasarkan hasil konvensi, Hasbi seharusnya naik berpasangan dengan Nazar, tapi mereka tak berjodoh. Hasbi menolak. Begitu pula Nazar. ”Dia terlalu lemah. Kita butuh pemimpin Aceh yang tegas,” ujar Nazar kepada Tempo.
Usai konvensi, ribut-ribut meletup di Majelis Nasional. Kubu muda menolak paket H2O, sementara yang senior berpendapat sebaliknya. Tentu saja, Malik Mahmud pusing. Agar retak tak makin parah, dia memutuskan organisasi GAM batal ikut pemilihan kepala daerah, tapi Malik membolehkan anggotanya berlaga secara individual. Syaratnya, ya itu tadi, tak boleh membawa bendera organisasi.
Humam dan Hasbi lantas memilih jalur PPP. Karena masuk lewat partai politik, mereka pun bertukar tempat. Humam sebagai calon gubernur, Hasbi wakilnya. Saat itu, Hasbi satu-satunya kandidat ”berbau GAM” dalam bursa calon Wakil Gubernur Aceh. Humam sejak awal memang dijagokan partai Ka’bah itu sebagai calon gubernur. Sudah jadi rahasia umum, para pemimpin senior GAM turut mendukung paket itu.
Di lapangan, kombinasi ini laris manis. Dalam tur politik ke sekujur Aceh, Humam-Hasbi banyak dilirik para bekas komandan gerilyawan setempat. ”Kami tak menghimpun mereka. Dukungan datang sendiri,” ujar Humam. Suara kaum bekas gerilyawan memang sempat menggumpal di kutub H2O.
Inilah yang membuat kubu ”anti-H2O” cemas. Begitu Undang-Undang Pemerintahan Aceh disahkan, majulah Irwandi dan Nazar. Mereka berpendapat perjuangan GAM tak boleh diserahkan kepada orang lain, apalagi kepada partai politik. GAM harus punya calon sendiri. ”Rakyat ingin GAM dan SIRA yang maju,” ujar bekas juru bicara militer GAM Sofyan Dawood. Dia membacakan naskah deklarasi dua tokoh muda itu.
Di lapangan, suara terancam pecah. Di daerah Pidie, basis kental pendukung H2O, pendukung GAM menyatakan setia kepada keputusan senior. Suadi Laweung, 28 tahun, misalnya. Bekas juru bicara GAM Pidie itu setuju pada paket H2O. ”Saya tunduk pada pimpinan,” ujarnya ketika mendengar instruksi Muzakkir Manaf agar mendukung paket itu.
Sementara itu, di sejumlah daerah tak urung suara GAM pecah. Di Pasee, yang meliputi Aceh Utara, misalnya. Sebagian petinggi KPA Pasee mendukung Irwandi dan Nazar. ”Dia cocok sebagai pemimpin Aceh ke depan,” ujar juru bicara GAM Pasee, Teungku Ilyas.
Irwandi adalah figur intelektual GAM. Dia termasuk pendatang baru. Pengajar di Universitas Syiah Kuala itu bergabung sejak 1998. Lulus dari Oregon State University, Amerika Serikat, kariernya melejit setelah menjadi penasihat militer sekaligus propagandis. Dia pernah ditangkap dan dihukum tujuh tahun penjara pada 2003.
Pengaruhnya di kalangan militer GAM menguat ketika membuat semacam reformasi struktur aksi gerilya. ”Saya memperkenalkan pemisahan unit tempur dan teritorial,” ujarnya. Sejak itu, GAM punya peleton, kompi, dan batalion, meniru pola tentara reguler. Irwandi pun kian populer di kalangan gerilyawan GAM. Pada saat damai, Irwandi ditunjuk selaku perwakilan senior GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM).
Meski begitu, ada juga yang netral atau berat ke H2O. Pejabat KPA Pasee yang lain, Teungku di Matang, 45 tahun, memberi jawaban diplomatis. ”Yang penting, jangan lebih tua adik dari kakak,” ujarnya. Tak jelas maksudnya. Mungkin dia bersimpati pada salah satu paket kandidat.
Pasangan Irwandi-Nazar sendiri tak kehilangan kantong suara. Mereka masuk lewat jalur ”panglima sagoe”, ulama, dan tentu saja jaringan SIRA. Tugas terberat mereka mengumpulkan KTP dari 120 ribu warga. ”Itu syarat calon independen. Kami harus mengumpulkan tanda tangan 3 persen dari total penduduk Aceh,” ujar keduanya. Saat ini, warga Aceh sekitar 4,2 juta jiwa. Para pemilih terdaftar sekitar 2,5 juta jiwa.
Tampaknya, struktur KPA tetap menjadi andalan. SIRA mengaku baru punya sekitar seribu tanda tangan. ”Tapi belum semua kita rekapitulasi,” kata Nazar. Dari jalur KPA, jumlahnya lebih fantastis. Irwandi mengklaim punya akses untuk 200 ribu KTP.
Pesaing mereka banyak dan lumayan berat. Di jalur independen ada tiga pasang kandidat non-GAM. Dari partai politik, selain H2O, tercatat Malik Raden-Sayed Fuad Zakaria (Partai Golkar), Iskandar Husein-Saleh Manaf (Partai Bulan Bintang), Tamlicha Ali-Mukhlis Mukhtar (koalisi Partai Demokrat-PBR-PNUI, dan PKB), dan Azwar Abubakar-M. Nasir Jamil (Koalisi PAN-PKS).
Alhasil, GAM tampaknya tidak sedang bertarung di ruang kosong.
Nezar Patria, Maimun Saleh (Banda Aceh), Imran MA (Lhok Seumawe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo