Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bukan Gubernur Pilihan

Ada saja halangan bagi gubernur terpilih yang tidak direkomendasi oleh pimpinan partai. Sanksi pun berjatuhan. Presiden tak punya jago.

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENDA putih besar digelar di pelataran gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Selatan, Jumat 12 September pagi. Puluhan kursi lipat berwarna merah berbaris di bawahnya. Maklumlah, beberapa saat lagi diharapkan sekitar seribu undangan akan datang. Hari itu gubernur terpilih Sumatera Selatan, Syahrial Oesman, dan wakilnya, Mahyuddin, akan dilantik. Ketika matahari makin tinggi, tetamu mulai berdatangan. Tapi sepucuk surat dengan tulisan bertinta merah di papan pengumuman, dekat gerbang, menunda hajatan yang seyogianya berlangsung semarak itu. "...Karena sesuatu dan lain hal, pelantikan gubernur dan wakil tersebut ditunda," demikian penutup surat yang ditandatangani Ketua DPRD Sumatera Selatan, Adjis Saip. Para tamu riuh gelisah, terutama massa pendukung Syahrial. Rangkaian karangan bunga ucapan selamat yang sudah berjejer rapi langsung kehilangan makna. Sebagian malah masih teronggok di bawah tangga, tak jadi diusung ke pelataran. Ternyata, kabar penundaan itu sudah terdengar sejak malam. "Kami mengetahui batalnya pelantikan gubernur pukul 12.00 malam tadi," kata Kurniati Abdullah, juru bicara harian Sriwijaya Post, Palembang. Untunglah, kabar itu datang sebelum koran terbesar di Palembang itu telanjur dicetak. Iklan-iklan ucapan selamat masih bisa ditarik kembali, meski para pengelola koran ini harus menambal ruang iklan itu dengan berita. Dan sampai kini, pertanyaan yang menggelantung tentang batalnya pelantikan itu belum terjawab. Pasangan Syahrial-Mahyuddin terpilih dalam proses yang demokratis, 4 Agustus lalu, dalam sidang paripurna yang dihadiri 75 anggota DPRD Sumatera Selatan. Pasangan ini meraih 38 suara, hanya satu suara lebih banyak dari saingan terdekatnya, Rosihan Arsyad-Radjab Semendawai. Rosihan, gubernur yang masih menjabat, sejak awal disebut-sebut sebagai calon paling kuat. Pasangan ketiga dalam pemilihan itu, Hari Salman Farizi Sohar-Marzuki Ali, tak beroleh suara sama sekali. Kekalahan Rosihan benar-benar di luar dugaan. Ia didukung Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Golkar, yang memiliki 41 dari 75 kursi Dewan. Sedangkan Syahrial Oesman diusung 17 suara fraksi gabungan dan sembilan suara Fraksi Reformasi. Syahrial pun masih harus berbagi suara dukungan dengan kandidat lainnya, Hari Salman Farizi Sohar. Hanya delapan suara anggota Fraksi TNI/Polri yang tidak terpetakan. Dukungan PDIP untuk Rosihan diperkuat pimpinan pusat partai itu dengan surat rekomendasi. Dalam suratnya, DPP PDIP tegas menginstruksikan anggota Fraksi PDIP agar memilih pasangan Rosihan-Radjab. DPP PDIP juga mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada kader partai yang melanggar. "Melanggar, ya, sama saja dengan bunuh diri," kata Ketua Fraksi PDIP, Elianuddin. Instruksi DPP PDIP ini dikawal langsung oleh dua pejabat partai dari Jakarta, Pramono Anung dan Mangara Siahaan. Mereka tiba di Palembang sehari sebelum pemilihan berlangsung. Tapi, isyarat pembangkangan anggota PDIP sudah tampak ketika Pramono dan Mangara menggelar pertemuan untuk memastikan dukungan penuh bagi Rosihan. Dari 26 anggota Fraksi PDIP, hanya separuhnya yang datang. Dalam pemilihan yang berlangsung seru, Syahrial, 48 tahun, mantan Bupati Ogan Komering Ulu yang berpasangan dengan Mahyuddin, 56 tahun, mantan Pembantu Rektor IV Universitas Sriwijaya, akhirnya menang tipis. Ada dugaan, dari 38 suara Syahrial, 11 dari Fraksi PDIP, dan sembilan dari Fraksi Partai Golkar. Usai pemilihan itu, di Hotel Swarna Dwipa, Palembang, beberapa pendukung Rosihan saling bertangisan. Pramono Anung dan Mangara Siahaan, yang hadir di gedung Dewan, bergegas menuju Hotel Sanjaya tempat mereka menginap. "Ini menunjukkan demokrasi kita belum dewasa," kata Pramono. "Instruksi pimpinan pusat masih kalah oleh kepentingan pragmatis anggota Dewan." Tak lama kemudian, ancaman yang menyertai surat rekomendasi partai untuk Rosihan pun mewujud. Delapan pengurus PDIP Sumatera Selatan dipecat partai, termasuk Adjis Saip, Ketua DPD PDIP yang juga Ketua DPRD Sumatera Selatan. Dan Syahrial tak kunjung dilantik. Alih-alih melantik, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno malah mengeluarkan surat penunjukan atas Rosihan Arsyad untuk tetap menjalankan tugas sebagai gubernur. Silang-sengkarut persoalan inilah yang membuat 37 anggota DPRD Sumatera Selatan berangkat ke Jakarta bersama ahli hukum tata negara Universitas Sriwijaya, Prof. Abu Daud Busro, dan bekas Gubernur Sumatera Selatan Ramli Hasan Basri. Mereka hendak bertanya ke Menteri Dalam Negeri. Wakil Ketua DPRD Sum-Sel, Zamzami Ahmad, berjanji tidak akan pulang ke Palembang tanpa surat keputusan presiden tentang pelantikan Syahrial Oesman. Di Palembang sendiri, unjuk rasa mendukung Syahrial hari-hari ini kerap digelar warga. Unjuk rasa ini, bisa ditebak, akhirnya juga menghujat Rosihan, jagoan DPP PDIP yang kalah. "Kalau Rosihan Arsyad ada di kantor ini, kita usir saja," kata Nur Iswanto, anggota DPRD pendukung Syahrial, dalam orasi di depan pengunjuk rasa. Akan halnya Syahrial Oesman, ia mengaku menerima keputusan pemerintah. Belum jelas apa langkahnya, kecuali hendak menanyakan penundaan pelantikan itu. "Saya berhak menanyakan soal ini," katanya. Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Oentarto Sindung Mawardi, mengatakan soal Gubernur Sumatera Selatan ini sudah bukan di tangan Departemen Dalam Negeri lagi. "Sekarang di tangan sekretaris negara. Terserah Presiden akan mengeluarkan keppres atau tidak, bukan kapasitas Depdagri," kata Oentarto. Sedangkan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno membantah penundaan itu karena pemenangnya bukan jago yang direstui Presiden Megawati Soekarnoputri. "Presiden itu tidak punya jago. Pemerintah ini netral. Yang punya jago adalah masing-masing partai politik," ujar Hari Sabarno. Sebaliknya, Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Pramono Anung, mengatakan penundaan pelantikan gubernur sama sekali tidak ada hubungannya dengan PDI Perjuangan. "Itu urusannya sama pemerintah," kata Pramono. Jadi? Ia menolak berkomentar lebih jauh. Tomi Lebang, Arif Ardiansyah (Palembang), Dimas (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus