SEPERTI banteng terluka, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) "menyerang" para menteri yang ingin menjadi presiden. Mereka dianggap tak etis lantaran ingin menyaingi Megawati Soekarnoputri dalam Pemilu 2004 seraya tetap bercokol di kabinet. "Bupati yang mencalonkan diri sebagai gubernur saja harus mengundurkan diri," kata Mangara Monang Siahaan, Wakil Sekretaris Jenderal PDIP, usai rapat rutin yang dipimpin Ketua Umum Megawati, Selasa pekan lalu.
Tak ada nama yang disebut, memang. Tapi mudah ditebak, "sasaran tembak" adalah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, dan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra. Kalla terang-terangan maju lewat Konvensi Partai Golkar. Dan Yudhoyono tak menolak dicalonkan, bahkan hasil polling Cesda dan IFES menunjukkan popularitasnya di atas Presiden Mega. Adapun Yusril, yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang, jelas dicalonkan partainya.
Sehari kemudian, giliran Wakil Presiden Hamzah Haz "diseruduk" lewat Wapres Center yang didirikannya pada pertengahan Agustus lalu. "Masa, kampanye menggunakan fasilitas negara," ujar Amris Hassan, orang dekat Mega. Yang menarik, desakan agar "para menteri calon presiden" mundur pertama kali diluncurkan oleh politikus Partai Amanat Nasional, Alvin Lie. "Bahwa ide saya 'dimakan' PDIP, itu soal lain," kata Alvin kepada TEMPO, Jumat pekan lalu.
Ketika itu ada gambaran, kabinet rawan "digembosi" akibat kepentingan mencapai kursi presiden. Kampanye juga bisa dilakukan secara terselubung, dengan dalih tugas ke daerah. Kalau para menteri itu tetap maju, muncul pikiran Presiden bisa mencopot mereka dari kabinet sewaktu-waktu. Sebab, jika kinerja kabinet terganggu, dampaknya tentulah kepada pemerintah Megawati jua. Apalagi, belakangan hasil polling menunjukkan popularitas PDIP dan Megawati agak menurun.
Yang tersentak mendengar suara dari markas PDIP di Jalan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, itu bukan cuma "orang luar". "Saya kaget, kok tiba-tiba beberapa orang bicara seperti itu, setelah rapat lagi," kata Zainal Arifin, bekas Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Balitbangpus PDIP, kepada TEMPO. Langkah tak populer itu dianggapnya "permainan" kelompok kecil di partainya, karena Mega dikenal sangat percaya diri mampu mempertahankan kursi RI-1.
Ketua PDIP Roy B.B. Janis dan Mangara Siahaan sendiri membantah serangan itu dipicu kekhawatiran Megawati dalam rapat. Megawati pun dipastikan tak akan meminta mereka mundur, kecuali atas kesadaran sendiri. "Harus tahu dirilah, gentleman," kata Roy kepada TEMPO. Lagi pula, tak ada larangan menteri maju menjadi calon presiden. Undang-Undang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2003 pun memperbolehkan presiden, wakil presiden, para menteri, sampai kepala daerah berkampanye buat partai masing-masing, asalkan cuti dari dinas dan tak menggunakan fasilitas negara.
Karena itu, Kalla menganggap tak ada alasan memintanya mundur. Selain selalu menunaikan tugas dengan baik, politikus Partai Golkar dari Sulawesi Selatan ini merasa tak pernah bermusuhan dengan Mega. "Itu hanya imbauan. Etika politik saya cukup baik," ujarnya. Yusril berkelit dengan mengatakan tak pernah mencalonkan diri, meski dicalonkan oleh orang lain. "Saya tak kena apa yang mereka bilang," katanya kepada Purwanto dari Tempo News Room seraya tersenyum.
Yudhoyono, seperti biasa, kalem-kalem saja. Dari Washington, Amerika Serikat, seperti dilaporkan Jawa Pos, ia menganggap menteri harus mundur jika sudah resmi menjadi calon presiden pada Mei 2004. Sekarang, belum satu pun tokoh yang resmi menjadi calon presiden. Hamzah Haz tak kalah enteng menanggapinya. "Kalau saya kan dipilih oleh MPR. Beda dong, ha-ha-ha…" katanya. Jadi, ya itu tadi, cuma imbauan.
Jobpie Sugiharto, Sudrajat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini