Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Agar Tahapan Pemilu Tak Terganggu

Penentuan sistem pemilu dinilai bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan itu sepenuhnya di tangan DPR dan presiden.

14 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Simulasi Pilkada di Desa Mekarsari, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 2020. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mahkamah Konstitusi diperkirakan menolak uji materi sistem pemilu proporsional terbuka.

  • Kewenangan untuk menentukan sistem pemilu berada di tangan DPR dan presiden.

  • Perubahan sistem pemilu di tengah perjalanan berpotensi mengganggu tahapan pemilu.

JAKARTAMahkamah Konstitusi diperkirakan menolak uji materi sistem proporsional terbuka dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Alasannya, kewenangan mengubah sistem pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang. Kewenangan itu sepenuhnya berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden. “Sebagai variabel dinamis, pembuat undang-undang lebih berwenang untuk menentukan sistem pemilu sesuai dengan perkembangan situasi dan keadaan yang juga dinamis,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR Yanuar Prihatin, kemarin, 13 Juni 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yanuar yakin hakim konstitusi memahami tentang kebijakan hukum terbuka itu. Mereka tidak akan mengambil risiko untuk membahayakan demokrasi dan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi. Apalagi sistem pemilu tertutup bertolak belakang dengan kehendak mayoritas masyarakat Indonesia. “Sebab, ini berpotensi mengganggu proses pemilu yang demokratis,” ujar anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemimpin delapan fraksi DPR memberikan keterangan ihwal penolakan sistem proporsional tertutup pada pemilihan umum di Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 30 Mei 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Gugatan sistem proporsional terbuka diajukan oleh dua kader partai politik dan empat warga negara Indonesia. Mereka adalah anggota pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Demas Brian Wicaksono; anggota Partai NasDem, Yuwono Pintadi; Fahrurrozi; Ibnu Rachman Jaya; Riyanto; dan Nono Marijono. Belakangan, NasDem mengklarifikasi bahwa Yuwono bukan lagi menjadi kader partai besutan Surya Paloh itu. Adapun gugatan mereka tercatat dalam perkara nomor 114/PUU-X/X/2022.

Para pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), serta Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945. Adapun pemilu dengan sistem proporsional tertutup terakhir dilaksanakan pada Pemilu 2004. Dalam sistem tertutup pemilihan legislator, pemilih hanya bisa memilih partai dalam pemilu. Nantinya, partai yang menentukan legislator untuk duduk di kursi parlemen.

Sururudin, yang menjadi kuasa hukum dari enam pemohon uji materi, berharap hakim konstitusi mempertimbangkan Pasal 22E ayat 3 UUD 1945. Dalam pasal itu dinyatakan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. “Kami berharap MK sebagai penafsir tunggal konstitusi dapat memutuskan sesuai dengan semangat Pancasila, di mana MK juga sebagai penjaga ideologi bangsa,” ucap Sururudin. Namun Yanuar yakin MK tidak bakal gegabah dalam memutuskan uji materi sistem pemilu. “Mereka mengetahui aspirasi apa yang sesungguhnya berkembang di masyarakat luas,” ujar Yanuar. “Mereka tidak buta hatinya, pasti bisa mendengar.”

Wibi Andrino, anggota DPRD Jakarta, sependapat dengan Yanuar. Dalam uji materi ini, Wibi menjadi pihak terkait yang menolak sistem proporsional tertutup. “Putusan MK tidak akan ke luar dari kaidah hukum yang berlaku,” kata anggota Fraksi Partai NasDem ini. “Karena keputusan mengubah sistem itu merupakan open legal policy pembentuk undang-undang.”

Pendapat yang sama disampaikan oleh Muhammad Sholeh. Sebab, sistem proporsional tertutup bertentangan dengan UUD 1945. Adapun Sholeh merupakan advokat yang pernah menggugat sistem proporsional tertutup. MK mengabulkan gugatan itu sehingga pada Pemilu 2019 menggunakan sistem proporsional terbuka. “Saya masih yakin pemilu masih akan menggunakan sistem terbuka,” ujarnya.

Perbincangan tentang uji materi Undang-Undang Pemilu ini mendadak riuh pada akhir Mei lalu. Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, tiba-tiba menyatakan telah mendapatkan informasi bahwa MK bakal mengabulkan gugatan para pemohon. “Siapa sumbernya? Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan hakim konstitusi," kata Denny.

Pernyataan Denny Indrayana itu membuat fraksi-fraksi di DPR bereaksi. Seluruh fraksi, kecuali PDIP, menolak sistem proporsional tertutup. Sikap ini sejalan dengan hasil pertemuan sejumlah pemimpin partai di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, pada 8 Januari lalu. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang hadir dalam pertemuan itu menegaskan bahwa delapan parpol sepakat menolak sistem proporsional tertutup.

Ketua DPP Partai Golkar, Dave Laksono, mengatakan, sistem proporsional terbuka masih relevan untuk Pemilu 2024. Sebaliknya, sistem proporsional tertutup bakal membawa pada kemunduran berpolitik karena memperkuat oligarki di dalam partai. “Justru akan memberikan kekuatan kepada partai untuk menentukan siapa yang mereka inginkan, bukan yang masyarakat inginkan,” ujarnya.

Pengajar hukum kepemiluan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, sebelumnya mengatakan, pernyataan perubahan sistem pemilu saat tahapan telah berjalan berpotensi menimbulkan kekacauan. “Kalau perubahan terjadi di tengah jalan, selain merusak kepastian dan tertib hukum, akan merugikan serta membuat ketidakadilan pada para caleg, khususnya mereka yang berada pada nomor urut bawah atau besar,” ujarnya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2022-2027, Hasyim Asy'ari. TEMPO/Subekti

Selain itu, dalam uji materi sistem pemilu tersebut tidak ada isu konstitusionalitas. Apalagi yang dipersoalkan adalah variabel pilihan sistem proporsional terbuka atau tertutup yang sangat teknis operatif. Kemudian, kata Titi, apa pun sistem pemilu yang digunakan pasti akan ada kelebihan dan kekurangan.

Sistem tertutup memang lebih murah, mudah, dan sederhana, tapi rentan menciptakan tirani elite serta kediktatoran partai. Sedangkan sistem terbuka bisa memberi akses pilihan langsung kepada rakyat untuk menentukan wakil sehingga bisa meningkatkan representasi. Namun manajemen pemilu menjadi rumit, kompleks, dan lebih mahal. “Itu semua terlalu teknis sehingga tidak mungkin terjangkau oleh MK,” kata Titi. “Maka, sudah semestinya menjadi ranah kewenangan pembentuk undang-undang sehingga bisa didiskusikan secara komprehensif dan partisipatoris.”

Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari menyampaikan akan menghadiri sidang putusan perkara gugatan Undang-Undang Pemilu pada Kamis mendatang. "KPU menghadiri sidang MK secara daring," kata Hasyim. Apa pun putusan MK tentang sistem pemilu diyakini tidak akan mengganggu penyelenggaraan dan pelaksanaan tahapan Pemilu 2024. Namun selama belum ada putusan, KPU tetap mengacu pada sistem proporsional terbuka dalam menyusun surat suara ataupun logistik.

IMAM HAMDI | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus