DIA hadir dalam pembukaan Sinode Agung Istimewa HKBP, Jumat, pekan lalu di Medan. Meskipun asli orang Yogya dan bukan anggota HKBP, ia boleh juga berbahasa Batak dan berpidato bak pendeta. Dalam awal sambutannya, ia meneriakkan Horas tiga kali, yang artinya ''selamat''. Mengakhiri sambutannya, ia mengucapkan Sada do hamu di bagasan Kristus, bersatulah kamu di dalam Kristus. Dialah Mayor Jenderal H.R. Pramono, Ketua Bakorstanasda Sumatera Bagian Utara dan Pangdam I/Bukit Barisan, yang sejak akhir tahun lalu menjadi ''bintang'' di HKBP. Ia menerbitkan surat keputusan mengangkat Siahaan sebagai pejabat ephorus untuk menyelenggarakan sinode istimewa itu. Rabu pekan lalu, ia menerima wartawan TEMPO Bersihar Lubis di kantornya, Jalan Binjai, Medan, untuk wawancara khusus. Setelah ephorus baru HKBP terpilih, ia pun masih bersedia menjawab beberapa pertanyaan tambahan. Berikut petikannya: Ephorus dan fungsionaris HKBP terpilih. Bisakah itu menjamin kerukunan? Ini bukan rumus matematika. Kalau semua pihak berorientasi religius, ya mudah-mudahan bisa. Tetapi kalau mereka cenderung berkonflik terus, ya susah. Benarkah ada kelompok di bawah Jenderal (Pur.) M. Panggabean, yang ingin Nababan diganti? Seingat saya kelompok itu telah membubarkan diri menjelang sinode bulan April 1991 di Sipoholon. Bagaimana Anda menilai prosedur pemilihan ephorus itu? Wah, saya tak melihatnya. Tapi, menurut laporan, itu berjalan demokratis. Kalau ada perpecahan lagi, apakah Bakorstanasda akan turun? Tugas Bakorstanasda itu bukan hanya mengurus HKBP. Kalau organisasi mereka sudah berjalan baik, tak perlu lagi membuat kami repot. Janganlah bikin Bakorstanasda itu bagai pemadam kebakaran. Artinya, kalau sudah gawat, mereka lantas menuntut ... ada Bakorstanasda. Ada yang bilang ephorus baru itu hasil rekayasa dari atas. Saya tak tahu itu, tanyalah para peserta. Saya kan tak campur tangan lagi. Apa latar belakang keluarnya SK Bakorstanasda yang menunjuk Siahaan sebagai pejabat ephorus? Intinya, karena Majelis Pusat HKBP yang meminta pada saya. Menurut peraturan, majelis itu memang punya wewenang. Tapi ada reaksi seolah Bakorstanasda mencampuri urusan intern HKBP. Ini ibarat pertengkaran keluarga. Jika konfliknya tajam hingga ada anggota keluarga yang membakar rumah, apakah hanya orang rumah itu yang memadamkannya. Boleh dong tetangga ikut menyiramkan air. Apalagi apinya sudah merembes ke luar. Nah, aspek stabilitas keamanan itu yang kami campuri. Tapi kalau menyangkut aspek keagamaan, kami tak mencampuri sama sekali. Konon, Bakorstanasda menahan sejumlah warga HKBP. Sekarang hanya satu orang yang ditahan. Selebihnya dilepas setelah diwawancarai. Yang ditahan adalah JAU Doloksaribu dan sudah ditangani kepolisian. Ia ditahan bukan sebagai pendeta. Kesalahannya, menghasut di depan umum dengan cara melakukan demonstrasi. Dialah ternyata dalangnya. Ada yang mempersoalkan, yang diinterogasi itu ternyata juga dipukuli. Itu tak benar sama sekali. Mereka hanya ditanyai, untuk tahu siapa dalang demo yang menghasut itu. Setelah diketahui dalangnya adalah Doloksaribu, mereka pun dilepas. Bahkan ada yang mengakui hanya ikut-ikutan karena diberi uang Rp 10.000 atau Rp 5.000. Karena verzet Bakorstanasda yang menolak hakim Lintong O. Siahaan yang juga warga HKBP itu, lantas PTUN memberikan dispensasi? Verzet kami memang begitu bunyinya. Tapi apa karena itu lantas ia digantikan dengan hakim lain lain? Tanyakan saja, kalau perlu ke Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini