SEORANG guru muda, wanita, berdiri di depan kelas VI SD, mengajar Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Mula-mula Bu Guru menyuruh anak didiknya membaca bab mengenai Bendera Nasional, secara bergantian. Buku yang dipakai terbitan swasta, dan ini memang dimaksudkan sebagai buku penunjang. Usai bab itu dibaca, Bu Guru pun menyuruh anak-anak mencatat. "Jadi, bendera nasional kita warnanya merah putih, ini sesuai dengan pasal 35 UUD 1945," kata Bu Guru. Murid mencatat, padahal untuk apa sebenarnya dicatat, bukankah murid itu hampir semua punya buku yang dibaca tadi? Yang lebih terasa ganjil, seperti yang dikatakan oleh salah seorang murid SD di kawasan Ciputat itu, di kelas IV mereka sudah mempelajari seluk-beluk bendera nasional secara terinci. Murid itu lalu memperlihatkan buku catatan PSPB-nya sewaktu di kelas IV. Di sana sudah ditulis, bendera itu panjang dan lebarnya berbanding 3 dan 2 bendera pusaka dijahit Ibu Fatmawati Soekarno, dan sebagainya. Ihwal bendera hanya sebuah contoh. Keluhan sudah lama terdengar, kenapa pelajaran sejarah seperti tumpang tindih. Bukan hanya dalam bab-bab dalam buku pelajaran sejarah itu sendiri. Tapi antara pelajaran sejarah, kemudian PSPB itu, dan Pendidikan Moral Pancasila, banyak hal yang sama dlberikan dalam ketiga-tiganya. Semua itu terangkat kembali menjadi bahan diskusi, setelah Sabtu dua pekan lalu Menko Kesra Alamsjah Ratuperwiranegara, menyinggung-nyinggung soal pelajaran sejarah. Sehabis melapor ke Presiden di Bina Graha, kepada wartawan Menteri mengatakan bahwa banyak kalangan generasi muda kini tak mengetahui sejarah Indonesia antara 1950 dan 1965 secara baik. Karena itu, perlu disusun buku pelajaran sejarah baru untuk masa itu, "Supaya jangan sampai terjadi orang yang salah menjadi benar, dan orang yang benar menjadi salah," katanya. Dan gejala itu tampak, kata Alamsjah, sewaktu musim kampanye yang lalu. Yaitu, munculnya gambar tokoh masa lalu yang dibawa-bawa dalam kampanye. Bung Karno? Tak jelas yang dimaksud Menteri, tapi agaknya memang dialah "gambar" yang dimaksud. Benarkah semua itu ? Memang, tampaknya ada yang salah dengan pelajaran sejarah. Hasil pemantauan wartawan TEMPO di berbagai kota di Indonesia menunjukkan, minat pelajar terhadap pelajaran ini sangat kurang. "Pelajaran sejarah tak menarik sama sekali. Ceritanya itu-itu saja, diulang-ulang, padahal kita sudah tahu. Bosan jadinya," kata Ian Joseph, 19 tahun, siswa kelas III SMAN I, Jakarta. Ian yang jadi juara umum di sekolah itu memberi contoh perjuangan Budi Utomo, Syarikat Islam, Proklamasi Kemerdekaan, yang semuanya sudah diajarkan di SMP, diulang lagi di SMA tanpa pendalaman yang lebih. Belum lagi adanya dua mata pelajaran yang berkenaan dengan sejarah, yakni Sejarah Nasional dan PSPB itu. "Sebetulnya, pelajaran ini bisa disatukan. Dipisahkan malah nggak karan," ini bukan omongan seorang pejabat, melainkan kata Rudolf Sinaga, pelajar kelas III SMAN III, Jakarta. Dan kata seorang guru, "Sebenarnya, PSPB dan Sejarah Nasional tumpang tindih," kata Abdul Hamid Gani, Kepala SMAN VI, Medan. "Tapi, maaf, saya tak berani mengomentari pelajaran ini terlalu mendalam, walau jelas ada ketimpangan dalam penulisannya. Dua tahun lagi saya pensiun." Mohammad Abduh Suyono, guru sejarah (biasanya semua guru sejarah ya mengajar PSPB juga) di SMAN VIII, Jakarta, mengakui terus terang, sulit menyampaikan pelajaran sejarah agar murid tertarik. "Bukan saja kurang menarik, tapi membosankan," katanya. Ia pernah mencoba dengan cara diskusi, lalu cara belajar siswa aktif. Tak ada perubahan. Kemudian diterapkannya metode yang disebut sosiodrama. Murid-murid diminta memperagakan suatu babakan peristiwa, dan bawa bambu runcing segala memang mirip pertunjukan drama. Semua siswa di kelas itu terlibat, dan ramai. "Tapi apa akibatnya? Guru di kelas sebelah yang sedang mengajarkan fisika protes. Nah, 'kan repot?" kata Suyono. Yang diteruskan di SMAN VIII ini cara diskusi. Di SMA pelajaran Sejarah tiga jam per minggu. Dua jam oleh Suyono dipakai diskusi, sisanya untuk menjelaskan. "Saya juga baca koran, majalah, dan buku-buku lain untuk bahan mengajar. Buku induk saya baca, terutama jilid V dan VI, yang menceritakan darl zaman pergerakan nasional sampai masa Orde Baru. Jilid I sampai IV hanya sepintas saya baca," tuturnya. Dan komentar Suyono tentang buku induk itu, "Wah, berat sekali." Maksudnya? sangat susah memahammya. Adalah Taufik Abdullah, ahli sejarah, staf peneliti di LIPI, yang semula terlibat dalam penyusunan buku induk tersebut yang dimulai pada 1971. Ia kemudian mengundurkan diri, dan minta agar namanya tak usah dicantumkan dalam buku itu. Pasalnya, sebelum buku itu disempurnakan di sanasini, karena mengejar target, katanya, keburu dicetak dan disebarluaskan. Hasilnya, menurut Taufik, itu tadi, para guru susah memahaminya. "Buku itu dipompa dengan ideologi yang tidak sejalan dengan fakta," tutur Taufik. "Misalnya, menurut buku itu, Indonesia dijajah 350 tahun oleh Belanda. Ini sebenarnya pemikiran yang ideologis. Tapi dalam buku itu juga dikatakan, Sultan Agung (Mataram) dan Sultan Muda (Aceh) adalah raja-raja Nusantara yang besar. Dilupakan bahwa mereka juga hidup dalamperiode 350 tahun penjajahan itu. Seorang murid yang kritis tentu melihat keganjilan ini, dan akan bingung. Jadi, kalau anak-anak kurang tertarik pada sejarah, ya, bisa dimengerti." Menurut doktor sejarah dari Cornell University dengan disertasi tentang pergerakan kaum muda diSumatcra Barat ini pelajaran sejarah itu seharusnya bertolak dari satu ideologi. Ideologi inilah yang digunakan sebagai alat pertama untuk memilih peristiwa-peristiwa sejarah yang akan disampaikan. Dalam hal sejarah Indonesia, ideologi itu tak ada lain dari UUD 1945, karena itu landasan konstitusional. Bentuk nyatanya, ya, itulah falsafah sejarah dan pembukaan UUD i945. Sesudah itu baru "ditentukan satu strategi pendidikannya, sesuai dengan kebutuhan setiap tahap pengetahuan murid, sesuai dengan proses sosialisasi lingkungan anak. Dalam hal murid SMP, misalnya, ditargetkan kesadaran dimensi waktu. Untuk murid SMA, diperlukan bahan yang mampu menimbulkan dialog dengan masyarakat." Nah, enam jilid buku induk tersebut "lemah karena tidak bertolak dari strategi pedagogik." Para ahli sejarah memang seperti satu suara, buku induk itu memang sangat perlu diperbaiki. "Sebagai produk penuh ketidaksempurnaan, penuh kekurangan, kalau ada kesempatan untuk memperbaiki, saya beranggapan kesempatan itu harus digunakan," kata Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, guru besar Fakultas Sastra UGM yang ikut membidani kelahiran buku babon itu - tapi juga ikut mengundurkan diri, padahal namanya tercantum sebagai satu dari tiga penyusun. Sartono, orang Wonogiri, Jawa Tengah, ini keberatan menyebut secara jelas bagian-bagian mana yang perlu diperbaiki. Ia hanya secara umum mengatakan, menulis buku sejarah untuk pendidikan tidaklah semudah menulis buku sejarah untuk bacaan. "Sebaiknya, yang menulis buku pelajaran sejarah itu guru sejarah yang punya pengalaman bertahun-tahun mengajar, dan berpengalaman menulis buku pelajaran. Memang susah," katanya. Kalau buku babonnya saja penuh kekurangan, buku yang diterbitkan swasta yang bersumber dari babon ini apa jadinya, tambah Sartono. Sebuah contoh adalah bagaimana perekonomian yang kacau di zaman Demokrasi Terpimpin, susah ditangkap dari buku-buku sejarah resmi itu. Meski, sudah disebutkan, buku induk itu disusun dengan dasar multimatra: ya politik, kebudayaan, sosial, ekonomi. Soalnya, fakta-fakta tak diserta ilustrasi atau gambaran suasana yang hidup. Umpamanya, mengapa Program Benteng sewaktu Kabinet Natsir gagal. Program yang dicetuskan oleh ahli ekonomi. Sumitro Djojohadikusumo, memberikan kredit kepala pengusaha pribumi, ternyata kandas. Sampai tahun 1955, lima tahun program itu berjalan, pengusaha keturunan Cina sama sekali tak boleh ikut menikmati kredit. Toh, kenyataannya, banyak pengusaha pribumi yang menjual fasilitas mereka kepada pemilik modal kuat, yang kebanyakan keturunan Cina. Jadi, gagalnya Program Benteng bukan cuma faktor belum terampilnya pengusaha pribumi, seperti disebutkan dalam buku induk. Lalu, eksperimen pada 1961, koperasi sebagai satu-satunya yang boleh menjual bahan pokok. Ini pun macet, karena jumlah barang lebih sedikit daripada yang membutuhkannya. Inilah masa yang dikenal dengan zaman antre. Orang antre minyak, antre beras, bahkan garam. Dan sebabnya, mirip yang menggagalkan Program Benteng: yang kebagian mengurusi barang lebih suka menjualnya lewat pintu belakang. Maka, sia-sialah tindakan moneter pada 1959, yang mengurangi nilai lembaran rupiah 500-an dan 1.000-an hanya menjadi Rp 50 dan Rp 100. Dan, deposito lebih dari Rp 25.000 dibekukan 90%. Sementara itu, sebagai negara yang ekspor utamanya hasil perkebunan, yang waktu itu tak begitu baik pasarannya, devisa negara merosot terus. Ketika itulah, pada 17 Agustus 1964, Presiden.Soekarno berpidato menyinggung ekonomi. Ia tampak membela diri. "Go to hell dengan omonganmu bahwa Indonesia akan binasa ekonomis. Tahun yang lalu mereka meramalkan bahwa Indonesia akan ambruk! Indonesia tak akan ambruk. Insya Allah...." Pihak Departemen P K, dalam hal ini, diam-diam, sudah merencanakan menyusun buku standar baru untuk buku pelajaran Sejarah Nasional. Buku itu nanti, "lebih demokratis dan tidak menyuarakan kepentingan yang sedang berkuasa saja," kata Harsya W. Bachtiar, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen P & K. "Saya juga sependapat bahwa pelajaran Sejarah Nasional kita banyak kelemahannya. Cara penyajiannya tidak memikat dan hanya menjejalkan nama tokoh dan tahun peristiwa," kata Harsya Bachtiar. Lho, adakah buku yang ada sekarang memihak? Doktor sosiologi berusia 53 tahun ir,i tak menjawab. Harsya mengaku, sudah sejak awal keberatan dengan PSPB. Sebab, isinya terlalu berpusat pada perjuangan fisik. "Di PSPB Bung Karno kurang ditonjolkan peranannya. Padahal, Bung Karno bukan tokoh dan pemimpin sembarangan. Bagaimanapun, beliaulah yang mempersatukan bangsa," katanya. "Kelemahan substansialnya adalah sikapnya yang salah dalam menghadapi PKI." Tentang tumpang tindihnya beberapa mata pelajaran, yakni mata pelajaran Sejarah Nasional, PSPB, dan PMP, kini memang sedang diolah pemecahannya. "Kami berharap, awal Pelita yang akan datang proyek ini bisa terwujud. demi kepentingan generasi yang akan datang. Sekarang 'kan guru-guru pada bingung, murid lebih bingung. Apakah kita akan melahirkan generasi bingung?" Sebenarnya, buku pedoman iu hanya satu faktor saja. Faktor lain adalah guru yang punya wawasan dan selalu menambah ilmu. Ini yang ditekankan oleh Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo. "Seberapa jauh gurumendapat kekebasan untuk mengajarkan sejarah? Guru sekarang ini sudah mendapat instruksi yang baku dan ketat," kata sejarawan yang berkantor di LIPI ini. "Itu memberi dampak guru tidak kreatif. Supaya tak keliru, ia ikuti saja buku teks." Kebetulan Abdurrachman, 58 tahun, pernah 12 tahun menjadi guru di SMA Taman Siswa di Jakarta. Yakni, pada 1952 sampai dengan 1964. Ia tahu persis, tidak dulu tidak sekarang, bila guru tak banyak mencari dan membaca sendiri buku-buku sejarah, ya susah. "Tapi memang ada beda jadi guru dulu dan sekarang. Seingat saya, dulu tak ada instruksi, dan juga tak ada ketentuan buku teks. Guru itu belas, jadi malah bisa kreatif," tutur orang Tegal, Jawa Tengah, ini. Tapi para bapak dan Ibu tak usah khawatir, buku pelajaran sejarah segera diganti lagi, artinya keluar biaya lagi buat anak-anak. Menteri P dan K Fuad Hassan sendiri menjelaskan, setelah keluar dari kamar kerja Presiden Soeharto di Bina Graha, Kamis pekan lalu, buku pelajaran sejarah yang dipakai sekarang ini masih memadai. Memang, kata Fuad, tak berarti "buku pelajaran itu betul sepenuhnya". Semua buku pelajaran di sekolah sewaktuwaktu bisa mengalami review. Review ini seperti telah dikatakan oleh Harsya Bachtiar, yang sedang dikerjakan oleh Departemen sudah dimulai jauh sebelum musim kampanye yang lalu. Putu Setia, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini