"DIA itu bos kita, yang membikin kita merdeka," kata Adelina Savitri, putri cilik, siswa sebuah SD di Medan. Dan itulah bagi generasi yang lahir di akhir 1960-an dan awal 1970-an umumnya, yang kini paling tinggi duduk disekolah menengah tingkat atas, yang mereka kenal pertama tentang tokoh Soekarno: sebagai proklamator kemerdekaan. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia, jilid III untuk SMP, memang diceritakan bagaimana proses proklamasi itu akhirnya terjadi. Seperti sudah sering dikisahkan, Bung Karno dan Bung Hatta diculik oleh para pemuda, dipaksa menyatakan kemerdekaan saat itu iuga, 15 Agustus 1945. Soekarno dan Hatta menolak, untuk menghindarkan pertumpahan darah yang tidak perlu. Kurang lebih sebatas itu pulalah yang kemudian disampaikan di sekolah menengah tingkat atas. "Sejarah itu dari SD sampai SMA cuma diulang-ulang," kata Heru, siswa kelas II SMAN 31, Jakarta. Sesungguhnya, tak ada yang salah dengan Bung Karno dalam buku pelajaran sejarah, ditinjau dari segi data dan fakta. Masalahnya, bila pelajaran itu diharapkan juga merupakan "pendidikan memahami sesuatu, memperoleh pengetahuan, dan pendidikan kepribadian" - sebagaimana dikatakan oleh Taufik Abdullah (lihat Sejarah, selelah Pemilu) banyak hal menimbulkan pertanyaan. Yakni, apabila yang disajikan itu dibandingkan dengan yang dibicarakan orang di luar kelas. Boleh jadi bagi siswa SD pengenalan terhadap Soekarno dan peranannya dalam terbentuknya Republik Indonesia, cukup. Tapi bagi siswa di jenjang sekolah menengah, ada hal-hal yang bisa disebutkan kurang mendidik. Umpamanya, tak disebutkan dalam buku untuk SMP, mengapa pada akhirnya penanda tangan naskah Proklamasi adalah Soekarno-Hatta. Seorang guru sejarah yang sempat membaca buku induknya, yaitu Sejarah Nasional Indonesia yang dieditori oleh Nugroho Notosusanto (almarhum), tentunya bisa menjelaskan. Bahwa semua angr gota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang hadir kala itu mestinya yang teken. Tapi para pemuda keberatan, karena mereka menganggap PPKI dibentuk oleh Jepang. Untuk menghindarkan kesan kemerdekaan Indonesia hadiah dari Jepang, disepakati yang bertanda tangan Soekarno-Hatta, atas nama seluruh bangsa Indonesia. Apalagi bila dilihat jauh ke belakang lagi, menengok proses sejarah sampai lahirnya proklamasi, ada sejumlah hal yang kurang terangkai tampaknya. Diceritakan dalam buku pelajaran itu bagaimana peranan Soekarno dalam berbagai organisasi yang didirikan di zaman Jepang. Bagi siswa yang kritis ini menimbulkan kebingungan. Mengapa seorang tokoh yang kompromi dengan Jepang disetujui, termasuk oleh para pemuda yang semula berbeda sikap dengannya, menandatangani naskah bersejarah itu - bahkan kemudian terpilih sebagai presiden. Tak cukup dikemukakan bahwa kemudian, dekat setelah kemerdekaan, muncul tudingan-tudingan, baik langsung maupun tidak, bahwa Soekarno seorang kolaborator. Bahwa ia dituduh terlibat dalam pengerahan romusha, pekerja sukarela untuk kepentingan Jepang. Tak cukup dikemukakan bahwa kemudian muncul pertanyaan, seperti ditulis oleh John D. Legge, guru besar dari Monash University, dalam Sukarno, Sebuah Biografi Politik: sulit dari "segi moralnya untuk memastikan apakah Ketua Putera itu lebih berjasa mengabdi bangsanya ataukah membantu Jepang." Kemudian hubungan peristiwa Aksi Militer Belanda kedua, Desember 1948, hingga lahirnya Dekrit Kembali ke UUD 1945, tak begitu diuraikan dalam buku pelajaran sejarah. Bahkan dalam buku induk yang dieditori Nugroho Notosusanto, peristiwa ditahannya para pemimpin Indonesia, dan bergerilyanya TNI ke luar kota, pun cuma disinggung sekilas. Mengapa, misalnya, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta sampai ditawan Belanda? Sementara Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman sempat keluar dari ibu kota (sementara) Yogyakarta? Padahal, sebelumnya sudah disepakati, baik sipil maupun militer akan bergerilya ke luar kota, bila Yogyakarta diduduki Belanda. Bahkan Soekarno waktu itu menjawab langsung tantangan Belanda, bila memang Belanda menyerbu ibu kota RI, "70 juta rakyat akan bangkit untuk bertempur dan saya sendiri yang akan memimpinnya." Tanpa menyertakan pernyataan Soekarno itu, tampaknya sulit menelusuri, misalnya, mengapa kemudian hubungan antara Soekarno dan pihak militer tak mulus. Sebaliknya, dengan "menyerah"-nya pimpinan RI tersebut, menurut John Legge, memancing simpati luar negeri terhadap negara yang baru beberapa tahun merdeka ini. Untuk peristiwa Dekrit 5 Juli, kembali ke UUD 1945 sesudah berbagai kabinet jatuh-bangun, uraian Sejarah Nasional Indonesia lumayan gamblang. Yakni bagaimana akhirnya Soekarno tak konsekuen, melenceng dari UUD 1945 itu sendiri, dan memaksakan konsepsi politiknya sendiri. Yang agak aneh, dalam buku untuk SMP, tak disinggung Peristiwa 17 Oktober. Yakni munculnya demonstrasi yang mendesak Presiden agar membubarkan parlemen. Sementara A.H. Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat waktu itu, yang mendukung tuntutan kaum demonstran, mencoba pula berunding dengan Soekarno. Toh, Soekarno sukses meyakinkan semuanya, bahwa pembubaran itu tak mungkin. Memang, makna peristiwa itu sendiri, oleh misalnya John Legge yang menulis buku Sukarno itu, susah dicari maknanya. Tapi menghilangkannya dari buku pelajaran, tampaknya, susah dipertanggungjawabkan. Yang sempat sebentar menjadi polemik adalah Sejarah Nasional Indonesia jilid III untuk SMP cetakan tahun 1976. Di halaman 154, alinea kedua dari atas menyebutkan bahwa Presiden Soekarno menerima komisi dari perusahaan asing. September 1985 Lembaga Penelitian Sejarah Nasional di Universitas Tujuh Belas Agustus, Jakarta, lewat sebuah seminar memasalahkan soal itu. Sebenarnya, dalam cetakan berikutnya alinea itu sudah dihilangkan. Tapi ini hanya menunjukkan betapa ceroboh cara penyusunan buku itu. Menurut Sarwo Edhie, bekas Komandan RPKAD (Kopassus, sekarang), yang kini menjadi Kepala BP-7, sebenarnya alinea itu tidak keliru. Cuma kurang lengkap. Benar, Presiden Soekarno menerima komisi, tapi untuk dana revolusi. Selebihnya, sampai dengan masa Orde Baru, data dan fakta tentang Soekarno memang tak salah Tapi itulah, cara penulisan buku ini menyebabkan banyak siswa tak mampu menangkap bulat peran tokoh ini dalam sejarah Republik Indonesia. Malah, "Tidak hanya oleh murid," kata Nyonya Tuti Sutidjah, guru Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa di SMAN IV, Jakarta. "Saya pun sulit mencernanya." Dan itu, bagi siswa-siswa yang kritis, menimbulkan sejumlah pertanyaan yang mengganggu. "Saya tahu, dan hafal, Bung Karno begitu gigih memperjuangkan Nasakom, menyatukan Islam, nasionalis, dan komunis," kata Iwan Abdurachman, 19 tahun,siswa kelas III Biologi di SMAN III, Bandung "Tapi latar belakang dan maksud gagasan itu, saya tidak tahu. Terus terang saja, meski saya mengagumi Bung Karno, pengetahuan saya tentang dia terbatas sekali. Bahkan siswa yang oleh orangtua merekadibelikan 30 Tahun Indonesia Merdeka. buku setebal 1.031 halaman plus halaman indeks sumber foto, yang dijadikan referensi penulisan buku pelajaran sejarah, malah tambah bingung. Buku ini, berukuran 30 X 27,5 cm, dengan kertas kunstdruk, naskah disusun oleh Nugroho Notosusanto, memang lebih mengutamakan potret-potret. Gambar sampul merupakan reproduksi lukisan koleksi Istana karya Pelukis Dullah, menggambarkan para gerilyawan. Dibuka dengan gambar Soekarno ketika membacakan naskah Proklamasi, buku tebal ini ditutup dengan serangkaian foto pembangunan dalam Repelita I (1969--1974). Lindawati, 18 tahun, kelas III Fisika SMA St. Thomas, Medan, yang suka membuka-buka 30 Tahun Indonesia Merdeka, sampai kini tak habis mengerti mengapa Bung Karno menciptakan Nasakom. Para guru rata-rata mengakui bahwa buku pelajaran sejarah kurang komplet bahannya, termasuk tentang presiden pertama RI Soekarno. Bagi guru yang kurang membaca buku-buku di luar buku pelajaran dan buku pegangan guru, memang bisa repot. Adalah Soekardi, guru Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa di SD Trisula, Jakarta. Pak guru satu ini rupanya agak luas bahan bacaanya, dan terlebih penting, kreatif cara mengajarnya. Di SD Trisula ini dalam pelajaran sejarah murid mendapat tugas mengkliping tulisan mengenai tokoh nasional dalam surat kabar atau majalah. Karena itu, kata Soekardi, tak jarang ada pertanyaan-pertanyaan terhitung cemerlang bagi anak-anak seusia SD. "Mi-salnya, pernah murid saya menanyakan mengapa Bung Karno tak mau membubarkan PKI yang sudah jelas salah," katanya Menjelaskan lewat alasan-alasan politis, tentulah susah diterima anak-anak itu. "Ya, lalu saya ceritakan bahwa Soekarno gandrung pada kesatuan bangsa. Saya ibaratkan Soekarno menghadapi bangsa Indonesia seolah menghadapi keluarga sendiri. Karena itu, ia tak tega membubarkan salah satu keluarganya. Maka, ia serahkanlah soal itu kepada Soeharto," tutur Soekardi. "Kepada anak-anak saya katakan, kekurangberanian Soekarno bertindak itulah saya anggap sebagai salah satu kelemahannya." Sementara itu, menurut para ahli sejarah menampilkan tokoh dalam pelajaran sejarah hdrus hati-hati. Mesti pula memperhatikan sifat masyarakat, kata Dr. Kuntowijoyo dosen sejarah di Fakultas Sastra UGM. "Masyarakat kita belum terbuka," kata Kunto, 46 tahun, yang baru-baru ini diangkat menjadi Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia cabang Yogyakarta. "Lain soalnya di Amerika yang masyarakatnya sudah terbuka," tambahnya. "Di sana bisa saja dikemukakan bahwa Presiden Jefferson ternyata punva gundik orang kulit hitam." Tentang Bung Karno dalam pelajaran sejarah, Kunto berpendapat, sebaiknya guru-guru juga membaca buku-buku tentang Soekarno, "yang kini jumlahnya menurut saya cukup banyak." Guru besar sejarah di Fakultas Sastra UGM juga, Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, pun memandang perlunya kehati-hatian menampilkan tokoh kontroversial macam Soekarno. Jangan sampai menjadi "ekstrem positif atau ekstrem negatif. Yaitu mengagung-agungkan, misalnya seolah-olah Indonesia tak akan merdeka tanpa Bung Karno. Atau sebaliknya, Soekarno itu sebenarnya tak punya peranan apa-apa dalam sejarah kita." Sementara itu, bagi Taufik Abdullah, staf peneliti di LIPI, "sebenarnya tak begitu relevan membicarakan seorang tokoh dalam buku sejarah. Lebih tepat yang begitu itu masuk buku biografi." Sejarah, kata doktor sejarah ini, "tidak terutama ditentukan oleh individu, tapi juga faktor-faktor lain." Dalam hal pelajaran sejarah, Taufik, yang mengundurkan diri dari tim penyusun Sejarah Nasional Indonesia, "lebih perlu diperjelas masalah-masalah yang bersifat nasional." Tampaknya, memang terhadap buku induk dari buku pelajaran sejarah banyak kritik. Sebenarnya pendekatan buku itu baru, "yaitu agak sosiologis," kata Taufik. Tapi karena sebelum sempurna sudah dicetak dan diedarkan, hasilnya tak seperti diharapkan. "Hasilnya hanyalah tumpukan fakta. Jadinya sejarah di sekolah akhirnya menjadi masalah hafalan." Kunto melihat Sejarah Nasional Indonesia memang merupakan pendekatan multimatra. Tak cuma sejarah politik yang diceritakan, tapi juga sejarah pendidikan dan ekonomi. Repotnya, "buku enam jilid itu masih merupakan kumpulan fakta-fakta, belum dianalisa. Misalnya diceritakan pada suatu masa ada perkembangan ekonomi dan pendidikan, masih diceritakan sendiri-sendiri. Bagaimana sintesanya, itu belum dicari." Itu sebabnya Bung Karno clirma dilihat sebagai "simbol kebangsaan", alias kurang diceritakan lengkap kaitan Pahlawan Proklamator -- gelar resmi yang diberikan kepada Soekarno dan Hatta di Hari Pahlawan tahun lalu oleh pemerintah RI - dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Dilihat dari sini, ramai-ramai soal buku pelajaran sejarah tak terlepas dari soal ini: lemahnya metode pengajaran, dan kurang menariknya penulisan buku-buku teks. Sejarah cuma sebuah faset. Bambang Bujono, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini