Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Mengejar produksi, tapi bukan ...

Bagan siapi-api penghasil ikan utama di riau mendekati keadaan krisis. kemerosotan disebabkan kerusakan sumber-sumber ikan. mulai mencari cara memperbaiki kehidupan nelayan yang lebih baik.

17 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENURUT penelitian dari 176 kmÿFD luas perairan laut Riau tiap tahun rata-rata dapat disedot 1~2 juta ton ikan. Dan hingga sekarang laut di kawasan ini masih tercatat sebagai penghasil ikan terbesar dibanding daerah-daerah Indonesia lainnya. Meskipun dari pihak lain ada pendapat bahwa kekayaan laut di sekitar Riau itu belum sampai 40% yang terangkat ke daratan. Benar atau tidak pendapat itu belum dilakukan penelitian menyeluruh. Tapi jika kemerosotan produksi ikan daerah ini dalam tahun-tahun belakangan ditambah lagi dengan kecemasan adanya kerusakan sumber-sumber ikan di kawasan itu - akhir-akhir ini memang banyak dipercakapkan. Misalnya saja, tahun 1974 produksi ikan daerah ini masih mencapai jumlah 190.000 ton. Tahun berikutnya turun jadi 170.000 ton saja. Angka ini menjadi 160.000 ton dalam tahun lalu sementara tahun 1977 ini diperkirakan hanya mencapai 150. 000 ton saja. Kemerosotan hasil ini pada mulanya didalihkan karena banyak armada perikanan daerah ini yang pindah ke perairan laut Jawa. Alasan ini lalu dikaitkan dengan keadaan musim yang tak menguntungkan para nelayan selama tahun-tahun belakangan ini. Kemudian juga dihubungkandengan adanya pengotoran bungkahbungkah minyak di kawasan laut sini yang menyebabkan beberapa jenis ikan menghilang, seperti ikan terubuk. Teluk Antang Namun setelah dilakukan beberapa penelitian, ternyata alasan-alasan itu tak seluruhnya tepat. Sebab misalnya ketika perairan Bagan Siapi-api (penghasil 75% ikan Riau) diteliti 2 tahun lalu, terungkap bahwa tingkat eksploitasi di sini sudah mencapai 80%. Ini berarti Bagan Siapi-api sebagai penghasil ikan utama di sini sudah mendekati keadaan krisis. Para nelayan di Bagan Siapi-api dan Sinaboi mengakui hal itu kepada Koresponden TEMPO Rida K. Liamsi. "Sekarang kami harus berlayar lebih dari 10 jam dulu baru mencapai tempat penangkapan ikan yang baik," kata mereka. Padahal beberapa tahun lalu "cukup 1 hingga 4 jam saja." Dan sekarang hasilnya lebih sedikit, "sehari hanya 100 atau 200 kilo." Sementara itu puluhan banlio (tempat pengasinan ikan) di daerah itu sudah ditutup karena kehabisan bahan. Di lain pihak perairan Natuna yang dianggap punya potensi sekitar 250.000 ton setahun sampai saat ini belum terjamah secara berarti. Menurut catatan Kantor Dinas Perikanan Kepulauan Riau tahun lalu wilayah ini baru menghasilkan sekitar 20.000 ton. Inipun sudah lebih meningkat dari tahun sebelumnya. Barangkali bila proyek Perikanan Teluk Antang yang menelan biaya Rp 200 juta itu sudah berfungsi di tahun 1978 Natuna akan dikuras secara sungguh-sungguh. Yang Lebih Penting Tapi sesungguhnya kerisauan utama dalam soal ikan ini adalah tanda-tanda mulai rusaknya sumber-sumber perikanan itu sendiri. Beberapa sumber TEMPO di Pekanbaru menyebut hal itu karena kacau-balaunya data-data perikanan di sini. Sebab yang selalu diungkapkan adalah produksi ikan Riau baru 30 atau 37 dari potensi yang ada. Artinya masih mampu dikuras terus sehingga izin usaha penangkapan ikan - terutama untuk pukau harimau -- terus saja dikeluatkan. Tahun 1976 memang izin-izin itu tak dikeluarkan lagi. Satu tindakan yang tentu saja cukup terlambat. Dengan kata lain Du as Perikanan Riauselama ini terlampau berorientasi pada jumlah produksi. Padahal sesungguhnya tanda bahaya sudah dinyalakan sejak 1971 yang menyimpulkan bahwa taraf eksploitasi ikan di sini sudah sekitar 80%. Beberapa lokakarya dan simposium kira-kira berpendapat begitu pula. Terakhir lokakarya April tahun lalu dengan kesimpulan: di daerah Bangko/Kubu paling kuat hanya mampu berproduksi 70.000 ton setahun. Tapi nyatanya hingga belakangan uni dari sana dikuras terus dengan hasil 2 kali lipat kemampuan itu. Anehnya walaupun sekian ratus ribu ikan setiap tahun dikeruk dari perairan Riau, justru 80% dari 28.000 orang nelayan di daerah ini masih tetap berstatus miskin. Ini pengakuan Gubernur Riau sendiri, Arifin Ahmad, Juli 1977 lalu. Barangkali karena itu pula Dirjen Perikanan Imam Sarjono mengingatkan bahwa yang lebih penting adalah "bagaimana membantu memberi penghidupan dan kehidupan yang lebih baik buat nelayan-nelayan itu." Ucapan ini dilontarkannya dalam lokakarya perikanan di Pekanbaru belum lama ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus