Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta- Nama Andi Mappetahang Fatwa atau AM Fatwa tak pernah redup sejak zaman Orde Lama. Ia kerap lantang bersuara mengkritik kinerja pemerintahan rezim Orde lama hingga Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu peristiwa besar yang dikritik habis oleh AM Fatwa adalah peristiwa kerusuhan Tanjung Priok 1984. Bersama dengan kelompok kerja Petisi 50, AM Fatwa mengeluarkan sebuah pernyataan yang disebut Lembaran Putih Peristiwa 12 September 1984 di Tanjung Priok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan sikap yang dikeluarkan kelompok kerja Petisi 50 itu menolak pernyataan pemerintah yang menyatakan jumlah korban tewas dari tragedi Tanjung Priok sebanyak 9 orang. Pernyataan ini juga menyebut bahwa tragedi tersebut terjadi karena penyimpangan penguasa dalam pengamalan ketentuan-ketentuan dalam Pancasila.
Lembaran putih itu disusun oleh kelompok kerja Petisi 50 bersama dengan warga lain non Petisi 50 setelah mendengarkan dan mengumpulkan keterangan-keterangan dari saksi. Kelompok oposisi pemerintah ini pun menuangkan sikapnya dalam Lembaran putih tersebut. Ada 22 orang tokoh yang menandatangani pernyataan tersebut, termasuk AM Fatwa.
Namun dari 22 orang itu, hanya tiga orang yang ditangkap atas tuduhan subversif, termasuk AM Fatwa. Dua orang lainnya adalah mantan Menteri Perindustrian, Tekstil, dan Kerajinan Rakyat (1966-1968) M Sanusi dan mantan Pangdam Siliwangi, Letnan Jenderal TNI (Purn) HR Dharsono.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 1985, AM Fatwa dituduh melakukan upaya subversi berupa memutar balikkan, merongrong, dan menyelewengkan ideologi Pancasila atau haluan negara, merusakkan dan merongrong kewibawaan pemerintah yang sah, atau menyebarkan rasa perpecahan dan permusuhan di kalangan masyarakat. Tindakan seperti ini dianggap melanggar Undang-undang Nomor 11/ PNPS/1963, yaitu perkara subversi.
Banyak ceramah Fatwa di berbagai tempat di Jakarta yang dicantumkan jaksa di dalam surat tuduhan. Misalnya, di dalam suatu kesempatan di halaman sebuah masjid di Kemayoran, Jakarta Pusat, Juni 1984, Fatwa menuduh sistem kekuasaan Orde Baru adalah sistem kekuasaan Jawa.
Di kesempatan lain, Mei tahun yang sama, ketika berceramah di sebuah masjid di Jakarta Barat, Fatwa - yang memang seorang mubalig - menuduh DPR yang ada hanya untuk menyalurkan keinginan orang yang berkuasa. Dia juga menuding banyak pejabat yang korupsi. "... banyak pejabat sekarang yang hamil dan melahirkan banyak mobil mewah, hamil dan melahirkan banyak rumah, ...." kata Fatwa di dalam pidatonya, seperti dikutip Jaksa di dalam surat tuduhan.
Atas tuduhan itu, Fatwa diganjar hukuman 18 tahun penjara. Ia mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang selama 9 tahun karena berhasil mendapatkan amnesti.
Di akhir masa hidupnya, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam di masa mudanya ini berkarir sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah perwakilan DKI Jakarta. Sebelumnya, ia sempat menjadi Staf Khusus Menteri Agama, mendirikan Partai Amanat Nasional bersama Amien Rais dan menjadi Anggota DPR RI. AM Fatwa meninggal dunia pada Kamis, 14 Desember 2017 akibat penyakit liver stadium 4 yang dideritanya.
MAJALAH TEMPO