Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VONIS itu tetap menggantung, dan karena itu mungkin itulah keputusan yang bijaksana. Ada 170 ulama, bankir, dan cendekiawan, yang disponsori 19 bank dan tiga perusahaan swasta, yang membicarakan halal dan haramnya bunga bank, di Safari Garden Hotel, Bogor, 1922 Agustus pekan lalu. Hasil pertemuan yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) inilah yang akan menjadi bahan masukan dalam Musyawarah Nasional MUI di Jakarta, 22-26 Agustus. Sebenarnya, bunga bank hanya salah satu topik dari pertemuan tersebut. Di situ pun dibicarakan soal perbankan dan pengembangan sosial ekonomi masyarakat. Tapi, memang, hal bunga bank jadi sorotan utama. Bisa dipahami karena itulah pokok masalah perbankan menurut Islam. Dan kesimpulan yang menggantung itu? Kata K.H. Hasan Basri, Ketua MUI, "Lokakarya ini memang tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan pandangan haram dan halalnya bunga bank." Menurut dia, yang diperlukan masyarakat Indonesia adalah wawasan yang lebih luas pada setiap pendapat sehingga diharapkan adanya sikap saling mengerti dan menghormati. Sebab, masalah utamanya adalah "bagaimana membangun ekonomi umat Islam Indonesia secara keseluruhan, yang tampaknya tertinggal dari yang lain." Tapi, memang, membangun ekonomi, soal perbankan, dan bunga bank bukan masalah yang berdiri sendiri-sendiri. Dicontohkan oleh Kiai Hasan Basri, Nahdlatul Ulama yang dalam tahun ini mendirikan sejumlah bank perkreditan rakyat di berbagai daerah. Kemudian Muhammadiyah, secara diam-diam, juga mendirikan bank. Langkah kedua organisasi Islam itu, menurut tokoh MUI ini, merupakan upaya meningkatkan kemampuan ekonomi umat Islam. Bila kemudian muncul suara-suara mempertanyakan halal dan haramnya bunga bank sehubungan dengan kedua bank organisasi Islam itu, menjadi bukti perlunya diberikan wawasan yang luas tentang bunga bank. Mengkaji dari segala sudut itulah yang dilakukan pertemuan di Bogor itu. Dan bisa diduga sejak awal, perdebatan memang sengit, terutama di komisi yang membahas status hukum bunga bank itu. Ada tiga pendapat yang berkembang dalam forum itu, yang sebenarnya juga bukan pendapat yang baru kali ini saja diperdebatkan. Yakni bahwa bunga bank haram mutlak, halal, dan rukshah (pengecualian dari ketentuan baku). Di antara yang mengharamkan adalah Karnaen Perwataatmadja, bekas Direktur Eksekutif Islamic Development Bank, salah seorang pembawa makalah dalam pertemuan ini. Karnaen mengutip pendapat para ulama dan ahli ekonomi pada sidang Organisasi Konperensi Islam (OKI) pada 1970. Di situ disebutkan, sistem pengenaan biaya uang atas pinjaman, dan bonus atas simpanan dengan persentase pada bank konvensional, bertentangan dengan Quran dan hadis. Dengan kata lain, sistem ini mengandung riba. Maka, perlu alternatif lain. Yaitu sistem yang meliputi, antara lain pengenaan bunga di muka sesuai dengan perjanjian diganti dengan sistem bagi hasil sesuai dengan prestasi di akhir periode yang disepakati. Kemudian alat ukur persentase dalam kontrak diganti dengan nilai nominal. Dan uang pinjaman diganti dengan pembiayaan pengadaan barang yang diperlukan. Dengan kata lain, Karnaen menyarankan didirikannya bank yang sesuai dengan prinsip syariah Islam, yang lazim disebut bank Islam. Kini, katanya, sudah beropersi sebanyak 40 bank Islam di dunia (lihat Mereka Lebih Takut pada Allah). Dari sudut lain Profesor Ibrahim Hosen, salah seorang Ketua MUI, tampil membawakan makalahnya, yang kabarnya ia tulis setelah mengkaji sejumlah kitab kuning selama lima bulan. Ketua Komisi Fatwa MUI itu sekali lagi menegaskan bahwa riba hukumnya haram. Persoalannya kemudian, tentu, apakah bunga bank termasuk riba. Dua cara melihat kemudian ditawarkan oleh Ibrahim Hosen. Menurut kajiannya, ayat tentang riba lebih ditujukan pada praktek pembungaan uang antarperorangan. Di zaman jahiliah orang-orang kaya meminjamkan uang pada si miskin dengan bunga yang memberatkan, padahal mereka mestinya membantu si miskin itu. Dilihat dari situ, bunga bank bukanlah urusan antarperorangan, melainkan antara individu dan lembaga. Kesimpulan itu diperkuat dari sudut lain. Lembaga yang disebut bank termasuk badan hukum yang baru dikenal di Inggris pada 1694, di Prancis pada 1800, dan Belgia pada 1850. Sedangkan pada masa turunnya ayat yang mengharamkan riba, bank belum ada. Secara formal, kata Ibrahim pula, tentunya ayat-ayat Quran yang berkaitan dengan riba tak ditujukan pada badan hukum. "Seandainya fikih mengenal badan hukum, badan hukum tentu berkewajiban melakukan salat, zakat, puasa, dan lain-lain. Hal ini mustahil," kata Ibrahim Hosen pula. Terobosan Ibrahim Hosen itu ditentang keras oleh sidang. K.H. Ma'ruf Amim, Katib Am (Sekretaris Umum) Syuriah PBNU, mendebat pendapat Ketua Komisi Fatwa MUI itu. "Fikih mengenal badan hukum," kata Kiai Ma'ruf. Bila badan hukum tak menjadi obyek hukum, itu karena badan hukum bukan pelaku. Tapi transaksi oleh badan hukum tetap terkena tuntutan hukum. Dan pelaku transaksi tentu ada, yakni pengelola badan hukum atau pemegang saham. Jadi, yang terkena hukum bukanlah badan hukumnya tetapi si pemegang sahamnya. Walhasil, sebagaimana sudah disebutkan di muka, perdebatan dan alasan yang diajukan itulah yang diperlukan. Untuk kemudian, seperti dikatakan oleh Karnaen, semuanya ia kembalikan pada hadis Nabi, "Diserahkan pada hati nurani masing-masing." Dan kepada umat tak cuma disodorkan dua alternatif, haram atau halal. Kata Ali Yafie, Wakil Ketua Umum Nahdlatul Ulama, melihat kenyataan yang berkembang di Indonesia, yang sebagian umat terlibat dengan bunga bank, alternatif rukshah (pengecualian dari ketentuan baku) -- di luar hukum haram dan halal -- mungkin lebih pas. Yakni sepanjang pengecualian itu dalam batas untuk mempertahankan hidup -- yang tidak saja pada batas darurat yang gawat, tapi juga pada batas kecukupan hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo