Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Dari Perwalian Menuju Perwakilan

Umat Buddha mempunyai wadah berhimpun baru. Tapi wadah itu malah menimbulkan perpecahan.

3 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SINGKATAN boleh sama, tapi kepanjangannya bisa beda. Itulah yang terjadi dengan nama organisasi umat Buddha di Indonesia, Walubi. Selama ini Walubi dikenal dengan Perwalian Umat Buddha Indonesia. Tapi, sejak Agustus lalu, Walubi berubah menjadi Perwakilan Umat Buddha Indonesia. Kelihatannya sepele, dari Perwalian menjadi Perwakilan. Tapi, di balik itu ternyata ada konflik yang sedang terjadi di kalangan pimpinan umat Buddha belakangan ini. Walubi versi Perwalian sudah dikenal sebagai wadah berhimpunnya majelis (organisasi umat) dan sangha (organisasi bikhu) yang mewakili berbagai aliran yang berkembang dalam agama Buddha. Ternyata, organisasi tersebut, dalam perjalanannya, diganggu konflik internal yang berkepanjangan, antara lain kericuhan yang terjadi seusai Munas II 1992. Konflik ini melahirkan pemecatan terhadap 13 pengurus dewan pimpinan pusat Walubi dan gugurnya keanggotaan Majelis Budhayana Indonesia (MBI) serta Sangha Agung Indonesia. Kemudian muncul anggaran dasar dan anggaran rumah tangga "kembar". Yang dituduh sebagai motor perpecahan itu adalah Ketua Dewan Penyantun Walubi (1993-1998), Siti Hartati Murdaya. Meskipun langkah Nyonya Murdaya itu didukung oleh penguasa saat itu, pihak yang dipecat menolak cara-cara tersebut. Alasannya, antara lain, karena ke-13 orang yang diangkat oleh Munas itu dipecat berdasarkan rekayasa rapat pimpinan yang disetir oleh Siti Murdaya lewat anggaran dasar baru. Bahkan, sebagaimana yang dituduhkan oleh Lieus Sungkharisma, tokoh MBI yang ikut dipecat, Siti Murdaya, pemilik usaha Grup Berca itu, ikut bertanggung jawab terhadap penyiksaan beberapa tokoh umat Buddha yang dilakukan oleh oknum tentara. Kini, Siti Hartati Murdaya ingin mengubur luka lama itu dan membuat suasana yang lebih akomodatif bagi berbagai perbedaan yang ada. Didukung oleh sejumlah tokoh Buddha, mereka kemudian membentuk Walubi versi Perwakilan, yang dikukuhkan oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Masyarakat Hindu dan Buddha Departemen Agama, 20 Agustus lalu. Seperti diakui Nyonya Murdaya kepada TEMPO, apa yang ia lakukan adalah jalan pintas untuk meruntuhkan benteng pemisah di antara anggota Perwalian. Organisasi yang lama dinilai memiliki kriteria yang terlalu ketat menyangkut akidah (keyakinan). Sebuah aliran seperti Niciren, hanya karena tak sesuai dengan kriteria Perwalian, dipecat. "Sekarang kita sepakat bahwa tiap aliran tidak akan mengintervensi aliran lainnya," kata Siti Murdaya. Beberapa tokoh Buddha dan sekaligus pendiri pengurus Perwalian dan sangha mendukung pembentukan wadah baru tersebut dan menuangkannya dalam pernyataan bersama. Mereka adalah majelis Mahayana, Tantrayana, Kasogatan, Maitreya, Tridharma, Niciren Syosyu, dan Lembaga Agama Buddha Indonesia. Sedangkan sisanya, MBI, Sangha Agung Indonesia, Majelis dan Sangha Teravada, serta Forum Komunikasi Angkatan Muda Buddhis (Forkami), tegas-tegas menolak wadah baru tersebut. "Walubi baru tidak perlu. Kalau tujuannya untuk persatuan umat, cukup memperbaiki yang lama saja," kata Agus Tjandra, Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta, anggota Forkami. Sedangkan Sangha Mahayana sejauh ini belum menentukan sikap. Adapun Lieus menilai langkah pembentukan Perwakilan bertujuan untuk membubarkan Perwalian tanpa melalui kongres. Arahnya, agar pengurus Perwalian, terutama ketua Dewan Penyantun, tak perlu mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. ‘’Dengan wadah baru, maunya kasus-kasus yang ada selesai begitu saja, " kata Lieus kepada Tempo. Namun, tuduhan Lieus itu bisa jadi tidak benar. Sebab, Perwalian rencananya akan menyelenggarakan musyawarah nasional luar biasa akhir Oktober ini. Agenda utamanya, pembubaran Perwalian dan pembentukan Perwakilan. Pertanggungjawaban pengurus tentu bisa saja diagendakan. Kelik M. Nugroho, Karaniya Dharmasaputra, Ahmad Fuadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus