Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Piagam Jakarta ke wawasan ...

Rangkuman tanya jawab menag munawir sjadzali di DPR tentang RUU-PA. sebagian kalangan non-islam khawatir hak-haknya dikurangi. F-ABRI menganggap RUU itu bukan pelaksanaan piagam jakarta.

24 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH pertanyaan menyebar dari berbagai kalangan masyarakat, sejak RUU-PA disampaikan Pemerintah ke DPR, 3 Desember 1988. Ada yang berkisar pada materi RUU, ada juga yang mempersoalkan eksistensi RUU itu sendiri. Ada yang bertanya karena sekadar ingin tahu, tapi ada pula yang waswas kalau-kalau RUU itu adalah langkah bertahap untuk menggerogoti Pancasila. Sebenarnya, banyak dari pertanyaan itu sudah dijawab. Ada yang jawabannya sudah ada di dalam RUU itu sendiri, atau karena ada penjelasan dari para pejabat -- misalnya dari tulisan Menteri Kehakiman Ismail Saleh di Kompas dan penjelasan Menteri Agama Munawir Sjadzali di DPR Senin pekan ini -- serta pakar hukum yang mendukung RUU ini. Untuk mempermudah pemahaman masalahnya, berikut ini kami sajikan rangkuman dari berbagai pertanyaan dan jawaban di sekitar RUU itu. Apa sebenarnya maksud Pemerintah mengajukan RUU-PA ini? Mengapa RUU ini diprioritaskan? Seperti telah dijelaskan oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali, RUU ini merupakan upaya Pemerintah untuk merealisasikan apa yang termuat dalam UU Nomor 14/1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 10 UU tersebut disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dari keempat peradilan ini, tinggal peradilan agama yang hingga kini belum diatur oleh suatu undang-undang. Apa saja yang bakal diatur RUU ini? RUU ini antara lain akan mengatur kedudukan dan wewenang peradilan agama dalam mengadili perkara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan dan segala akibatnya, kewarisan, wasiat, dan hibah menurut hukum Islam. Juga wakaf dan sedekah. Mengapa muncul tuduhan bahwa RUU-PA ini pelaksanaan bertahap dari Piagam Jakarta? Apa sebenarnya Piagam Jakarta itu? Memang ada kekhawatiran, terutama dari sebagian kalangan non-Islam, bahwa RUU-PA ini akan mengurangi hak-hak mereka. Ada yang, misalnya, keberatan karena judul RUU ini tentang peradilan agama, padahal yang diatur adalah orang-orang yang beragama Islam. Piagam Jakarta merupakan istilah untuk menyebut konsep Pembukaan UUD 1945 yang disepakati panitia kecil penyusun naskah UUD itu pada 22 Juni 1945. Dalam konsep itu tercantum kalimat bahwa negara didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tapi kalimat ini kemudian dihapuskan, demi persatuan. Lalu, beralasankah kekhawatiran tadi? Dalam pemandangan umum di DPR Senin pekan lalu, F-ABRI melalui juru bicaranya, R.M. Purba, sudah menjawab kekhawatiran itu. Menurut fraksi itu, RUU ini tak bisa dituduh sebagai upaya melaksanakan Piagam Jakarta secara bertahap, sebab yang ditegakkan dengan RUU ini cuma sebagian dari hukum perdata Islam (tidak meliputi pidana materiil), menyangkut perkawinan, wakaf, sedekah, kewarisan, wasiat, dan hibah. Hukum perdata secara terbatas itu sesungguhnya sudah sejak berabad-abad yang lalu berlaku dan menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia, yang sudah tak dapat lagi dipisahkan dari kehidupan sehari-hari umat Islam di Indonesia. Jadi, RUU-PA hanya mengesahkan apa yang sudah ada dan hidup di tengah masyarakat, bukan berusaha membentuk undang-undang baru. Pelaksanaan hukum perdata Islam secara terbatas dimungkinkan oleh UUD 45 (pasal 29), yang menyebutkan bahwa negara menjamin penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Dalam kaitan itu, di hadapan PP Muhammadiyah, 29 Mei yang lalu, Presiden Soeharto menyatakan, bagi umat Islam, ibadah itu bukan cuma salat dan puasa, tetapi juga hukum-hukum keluarga dan hukum waris. Semua itu dijamin Pemerintah. Apa arti kata "dijamin oleh pemerintah" itu? Di depan sidang pleno DPR Senin pekan ini, Menteri Agama Munawir Sjadzali mengingatkan agar kata-kata "negara menjamin" di dalam pasal 29 UUD 45 itu jangan ditafsirkan seperti apa yang terjadi di negara-negara sekuler, seolah-olah negara lepas tangan dari semua pengaturan kebutuhan hukum bagi para pemeluk agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di negara sekuler, pemerintah tak akan membangun rumah-rumah ibadah, bahkan ada yang melarang pengucapan doa di sekolah-sekolah negeri. Itu tak akan terjadi di Indonesia. Bagaimana pula dengan pendapat yang menyebutkan bahwa RUU-PA ini bertentangan dengan Wawasan Nusantara? Wawasan Nusantara yang tercantum dalam GBHN/Ketetapan (TAP) MPR 1973 memandang seluruh Kepulauan Nusantara ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Negara Republik Indonesia. Dalam bidang hukum, Wawasan Nusantara menyebutkan: Seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional. Dari sinilah lantas muncul pertanyaan: tidakkah RUU-PA yang menggunakan hukum Islam, dan disediakan Pemerintah khusus untuk masyarakat Islam, menyebabkan hukum nasional tak lagi satu, karenanya bertentangan dengan Wawasan Nusantara? Jadi, apakah RUU-PA ini bertentangan dengan Wawasan Nusantara? Menteri Kehakiman Ismail Saleh, dalam tulisannya di Kompas awal Juni ini, mengingatkan soal wawasan nasional yang mendukung kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Wawasan nasional itu berupa tritunggal yang tak bisa dipisahkan: Wawasan Kebangsaan, Wawasan Nusantara, dan Wawasan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan demikian, sekalipun Indonesia merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat, harus disadari bahwa ia terdiri dari berbagai suku, yang memeluk berbagai agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, menurut dia, transformasi norma-norma hukum Islam ke dalam hukum nasional tak bertentangan dengan Wawasan Nusantara, asal saja norma-norma yang ditransforasikan itu tak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, serta relevan dengan kebutuhan hukum yang khusus bagi umat Islam di Indonesia. Bukankah Wawasan Nusantara tadi menyebutkan adanya "satu kesatuan hukum"? F-ABRI, dalam pemandangan umum di DPR pekan lalu, menyatakan bahwa "satu kesatuan hukum" dalam Wawasan Nusantara itu tak bisa ditafsirkan cuma ada satu hukum yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Kalau pandangan demikian yang diterapkan, akan terjadi pemaksaan-pemaksaan hukum pada golongan tertentu, yang pasti akan menimbulkan ketidakadilan. Lebih tegas, seperti dikatakan Menteri Munawir Sjadzali, satu hukum nasional di Wawasan Nusantara itu harus ditafsirkan sebagai satu sistem hukum nasional. Dalam sistem hukum itu terdapat berbagai subsistem hukum nasional, seperti hukum yang khusus berlaku untuk ABRI, hukum tentang keprotokolan yang berlaku terbatas bagi para pejabat negara, dan tentu saja termasuk peradilan agama ini. Lagi pula, RUU-PA bukan RUU pertama yang mentransformasikan hukum Islam. Sebelumnya, ada UU Nomor 1/1974, atau yang lebih populer disebut Undang-Undang Perkawinan. Pada pasal 2 UU itu disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah bila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Artinya, hukum perkawinan Islam diserap oleh undang-undang ini. Apa tak sebaiknya UU Nomor 14/1970 ditinjau karena bersifat diskriminatif? Bukankah menurut pasal 27 UUD 1945, di dalam hukum, kedudukan seluruh warga negara tak boleh dibeda-bedakan? UU Nomor 14/1970 ini disahkam DPRGR (DPR Gotong Royong), 14 November 1970, setelah dibahas selama dua tahun lebih dua hari. Semua fraksi, ketika itu, menerima eksistensi PA. Nyonya Tuti Harahap Sudjanadiwirja dari Fraksi Parkindo (Partai Kristen Indonesia), misalnya, dalam pandangan akhir fraksinya menyatakan cukup puas dengan bab demi bab RUU -- termasuk bab tentang badan-badan peradilan, dan salah satu dari badan peradilan itu ialah PA. T. Mochtar dari IPKI dalam kesempatan yang serupa menegaskan bahwa empat badan peradilan yang berbeda-beda itu tidak bertentangan dengan pasal 27 UUD 45, sebab semuanya berada di bawah Mahkamah Agung. Suara senada dikeluarkan oleh Fraksi Katolik. Dalam pandangan akhir, fraksi itu menyatakan, melalui juru bicaranya, R.G. Doeriat, "Ditetapkannya Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dan sebagai mahkamah kasasi terhadap keputusan yang diberikan oleh pengadilan-pengadilan lain dari Mahkamah Agung memberi jaminan pada kita bahwa di negara RI ini ada kesatuan hukum, dengan pembukaan UUD 45 sebagai sumber hukumnya yang tertinggi." Tapi bukankah UU Nomor 14/1970 itu tersusun sebelum Wawasan Nuantara lahir? Menurut Menteri Munawir, ketika disusun, UU ini sudah dijiwai konsepsi Wawasan Nusantara. Sebab, munurut Munawir, konsep Wawasan Nusantara sudah tumbuh sejak 13 Desember 1957, setelah keluar pengumuman Pemerintah mengenai wilayah perairan Republik Indonesia, yang lazim disebut sebagai "Deklarasi Djuanda". Dengan masuknya perkara kewarisan dalam RUU-PA, bagaimana dengan orang Islam yang ingin menyelesaikan perkara waris di pengadilan negeri dengan menggunakan hukum adat? Penjelasan pasal 49 RUU-PA menegaskan, PA hanya mengurusi pembagian wasiat, hibah, dan kewarisan menurut hukum Islam. Perkara kewarisan itu baru bisa diselesaikan oleh PA bila dikehendaki ahli waris yang bersangkutan. Jadi, bila ahli waris menghendaki penyelesaian menurut hukum adat, tentu saja ia bisa mendatangi pengadilan negeri. Bagaimana penyelesaian waris dari perkawinan campuran? Atau bagaimana hak waris seorang anak non-muslim dari orangtua yang muslim? Bila penyelesaian kewarisan itu dilakukan menurut hukum Islam, sudah jelas anak-anak atau istri yang bukan beragam Islam akan kehilangan hak waris atas harta peninggalan ayah atau suami yang muslim. Tapi perkara kewarisan itu baru bisa dimasukkan ke PA dan menggunakan hukum Islam apabila dikehendaki ahli waris. Pada pasal 50 RUU disebutkan, bila dalam perkara-perkara itu terjadi sengketa, harus diadili lebih dulu oleh pengadilan negeri (umum). RUU-PA cuma berlaku untuk para penganut Islam. Kenapa judulnya tak disebut saja RUU-Peradilan Agama Islam, untuk menghilangkan kesan seolah-olah RUU itu berlaku untuk semua umat beragama di sini? Menurut Menteri Munawir, pada pasal 49 RUU sudah disebutkan bahwa PA bertugas dan berwewenang menyelesaikan perkara orang-orang yang beragama Islam. Tapi, soalnya, nama pengadilan agama itu sudah baku, karena nama itulah yang tercantum dalam UU Nomor 14/1970. Kalau PA adalah peradilan negara, kenapa para hakim dan pejabat di lingkungannya, bahkan pengacara, harus beragama Islam? Bukankah itu bentuk diskriminasi yang lain? Menteri Munawir Sjadali menegaskan bahwa hakim dan para pejabat di sana memang harus beragama Islam. Hal itu karena para pencari keadilan di PA adalah orang-orang Islam dan mereka akan merasa lebih mantap kalau yang menangani urusan mereka juga orang yang beragama Islam. Tentang pengacara, Munawir sepakat tak perlu harus orang Islam, asal saja ia memiliki pengetahuan dalam bidang hukum Islam. Agar PA lebih mandiri, terbebas dari pengawasan lembaga eksekutif, apa tak sebaiknya peradilan itu berada di bawah Mahkamah Agung? Dalam pasal 5 RUU tercantum bahwa Mahkamah Agung cuma pembina teknis bagi semua PA. Sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan berada di Departemen Agama. Bila PA diserahkan kepada MA, yang bisa terjadi adalah diskriminasi terhadap lembaga peradilan itu, selain berbagai masalah lainnya. Soalnya, peradilan umum, yang sama statusnya dengan PA, berada di bawah pembinaan Departemen Kehakiman. Hanya untuk urusan teknis peradilan, peradilan itu dibina oleh Mahkamah Agung.AN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum