ADA lima pasang suami-istri yang hadir di ruang tunggu Pengadilan Agama Yogyakarta, Sabtu pagi pekan lalu. Lima sejoli itu tampak puyeng dilibat perkara gugat-cerai. Keluar dari ruang sidang, dua orang wanita di antara mereka menangis terisak-isak. "Ya, begitulah, setiap hari di sini ada orang menangis dan bertengkar," ujar Drs. Duror Mansyur, Ketua Pengadilan Agama di situ. Soal perceraian memang menempati peringkat tertinggi dari 34 macam perkara yang dilayani Pengadilan Agama (PA) Yogya. Dari 375 kasus yang masuk pada 1988 lalu, 90 di antaranya merupakan perkara gugat-cerai. Namun, kasus cerai itu hampir diimbangi dengan kasus rujuk yang jumlahnya meliputi 75 perkara. Kasus selebihnya menyangkut perkara pemeliharaan anak, soal izin poligami, sedekah, atau pembagian harta waris. Perkara-perkara "rumah tangga" itu pula yang menjadi santapan harian PA Banjarmasin. Namun, di ibu kota tanah Banjar itu, perkara pembagian harta waris lumayan menonjol. Pukul rata, "Kami memeriksa 20-an kasus kewarisan setiap bulannya," tutur Drs. Mahlan Umar, S.H., Ketua PA setempat. Kendati diminati masyarakat, Mahlan mengakui, sesungguhnya putusan PA atas perkara harta waris tak memiliki kekuatan hukum bisa dipaksakan. Dalam hal sengketa waris, "Putusan PA hanya berupa fatwa," ujar Mahlan. Jadi, keputusan itu tidak lebih dari sekadar anjuran atau petunjuk. Pihak yang membandel terhadap amar fatwa itu pun tak bakal berhadapan dengan polisi atau petugas kejaksaan. Tapi, di Banjarmasin, fatwa PA itu sangat dipatuhi oleh mereka yang berperkara. "Tak pernah saya dengar fatwa itu kemudian berbuntut kericuhan," tutur Mahlan. Kepatuhan terhadap putusan pengadilan agama itu juga terlihat jelas di Medan, yang tahun lalu menangani 867 perkara. Sebagian besar mereka yang berperkara -- yang menyangkut soal talak, cerai, rujuk, atau harta waris -- cukup puas oleh putusan pengadilan agama tingkat pertama. Yang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama (PTA), "Tak mencapai 0,01 persen," ujar A. Rif'at Yusuf, Ketua PA Medan. Kendati keputusan serta fatwanya dihormati, dan kehadirannya dibutuhkan umat, lembaga pengadilan agama masih belum memiliki pijakan hukum yang kukuh di Indonesia. Belum ada peraturan setingkat undang-undang yang mengatur secara seragam kehadiran PA di seluruh tanah air. Padahal, lembaga peradilan agama ini secara formal telah muncul sejak lebih dari seabad silam. Lembaga Peradilan Agama mulai menapaki periode formal pada 1882, lewat Staatsblad 1882 no. 152. Kebijaksanaan pemerintah kolonial mengundangkan peradilan agama itu dilatarbelakangi oleh pemikiran Willem Christian van der Berg, ahli sosiologi hukum Belanda yang hidup antara 1845 dan 1927. Van der Berg berkeyakinan bahwa hukum yang paling bisa diterima oleh penduduk bumiputra ialah undang-undang agama (goosdientige wetten), yakni hukum Islam. Staatsblad no. 152 tahun 1882 itu hanya diberlakukan secara terbatas, yakni di Jawa dan Madura. Seiring dengan berlakunya UU itu, pemerintah Belanda mendirikan kantor-kantor pengadilan agama (Priesterrad) di berbagai kota Jawa dan Madura. Kehadiran lembaga pengadilan agama ini menggusur lembaga peradilan tradisional, yang dijalankan oleh para penghulu masjid. Kewenangan Priesteraad itu tak pernah digariskan secara tegas. Tapi sejarah mencatat, lembaga peradilan itu menangani soal-soal perdata yang berkaitan dengan perkara kawin, cerai, waris, mahar, hibah, sedekah, atau wakaf. Keputusan priesterrad itu baru memiliki kekuatan hukum setelah disahkan oleh putusan Landraad, atau pengadilan negeri. Di awal 1900-an, teori Snouck Hurgronje mulai mencuat dan mendesak teori Van der Berg. Snouck Hurgronje berpendapat, hukum Islam sesungguhnya tidak berlaku di Indonesia, kecuali yang telah diadopsi dalam hukum-hukum adat. Lalu, lewat ketentuan yang termuat dalam Staatsblad no. 221 tahun 1929, hakim-hakim agama hanya dibolehkan menangani suatu perkara dengan mengacu pada hukum-hukum adat setempat. Hukum Islam pun tersunat pemakaiannya. Pemangkasan yang paling besar terjadi pada 1937, lewat Staatsblad no. 116. Lewat UU itu, pemerintah kolonial membatasi kewenangan peradilan agama sebatas pada perkara nikah-talak-rujuk. Pada tahun yang sama, di Kalimantan Selatan dibentuk peradilan agama, dengan nama Kerapatan Qadli, untuk pengadilan tingkat pertama, dan Kerapatan Qadli Besar untuk tingkat banding. Kewenangan Kerapatan Qadli itu tidak lebih besar dibanding penadilan agama di Jawa-Madura. Pada kurun pendudukan Jepang, struktur dan kewenangan peradilan agama tak diusik. Hanya namanya saja yang dijepangkan. Lantas setelah tiba masa kemerdekaan, pembinaan lembaga peradilan agama dialihkan dari Departemen Kehakiman kepada Departemen Agama. Sementara itu, di awal 1947, di Sumatera Utara dan Aceh dibentuk Mahkamah Syariah, semacam pengadilan agama, yang bernaung di bawah kantor karesidenan. Pernah pula ada niat memasukkan lembaga peradilan agama dalam peradilan umum, lewat UU no. 19 tahun 1948. Tapi entah kenapa, RUU yang telah disahkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) itu tidak dijalankan. Yang kemudian muncul adalah UU Darurat no. 1 tahun 1951, yang secara resmi mengukuhkan kehadiran peradilan agama. UU itu juga mengamanatkan penghapusan peradilan adat dan swapraja seperti mahkamah syariah itu. Tapi, UU sekaligus juga mengamanatkan pembentukan instansi peradilan agama di seluruh Indonesia. Sebagai pelaksanaan UU itu, ditetapkanlah Peraturan Pemerintah no. 45 tahun 1957, yang mengatur pembentukan peradilan agama di luar Jawa-Madura dan Kal-Sel. Kewenangan kantor-kantor PA yang belakangan didirikan itu justru lebih luas dibanding PA-PA di Jawa-Madura dan Kal-Sel. Mereka berwenang menangani soal kawin, cerai, talak, mut'ah (kawin kontrak), hingga soal wakaf, hibah, dan waris. Perjalanan selanjutnya, peradilan agama makin kukuh. UU no. 14 tahun 1970, yang mengatur pokok-pokok kekuasaan kehakiman, menyebutkan bahwa peradilan agama itu sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Pada perkembangannya kini terdapat 303 PA dan 18 PTA, yang setiap tahunnya melayani 220 ribu perkara. Pengadilan agama masihkah dipercaya menjadi gantungan bagi umat yang mencari keadilan? Ny. Habibah Daud, 50 tahun, staf pengajar di FISIP UI, pernah membuat studi untuk menjawab pertanyaan itu. Riset Ny. Habibah itu dilakuan atas penduduk asli Betawi berkenaan dengan sengketa mereka atas warisan tanah. Dari 1.081 sengketa tanah waris di Jakarta, pada 1976, sebanyak 1.034 kasus (96%) dapat diselesaikan di pengadilan agama, dan hanya 4 yang memerlukan campur tangan hakim pengadilan negeri. "Tak usah pakai analisa, secara deskripsi saja sudah jelas betapa besar minat umat Islam terhadap hukum agamanya," ujar Ny. Habibah. Dalam skala yang lebih besar, penelitian sejenis pernah pula dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), yang bekerja sama dengan Fakultas Hukum UI. Responden yang dijaring oleh riset ini tersebar di kota-kota Sumatera, Jawa, Lombok, dan Kalimantan. Perkara yang diangkat pun tak sebatas pada soal waris, melainkan menyangkut pula soal perkawinan, wakaf, dan zakat. Hasil penelitian itu, antara lain, menunjukkan bahwa 91% dari 451 responden yang terjaring, pada survei 1978 itu, menyatakan keinginannya agar hukum kewarisan model Islam diterapkan untuk mereka. Hasil riset tahun berikutnya, atas 426 responden, juga memberikan kesimpulan yang sejalan: 83% dari mereka juga menghendaki hukum kewarisan ala Islam. Mengapa demikian? Menurut Ny. Habibah, selain peradilan Islam itu lebih cepat dan praktis, "Mereka juga mau mengamalkan ajaran agamanya."Putut Tri Husodo,Ahmadie Thaha, dan Aries Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini