TANGGAPAN terhadap RUU-PA ramai sekali. Bagaimana perasaan Anda? Pertama, ini bukan punya saya. Ini Pemerintah punya. Pada awal proses ini, ada pihak yang seakan-akan mengesankan bahwa ini inisiatif Munawir. Inisiatif Menteri Agama. Bahkan sempat ada satu usaha untuk menampakkan bahwa ini tidak didukung oleh instansi-instansi lain. Itu terang tidak benar. Penyusunan RUU ini dari awal ditangani oleh satu tim yang terdiri dari lima unsur. Unsur Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman, Departemen Agama, Fakultas Hukum UI, dan Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta). Dan kenyataannya, dalam dua kali sidang pleno DPR, Menteri Agama didampingi Menteri Kehakiman. Ada pendapat, RUU ini dibikin untuk menggalang dukungan suara umat Islam pada Pemerintah dalam pemilu yang akan datang? Itu mencari-cari, mengada-ada. Lho, ini pelaksanaan Pelita ke-4, sebagai konsekuensi dari UU No. 14 Tahun 1970. Masalah kemahkamah-agungan sudah selesai dengan terbitnya UU No. 14 Tahun 1985. Tata Usaha Negara juga sudah selesai. Yang belum, tinggal "anak bungsu" ini, peradilan agama ini. Jadi, Anda tak melihat kaitannya dengan pemilu? Nggak, nggak. Saya tertarik pada catatan F-ABRI, yang diwawancarai setelah memberikan pemandangan umum. Dikatakan ini baik sekali timing-nya karena dilakukan sebelum pemilu. Sebab, kalau dekat pemilu, bisa dimanfaatkan, misalnya, untuk tujuan kampanye. Kalau "anak-anak" pertama dan seterunya diselesaikan, masa, yang bungsu tidak diselesaikan. Bagaimana perasaan Anda di-"hantam" oleh berbagai tanggapan, seperti misalnya dari Wakil Ketua MPR Soeprapto. Kan, itulah demokrasi. Masing-masing berhak menyatakan pendapatnya. Saya tidak berhak menilai. Biarlah masyarakat yang menilai. Kini Pancasila sudah menjadi satu-satunya asas. Dalam kasus RUU-PA ini, mengapa masih timbul silang pendapat, dan masing-masing menggunakan Pancasila sebagai dasar bagi penolakan dan penerimaa RUU-PA itu. Nggak, nggak. Itu tak ada kaitan logis. Sebab, Pancasila memungkinkan yang demikian ini. Pancasila tidak membunuh demokrasi, tidak membunuh kebebasan berbicara. Sebab, salah satu sila, yaitu yang keempat, kerakyatan. Jadi, ya harus begini ini. Dan saya kira baik, sebelum diambil keputusan final oleh lembaga legislatif, masyarakat diberi kebebasan untuk membeberkan pendapatnya, yang oleh fraksi-fraksi dijadikan masukan. Jadi, tak ada yang luar biasa dalam hal ini. Mengapa tak ada konsensus dulu, misalnya melalui lobi-lobi, di antara para tokoh. Misalnya antara MUI, PCI, dan MAWI, sehingga tak muncul silang pendapat yang tajam seperti sekarang? Munculnya pendapat berbeda itu wajar. Jadi, tak ada yang luar biasa. Konsensus sudah ada, yaitu mengenai Pancasila. Tapi dalam persiapan undang-undang, itu akan lebih anu .... Hak untuk menentukan sah/tidaknya undang-undang, itu terserah pada perdebatan nasional dan di DPR yang merupakan wakil-wakil yang kita pilih. Apakah cara seperti ini sudah dianggap cukup? Ya, kita kembangkan ke arah lebih baik. Fraksi-fraksi itu, cara menyampaikan pandangan, umumnya sopan-sopan dan rasional. Bahwa kita berbeda, jangankan satu negara, kakak-beradik pun dalam satu keluarga berbeda, kok. Itulah barangkali, saya kira salah satu keuntungan bangsa kita, kita punya temperamen tak cepat marah dan di-brobosin. Dan mau mendengarkan, tapi juga mendengarkan "nyanyian" orang lain. Kembali ke RUU. Konon, ada unsur PDI yang berusaha menggagalkan RUU ini? Terserah. Ia berhak mengemukakan pendiriannya. Anda sudah tahu, sikap dan kekuatan tiap-tiap fraksi. Kalau RUU ini gagal, bagaimana perasaan Anda? Nggak, saya kira, nggak gagal. Saya, kok, optimistis. Optimistisnya di mana? PDI sendiri kan tidak jelas-jelas menolak. Terhadap pertanyaan apakah ini bukan termasuk usaha terselubung dari umat Islam untuk melaksanakan Piagam Jakarta, Fraksi ABRI sudah jelas menjawabnya. Yaitu: kita perlu waspada, tapi waspada bukan berarti curiga. Kalau memang ada indikasinya, ABRI yang bertindak lebih dulu sebagai kekuatan hankam maupun sosial politik. Jadi, ABRI termasuk pendukung RUU. Berarti tak ada .. (yang menolak). Presiden sendiri menyatakan, ini bukan Piagam Jakarta. Jaminan apa lagi yang diminta? Pada tilikan Anda, sebenarnya saat ini berapa besar minat umat Islam untuk melaksanakan Piagam Jakarta itu? Yang terang, pada kekuatan politik yang legal, itu tidak ada. Dengan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas, (semua itu) sudah selesai. Tapi adanya kasus Lampung Selatan dan sebagainya, yang dibilang DI generasi ke-4? Lha iya, itu berapa orang, sih. Itu kan karena tidak tahu. Tidak mudheng, kata orang Jawa. Siapa sih mereka. Lihat saja. Artinya, secara intelektual dan agama pun, mereka itu tidak mudheng. Sejauh mana kekhawatiran non-Islam terhadap RUU. Misalnya dari PGI? Saya tak tahu. Sudah saya jelaskan dalam jawaban saya, bahwa perkataan "Wawasan Nusantara", di mana kita tunduk pada satu hukum nasional, sudah banyak dijelaskan oleh pakar-pakar hukum. Bahwa tidak hanya satu hukum, tapi satu sistem hukum. Selama ini umat Islam di Indonesia tunduk pada tiga hukum. Dua staatsblad, satu undang-undang. Kalau RUU ini diterima, umat Islam nanti hanya tunduk pada satu hukum. Hingga umat Islam di Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan tak ada perbedaan. Peradilan agama di sini hanya satu dari empat peradilan, yang semuanya berpuncak pada satu Mahkamah Agung. Jadi, kalau timbul konflik kompetensi antara peradilan agama dan peradilan umum, nah itu di Mahkamah Agung. Tampaknya masih ada yang curiga bahwa lewat RRU-PA ini umat Islam memperoleh semacam keistimewaan. Maaf, saya tak bisa memberi komentar. Tanyakan saja pada mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini