Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Dari Reja Kain ke Sandal Batik

Warga Ngariboyo, Magetan, memanfaatkan limbah kain batik menjadi sandal batik. Potensial sebagai ikon baru.

20 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Magetan tak hanya punya jeruk pamelo, jeruk seukuran bola voli dengan daging buah berwarna merah, yang disebut-sebut menjadi komoditas asli daerah ini. Juga tak lagi melulu identik dengan Telaga Sarangan, telaga alam di kaki Gunung Lawu di Kecamatan Plaosan. Kabupaten di Jawa Timur dengan 17 wilayah kecamatan dan 208 desa itu memiliki andalan lain: sandal dan sepatu batik, yang sentra produksinya di Desa Baleasri, Kecamatan Ngariboyo.

Agus Supono, Sabtu sore dua pekan lalu, terlihat serius menjejerkan potongan karton putih di atas sehelai kain batik. Lalu pekerja di perajin sandal batik milik keluarga Misni dan Untung Suryadi di Desa Baleasri ini menorehkan lem karet ke sekujur permukaan karton. Setelah lengket, kain batik itu digunting mengikuti pola karton.

Tahap berikutnya, Agus memasang jepit berbahan karton yang sudah dilapisi kain batik dengan motif sama dengan alasnya. Setelah tiga ujung jepitan dimasukkan ke lubang alas laiknya sandal jepit kebanyakan, alas dan jepitan itu dilem dan direkatkan dengan spons hitam yang menjadi dasar sandal. Begitu lem merekat kuat, spons dipotong mengikuti pola. Beres, sandal batik pun jadi.

"Saya bisa merampungkan 100 pasang sandal dalam sehari," kata Agus saat ditemui Tempo. Ia bekerja mulai pukul 09.00 hingga 17.00, dengan waktu istirahat satu jam. Dalam sehari kerja, Agus mengantongi duit Rp 20 ribu.

Menurut pria 32 tahun itu, pembuatan sandal batik membutuhkan ketelatenan. Tahap yang paling sulit adalah "menjodohkan" motif batik pada pasangan sandal. "Yang sulit menggabungkan agar motif di kain bisa terlihat nyambung," kata Agus, yang sudah 13 tahun bekerja di tempat produsen sandal batik milik keluarga Misni ini.

Selain memproduksi sendiri, keluarga Misni menampung produksi sandal batik dari lima tetangganya. Sandal cantik itu kemudian didistribusikan ke Blitar dan Malang (Jawa Timur), Solo (Jawa Tengah), serta Yogyakarta. Pengiriman biasanya dilakukan dua kali sepekan, dikirim 1.000 pasang.

"Langsung dikirim sendiri," kata Marjuki, 25 tahun, anak kelima pasangan Misni dan Untung Suryadi, yang juga terjun ke usaha sandal batik. Usaha keluarga ini relatif stabil. Sebab, pangsa pasar di tingkat lokal tetap bergeliat. Pesanan dari pengepul di sejumlah kota terus mengalir.

Sandal batik produk mereka memilki beberapa model, antara lain sandal jepit Oshin (ada motif bunganya), sepatu selop, dan sandal untuk anak-anak. Reja atau sisa produksi batik cetak sebagai bahan baku sandal dibeli dari Solo dengan harga Rp 25 ribu per kilogram.

Harga produk kerajinan yang dijual per kodi ini bervariasi, tergantung ukuran, bahan yang digunakan, dan tingkat kerumitannya. Untuk sandal anak-anak, Marjuki menjelaskan, harganya Rp 70-75 ribu per kodi atau 20 pasang. Sandal dewasa dibanderol Rp 150-175 ribu. Adapun sepatu Rp 225-250 ribu per kodi.

Usaha serupa juga ditekuni oleh Hendrik Yulianto, yang rumahnya berjarak sekitar 300 meter dari rumah Misni. Tatkala Tempo menemui pria 32 tahun ini pada Sabtu siang dua pekan lalu, gulungan limbah kain batik tampak berserakan di lantai. Potongan spons juga terlihat menumpuk. Dalam sebulan rata-rata ia mengirim langsung 1.000 pasang sandal batik ke Pasar Klewer (Solo) dan Malioboro (Yogya).

Aan—panggilan akrab Hendrik Yulianto—menekuni kerajinan sandal batik sejak 2004. Ia merintis usaha itu dengan modal Rp 200 ribu dari kantong pribadinya. Awalnya ia hanya membuat 60 pasang. Melalui jaringan pedagang produk itu, lama-kelamaan alas kaki buatannya semakin banyak dicari orang. Pesanan meningkat. Uang muka yang diterima digunakan untuk membeli bahan baku berupa limbah kain batik, spons, dan lem. Seperti keluarga Misni, Aan membeli limbah batik dari Solo.

Bagi Aan, urusan membeli bahan baku dengan harga murah bukan hal yang sulit. Sebelum merintis usahanya, ia berpengalaman memproduksi sandal batik di Solo. Berbekal pengalaman itulah ia memberanikan diri memproduksi sendiri. Sepanjang 2005-2008, produksi Aan bahkan sempat merambah pasar ekspor, yakni di Belanda, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Kala itu ia mengirim 2.000 pasang sandal batik ke pasar empat negara tersebut setiap pekan.

Untuk memenuhi pesanan, Aan sempat merekrut lima pekerja. Adapun pasar mancanegara tidak ditangani oleh Aan. Seorang pengepul di Yogyakarta menerima paket sandal batik dari Aan untuk dikirim ke luar negeri.

Sayangnya, masa kejayaan itu hanya berlangsung tiga tahun. Aan tak tahu pasti penyebab merosotnya angka penjualan di luar negeri. Sebab, ia tidak pernah bersinggungan langsung dengan pasar ekspor. "Saya hanya memproduksi berdasarkan pesanan," ujarnya. Kini, selain memproduksi sandal batik untuk pasar lokal, Aan menerima order pembuatan sandal polos dari sejumlah hotel di Magetan dan Madiun, Jawa Timur.

"Kami berupaya mencari celah pemasaran produk hasil kreativitas warga Magetan," kata Kepala Bagian Humas Protokoler Pemerintah Kabupaten Magetan Saif Muchlissun. Salah satu caranya adalah mengikutkan ke pameran, baik di tingkat lokal kabupaten, provinsi, maupun skala nasional. Bila pasar lokal dan nasional bisa ditembus, pekerjaan rumah berikutnya adalah mencoba meraih pasar ekspor, seperti pernah dicicipi Aan.

Perluasan pemasaran kerajinan, termasuk sandal batik, juga diungkapkan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Magetan Suwadi. Perluasan pemasaran dilakukan antara lain melalui program misi dagang antarprovinsi dua bulan sekali. "Alokasi dana untuk pengembangan usaha kecil-menengah dan industri kecil-menengah juga telah ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2014," katanya.

Ihwal harapan perajin sandal batik di Magetan agar komoditas itu dijadikan sebagai ikon baru daerah ini, Saif Muchlissun memberi tanggapan. "Kalau ikon baru bermunculan, hal itu akan semakin menggeliatkan perekonomian daerah.''

Dwi Wiyana, Nofika Dian Nugroho (Magetan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus