Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan partainya menghormati putusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang menghapus presidential threshold 20 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski demikian, Dasco mengatakan Gerindra belum menentukan apakah putusan tersebut bijak atau tidak.
Menurut Dasco, partainya memang harus menghormati putusan MK karena sifatnya final dan mengikat. Artinya, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan, dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadapnya.
“Kita harus menghormati proses hukum yang diambil oleh MK, dan kita sama-sama tahu bahwa putusan MK itu bersifat final dan mengikat,” kata Dasco saat dihubungi Tempo pada Jumat, 3 Januari 2025.
Walaupun demikian, Dasco menambahkan bahwa partainya belum merundingkan penilaian mereka tentang putusan itu. Oleh karena itu, ia tidak berkomentar lebih lanjut tentang apakah putusan tersebut bijak atau tidak.
“Masalah putusan bijak dan tidak bijak, kami belum bicarakan. Tapi yang pasti, prinsip dasarnya itu,” ujar dia.
MK telah resmi menghapus ketentuan presidential threshold, yang mengatur syarat pencalonan presiden dan wakilnya hanya bisa dilakukan oleh partai politik dan koalisi dengan minimal 20 persen kursi di DPR. Ambang batas itu tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan yang menghapus ambang batas itu, dengan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024, pada Kamis, 2 Januari 2025. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Suhartoyo mengatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2017 nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6109 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Selain itu, norma tersebut dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra menyebutkan penentuan ambang batas ini juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerabel secara nyata bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Karena itu, hal tersebut menjadi alasan menurut MK untuk menggeser dari pendirian putusan sebelumnya.
Keputusan penghapusan ambang batas ini juga melalui beberapa pertimbangan lain oleh MK. Dalam pertimbangannya, MK mengatakan pembentuk undang-undang dapat melakukan rekayasa konstitusional dalam merevisi UU Pemilu.
Rekayasa konstitusional ini dapat dilakukan dengan memerhatikan beberapa hal. Yang utama tentunya semua partai politik berhak mengusulkan calonnya masing-masing tanpa didasari persentase jumlah kursi di DPR maupun perolehan suara sah secara nasional.
Selain itu, dalam mengusung calon, partai politik diminta tidak menyebabkan dominasi partai atau gabungan partai sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini dinilai bisa membuat pilihan lebih terbatas bagi para pemilih.
MK juga memerintahkan agar pembuat undang-undang melibatkan partisipasi semua pihak, termasuk partai politik yang tidak menduduki kursi di DPR. Hal ini sejalan dengan prinsip partisipasi publik yang bermakna, atau meaningful participation.
Ihwal rekayasa konstitusional, Dasco mengatakan hal itu akan didiskusikan lebih lanjut oleh DPR. “Panduan rekayasa konstitusional itu kan nanti akan dibicarakan bersama teman-teman di DPR, untuk kemudian dibikin formula yang disepakati untuk dimasukkan dalam UU Pemilu,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
M Raihan Muzakki berkontribusi dalam penulisan artikel ini.