Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Publik akhir-akhir ini ramai berburu tiket hiburan, baik untuk konser maupun pertandingan olahraga. Pada Mei lalu, tiket konser Coldplay yang dibandrol mulai dari Rp800 ribu hingga Rp11 juta habis dalam hitungan menit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengikuti tingginya minat terhadap band asal Inggris tersebut, Aldi Taher menggelar konser bertajuk “Forplay: Tribute to Coldplay”, salah satunya dengan tiket VIP seharga Rp100 juta yang ludes terjual bulan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain konser, masyarakat tak kalah semangat membeli tiket untuk pertandingan olahraga. Sebanyak 60 ribu tiket untuk menyaksikan Timnas Indonesia vs Argentina berlaga dalam FIFA Matchday pada 19 Juni 2023 ludes terjual dalam hitungan menit.
Berburu tiket pertandingan atau konser memang merupakan hal yang wajar, tetapi banyak yang nekat menjual kendaraan, perabotan, bahkan melakukan pinjaman online demi mendapatkan tiket.
Terkait fenomena demam konser atau pertandingan ini, dosen Psikologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Riza Noviana Khoirunnisa turut berkomentar. Dia menilai bahwa menonton konser atau pertandingan dilakukan sebagai bentuk kebahagiaan atau pemuas diri sebagian orang. Menonton konser juga bisa dipahami sebagai bentuk dukungan terhadap sang idola.
Menurutnya, dalam diri penonton terdapat fanatisme atau bentuk pengabdian yang luar biasa terhadap sesuatu. Baik tingkat tinggi maupun rendah, hal tersebut bisa menjadi pendorong munculnya perasaan yang menyenangkan.
Lebih lanjut, Riza mengatakan menonton konser bisa dibilang merupakan bentuk self-reward bagi kebanyakan orang. Konser musik dapat mengurangi hormon stres dalam tubuh dan memunculkan perasaan bahagia.
“Karena pandemi yang baru saja terjadi, saat ini konser menjadi sebuah udara segar yang menarik seluruh antusiasme masyarakat,” ucap dosen Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) itu.
Selain itu, kata dia, menonton konser juga dapat menjadi sarana pengenalan terhadap diri sendiri. Seseorang dapat merasa lebih terhubung dengan orang lain lewat berkenalan maupun berkomunikasi dengan orang lain ketika menonton konser, yang dapat menimbulkan dampak positif.
Tak Melulu Flexing
Riza tak memungkiri, ada juga masyarakat yang hanya ikut-ikutan untuk meningkatkan status sosial atau harga diri. Namun, tidak semua orang memiliki tujuan tersebut ketika akan menonton konser.
Dia mengatakan tingkat kebahagiaan masing-masing orang berbeda-beda dan akan ada yang meningkat karena menonton konser.
Kebahagiaan di sini, kata dia, dipandang sebagai hal positif yang membuat individu merasa berharga dan bermakna. Hal tersebutlah yang dirasakan oleh penggemar ketika menonton konser dan bernyanyi bersama dengan musisi idolanya.
Pengalaman menonton konser secara langsung dinilai tidak dapat digantikan oleh apapun untuk sebagian orang. “Terlebih, ingatan menonton konser ini bahkan bisa terus tertanam di memori seseorang dalam jangka waktu yang lama dan menjadi kenangan manis,” imbuhnya.
Meski begitu, menurut Riza, pembelian yang berlebihan ini berbahaya karena dapat memungkinkan masyarakat untuk melakukan hal yang irasional.
Contohnya seperti menjual barang-barang berharga, berhutang, menghabiskan seluruh tabungan, dan lainnya. Riza juga memberikan pesan kepada masyarakat untuk lebih realistis dalam menyikapi fenomena ini.
“Ketika mampu, ya, lakukan, tapi ketika tidak mampu, tidak perlu memaksakan diri untuk membeli sebuah tiket konser yang harganya mungkin hingga belasan juta,” tutupnya.