Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

WALHI Sumut Catat 19 Kasus Sepanjang 2024: Marak Kriminalisasi Pejuang Lingkungan Hidup

Catatan Tahunan WALHI Sumut 2024, setidaknya terdapat 19 kasus kriminalisasi yang dialami pejuang lingkungan hidup.

18 Desember 2024 | 06.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Sumatera Utara memaparkan Catatan Sepanjang Tahun (Catahu) 2024 mengenai krisis ekologis yang terjadi di Sumatera Utara. Acara yang digelar di Coja Coffee, Medan, pada Selasa, 17 Desember 2024. TEMPO/Rachel Caroline L. Toruan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kasus kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup masih menjadi momok serius di Sumatera Utara (Sumut) sepanjang tahun 2024. Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut 2024, tercatat ada 19 kasus kriminalisasi yang menimpa masyarakat yang tengah memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan lestari. Angka ini menunjukkan bahwa ruang aman bagi para pembela lingkungan semakin tergerus oleh kepentingan korporasi dan lemahnya penegakan hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melalui kegiatan pemaparan Catatan Sepanjang Tahun (Catahu) 2024 yang digelar di Coja Coffee, pada Selasa, 17 Desember 2024, laporan tersebut dipaparkan beberapa kasus menonjol. Beberapa diantaranya adalah kasus Sorbatua Siallagan di Simalungun dan Ilham Mahmudi di Langkat. Sorbatua Siallagan dikenal karena mempertahankan tanah leluhur dan wilayah adat dari ancaman perusakan lingkungan yang disebabkan ekspansi industri perkebunan dan kehutanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara itu, Ilham Mahmudi dikriminalisasi saat berupaya menyuarakan dampak buruk aktivitas perkebunan yang mengganggu kehidupan masyarakat sekitar. Kedua kasus ini menjadi simbol bagaimana perjuangan masyarakat kecil kerap berhadapan dengan intimidasi, tekanan hukum, hingga kriminalisasi.

Dalam kegiatan ini, dibahas berbagai fenomena yang muncul ketika ada benturan antara kepentingan masyarakat yang mempertahankan hak atas lingkungan hidup dengan kepentingan bisnis dari korporasi atau individu pemilik modal, serta melemahnya perspektif lingkungan hidup di kalangan aparat penegak hukum semakin memperparah situasi, sehingga banyak masyarakat yang justru diposisikan sebagai pihak yang bersalah.

Laporan Catahu tersebut juga mengungkap upaya masyarakat dalam memperjuangkan lingkungan hidup telah dijamin oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pasal dalam undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa setiap individu atau kelompok yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Lebih lanjut, adanya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2024 turut memperkuat perlindungan hukum terhadap pejuang lingkungan. Namun, kenyataan di lapangan masih jauh dari ideal, dengan banyaknya aktivis dan warga yang tetap menjadi korban kriminalisasi.

Adapun rincian laporan 19 kasus sepanjang 2024 tersebut dapat diakses melalui tautan ini. https://walhisumut.or.id/download/ribak-catahu-walhi-sumut-2024/

Selain menyoroti kasus kriminalisasi, laporan WALHI Sumut juga mengungkap berbagai persoalan lingkungan hidup yang kompleks di provinsi ini. Beberapa di antaranya adalah kerusakan hutan, konflik tenurial, pencemaran lingkungan, hingga bencana ekologis seperti banjir dan tanah longsor. Kerusakan hutan, misalnya, terjadi secara masif di beberapa kabupaten seperti Simalungun, Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, dan Langkat, akibat praktik illegal logging dan perambahan lahan. Sementara itu, aktivitas pertambangan ilegal juga turut memperburuk kerusakan lingkungan dan memicu konflik sosial.

Dalam konteks konflik tenurial, WALHI mencatat banyak kasus sengketa lahan yang dipicu oleh alih fungsi kawasan hutan untuk kepentingan korporasi. Warga yang berusaha mempertahankan hak atas lahan kerap berujung pada kriminalisasi. Hal ini terlihat jelas dalam kasus-kasus yang melibatkan perusahaan besar seperti PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Simalungun dan konflik lahan dengan pengusaha perkebunan di Langkat.

"Ketua identik dengan para mafia di Sumut, yang memiliki kuasa dominan dalam masyarakat. Kami ingin memberi tahu jika peran dan tanggung jawab mereka begitu besar dalam krisis ekologis di Sumut," kata Rianda Purba, Direktur Eksekutif WALHI Sumut.

Di sisi lain, WALHI Sumut juga menekankan lemahnya peran pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada pejuang lingkungan hidup. Penegakan hukum yang tidak tegas terhadap korporasi pelaku perusakan lingkungan justru berbanding terbalik dengan cepatnya aparat dalam menangani kasus yang melibatkan warga. Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan hukum yang berpihak pada pemilik modal.

WALHI Sumut turut mendesak pemerintah agar segera mengambil langkah konkret dalam melindungi pejuang lingkungan hidup. Beberapa langkah yang direkomendasikan antara lain adalah meningkatkan perspektif lingkungan hidup di kalangan aparat penegak hukum, menindak tegas pelaku perusakan lingkungan, dan memastikan adanya perlindungan hukum bagi masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan.

Menurut Rianda, adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan sangat dibutuhkan sebagai upaya memutus rantai kerusakan ekologis di Sumatera Utara.

“Kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup adalah bentuk ketidakadilan yang harus segera diakhiri. Masyarakat yang berjuang untuk menjaga lingkungan justru berhak mendapat perlindungan, bukan intimidasi atau ancaman pidana,” kata Rianda.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus