Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tepat 2 Maret 2025 menjadi peringatan lima tahun kasus Covid-19 pertama kali ditemukan di Indonesia. Presiden saat itu, Joko Widodo atau Jokowi mengumumkan dua warga negara Indonesia terpapar virus asal Wuhan, Cina tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi bergegas menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional, sepekan setelah pengumuman kasus pertama itu. Menyusul keputusan World Health Organization atau WHO yang menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah berkali-kali mengeluarkan kebijakan untuk menangani penyebaran Covid-19 di Indonesia. Mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan pada 17 April 2020. Kemudian, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali, lalu diganti lagi menjadi PPKM Mikro pada Februari 2021.
Berlanjut lagi dengan PPKM Darurat pada 3-20 Juli di Jawa-Bali, dan 12-20 Juli di luar Jawa-Bali. Kemudian diperpanjang dengan istilah baru PPKM Level 4 pada 20-25 Juli 2021. Pada 7 September 2021, pemerintah memberlakukan PPKM berbasis Level 4, 3, dan 2, 1 di Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali.
Butuh tiga tahun bagi pemerintah untuk menetapkan pandemi Covid-19 menjadi endemi. Keputusan mencabut status pandemi Covid-19 di Indonesia itu diambil dari pertimbangan angka konfirmasi kasus harian yang mendekati nihil.
Belakangan, Jokowi mengakui bahwa pemerintah sempat kebingungan untuk menangani Covid-19 di awal merebaknya virus itu. Menurut dia, di awal masa itu tak banyak negara yang punya pengalaman menangani pandemi tersebut.
"Jadi mau belajar ke siapa enggak ada, pakemnya, standarnya, enggak ada. Semuanya gugup," kata Jokowi di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Rabu, 1 Februari 2023.
Dia mengatakan minimnya referensi itu membuat pemerintah gagap menangani pandemi Covid-19. Akibatnya, ujar dia, terjadi turbulensi ekonomi dan membuat pertumbuhan ekonomi jatuh.
Jokowi turut mengungkapkan tantangan lain dalam menangani Covid-19. Kala itu ia bimbang untuk membuat kebijakan lockdown atau tidak.
Menteri dan pejabat di pemerintahan Jokowi setuju agar dilakukan isolasi total agar penyebaran Covid-19 bisa diredam. Namun, Jokowi punya pertimbangan lain. Ia mengklaim tidak ingin lockdown karena memikirkan nasib masyarakat kelas bawah.
Jokowi berhitung-hitung, bahkan mengaku bersemedi berhari-hari sebelum mengambil keputusan. Ia memprediksi bila menerapkan lockdown maka dalam 2 sampai 3 minggu peluang rakyat kecil mencari nafkah bakal tertutup.
"Semuanya ditutup, negara tidak bisa memberikan bantuan kepada rakyat. Apa yang terjadi? Rakyat pasti rusuh, Itu yang kami hitung, sehingga kami putuskan saat itu tidak lockdown," katanya.
Jokowi mengklaim bahwa keputusan tidak mengisolasi total itu telah tepat karena pandemi dapat tertangani dan kondisi ekonomi tidak terlalu anjlok. Faktanya, pendapatan penerimaan negara tetap anjlok 16 persen di saat belanja negara harus naik 12 persen saat itu.
ARSIP TEMPO
Pilihan Editor: Lima Tahun Kasus Covid-19 di Indonesia: Cerita Pasien Kesulitan Cari Rumah Sakit