LAGI, berita mengejutkan dari Lampung Selatan. Ratusan rumah penduduk Kecamatan Pulau Panggung dibakar atau dirusak. Pelakunya bukan perampok, tapi serombongan aparat di bawah pimpinan Camat Hasdidi Thoib. Harta benda mereka juga dirampas, termasuk bahan makanan. Kopi hasil panen ada yang dihanyutkan ke sungai. Ini laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 10 Juni 1989, ditandatangani ketua dewan pengurusnya, Abdul Hakim G. Nusantara, setelah mendengar pengaduan para wakil penduduk Pulau Panggung, Februari lalu. LBH mencatat, kekerasan itu berlangsung sampai 28 Mei lalu. Tapi sampai 13 Juni pembakaran rumah itu ternyata masih ada. Alasan pembakaran itu, karena penduduk tidak mau pindah dari hutan lindung di kawasan yang disebut Register 32-39, lebih kurang 110 km dari Bandarlampung, ibu kota Lampung. Dari 1,2 juta hektar hutan lindung di provinsi itu, memang lebih dari separuhnya sudah jadi perkampungan, dihuni sekitar 55.000 kepala keluarga (kk). Penduduk Pulau Panggung sendiri 2.376 kk, sebagian besar merupakan transmigran swakarsa asal Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka berdatangan ke sana sejak tahun 1960-an, dan membuka hutan lindung dengan bekal "surat izin tebang" dari Dinas Kehutanan setempat. Mereka memiliki KTP sah, dan membayar Ipeda. Umumnya mereka memiliki areal perkebunan 2 sampai 7 hektar, yang rata-rata menghasilkan kopi 4 kuintal per hektar. Pada musim panen April lalu, harga kopi bisa mencapai Rp 3.000 per kg. Kawasan ini memang penghasil kopi jenis robusta paling besar di Lampung Selatan. Meskipun rumah penduduk rata-rata berdinding gedek dan berlantai tanah, sarana umum dapat dibangun secara swadaya. Misalnya 13 gedung SD, 12 masjid, 75 musala, balai desa. Mereka juga mampu memperbaiki jalan dan jembatan. Tapi, menurut laporan LBH, hasil pembangunan itu -- antara lain masjid dan gedung SD -- ada yang dibakar. Beberapa pejabat, mulai dari camat sampai gubernur, menyatakan rumah-rumah itu tak berpenghuni. Menteri Dalam Negeri Rudini sendiri menyatakan hal itu sebagai masalah lama. Inti masalahnya: hutan lindung harus dilestarikan dan tidak boleh dihuni. Penduduk diminta pindah, tapi bertahan terus, menungu panen. "Kalau menunggu panen terus, kan tidak ada selesai-selesainya," katanya. "Tapi kalau benar ada pembakaran rumah dan masjid, akan saya tindak tegas aparat desa di sana," ujarnya pekan lalu, seusai berceramah di Undip, Semarang. Di Jakarta, Rudini menyatakan juga, penduduk sudah diberi ganti rugi. Maka, kalau rumah-rumah itu dihancurkan, "rumah itu kan sudah jadi milik negara." Ia tidak menyalahkan penduduk, tapi mensinyalir adanya cukong-cukong yang menyuruh mereka kembali bertanam kopi di hutan lindung untuk kepentingan pribadi. Sebuah sumber di Korem 043 Garuda Hitam menjelaskan, pihak penduduk tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Yang salah, kata sumber tadi, pemberitahuan untuk pindah itu disampaikan terlalu mendadak. "Apalagi pemberangkatan transmigran itu ternyata diborongkan kepada swasta, yang tentu saja mencari keuntungan," tambahnya. Dalam rapat dinas antarinstansi di Bandarlampung, Kakanwil Kehutanan, Napitupulu, konon membantah praktek pembakaran itu. Tapi, menurut sebuah sumber, pembakaran rumah itu memang terjadi. Bahkan juga ada pembakaran tenda-tenda penduduk yang berusaha mengamankan diri setelah rumah mereka dibakar. Sumber itu juga mengakui masih adanya oknum-oknum -- di antaranya menyaru sebagai anggota ABRI -- yang melakukan pembakaran dan pemerasan, sampai minggu lalu. "Sulit, lho, mengawasi hutan seluas itu," katanya.Budiman S. Hartoyo, Ahmadie Thaha (Jakarta), Haddy Lugito (Yogyakarta), Effendi Saat, Tri Budianto Soekarno (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini