Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI hadapan perwakilan majelis taklim dan pejabat Kementerian Agama yang me-riung di salah satu hotel di Bogor, Jawa Barat, awal November lalu, Romlah Hidayati menyampaikan temuan lembaganya. Koordinator Bidang Hukum, Advokasi, serta Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama itu menyebutkan sejumlah majelis taklim di Surabaya menyebarkan ajaran yang menyimpang.
“Majelis taklim itu membanggakan kejayaan negara Islam dan kerap menyerang pemerintah,” ujar Romlah menceritakan kembali paparannya kepada Tempo, Kamis, 12 Desember lalu. Enggan merinci lokasinya, ia mengatakan majelis taklim tersebut bergiat di perumahan.
Menurut Romlah, pertemuan di Bogor itu dalam rangka penyusunan draf Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang Majelis Taklim. Masalah radikalisme menjadi salah satu pembicaraan yang mencuat. Sejumlah peserta yang hadir, kata Romlah, menyatakan tak ingin ada majelis taklim yang menyebarkan ajaran atau kajian yang menyimpang.
Dokumen yang diperoleh Tempo menyebutkan ada sejumlah organisasi ikut menyusun draf aturan soal majelis taklim. Direktur Penerangan Agama Islam Kementerian Agama Juraidi mengatakan lembaganya memang meminta masukan dari berbagai kalangan, termasuk pemimpin organisasi taklim. Pembahasan rancangan itu pun tidak hanya sekali. Ketua Dewan Masjid Indonesia Maria Ulfah Anshor mengaku ikut memberikan materi soal dakwah di era globalisasi dalam Rapat Koordinasi Pimpinan Majelis Taklim Tingkat Nasional di Golden Boutique Hotel, Jakarta, 24-26 Oktober lalu. “Tapi saya tidak tahu itu merumuskan PMA.”
Dalam situs Direktorat Jenderal Bimbing-an Masyarakat Islam Kementerian Agama, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Muhammadiyah Amin mengatakan dalam rapat koordinasi nasional tersebut harus ada aturan khusus tentang majelis taklim. Ia menilai organisasi itu berperan penting di berbagai bidang, termasuk menyelesaikan masalah di masyarakat karena dianggap sebagai organisasi yang bersifat terbuka. “Perannya efektif dalam menangkal bahaya pornografi, narkoba, dan radikalisme,” ujar Muhammadiyah Amin.
“Jangan sampai ada majelis yang menjadi sumber persoalan, tahu-tahu mengembangkan radikalisme.”
— Wakil Presiden Ma’ruf Amin
Akhirnya, pada 13 November lalu, terbitlah Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim. Pendataan ini diatur dalam Pasal 6 PMA itu. Isinya, majelis taklim harus terdaftar di Kementerian Agama. Menteri Agama Fachrul Razi menuturkan, peraturan itu bertujuan mendata majelis taklim. Selama ini, Kementerian tak punya data pasti ihwal jumlah majelis taklim. “Untuk pembinaan dan bantuan dukungan anggaran,” ujarnya, Jumat, 13 Desember lalu.
Menurut mantan Wakil Panglima Tentara Nasional Indonesia itu, banyak majelis taklim mengeluhkan susahnya mendapat bantuan dana ataupun tenaga penyuluh. Kementerian Agama menyiapkan 50 ribu penyuluh agama yang akan diterjunkan ke majelis taklim.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin justru menegaskan bahwa tujuan pendataan majelis taklim itu adalah mendeteksi penyebaran radikalisme. “Jangan sampai ada majelis yang menjadi sumber persoalan, tahu-tahu mengembangkan radikalisme,” ujarnya, Senin, 2 Desember lalu. Ma’ruf menjadi Komandan Penanggulangan Terorisme dan Radikalisme, yang membawahkan sejumlah kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Aturan itu pun menuai kritik dari berbagai kalangan. Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Salahuddin Wahid, menyatakan pemerintah seharusnya tak mewajibkan pendaftaran majelis taklim. Ketua Umum Pengurus Pusat Muhamma-diyah Haedar Nashir menilai sikap pemerintah yang mengaitkan pendaftaran majelis taklim dengan radikalisme akan menimbulkan diskriminasi. “Asumsinya, berarti umat Islam menjadi sumber radikalisme,” ucapnya, Rabu, 4 Desember lalu.
Ketua Majelis Taklim Al-Furqan di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, Siti Zaenab, mengatakan PMA ini berlebihan karena tak semua majelis berharap bantuan dari pemerintah. “Kami tak pernah mendapat bantuan dari pemerintah, tapi kegiatan jalan terus,” ujarnya.
• • •
Kementerian Agama juga berupaya menghindarkan siswa madrasah setingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dari paham radikalisme. Melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 183 Tahun 2019 tentang Pedoman Kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab, se-gala materi tentang jihad dan khilafah ditarik dari pelajaran fikih. Konten tersebut kemudian dimasukkan ke sejarah kebuda-yaan Islam.
Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan peralihan itu dilakukan karena lembaganya menemukan banyak penyimpangan dalam pelajaran fikih. Dia mencontohkan, materi soal khilafah dan jihad cukup banyak berisi pembunuhan. “Padahal tujuan dari materi itu justru memahami sejarahnya,” katanya.
Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan Madrasah Kementerian Agama Ahmad Umar mengatakan aturan tersebut mulai digodok pada 2017. Kementerian juga melibatkan sejumlah tokoh dan ahli agama. Nantinya, materi sejarah yang akan diajarkan pada tahun ajaran 2020 itu berisi sejarah para nabi dan sahabatnya serta sistem pemerintahan yang berlaku saat itu.
Umar mengklaim materi pengajaran di madrasah akan membuat murid tidak lagi beribadah secara tertutup dan eksklusif serta lebih toleran terhadap pemeluk agama lain. Dengan begitu, kata Umar, murid madrasah lebih imun terhadap radi-kalisme dan ekstremisme. Menurut Umar, modal itu bakal membantu pelajar menghadapi ajakan-ajakan bergabung dengan kelompok radikal.
Wakil Ketua Komisi Agama Dewan Perwakilan Rakyat Ace Hasan Syadzily menilai peralihan ajaran khilafah dan jihad itu mengada-ada. Selama ini, materi itu sudah menjadi santapan sehari-hari pelajar madrasah. Menurut politikus Partai Golkar ini, seharusnya Kementerian Agama mencegah penyebaran radikalisme dengan menguatkan kapasitas tenaga pendidik. Apalagi, selama ini, masalah terbesar justru ada pada pengajar madrasah yang berpotensi memberikan materi yang melenceng. “Strategi pemerintah ini tidak efektif membendung radikalisme,” ujarnya.
Meski optimistis aturan baru tersebut bisa efektif, Ahmad Umar menyatakan keputusan itu tak otomatis memberantas radikalisme di kalangan pelajar. Kebijakan itu, menurut Umar, hanya bersifat preventif. “Seperti memberi suntikan cacar kepada anak-anak.”
HUSSEIN ABRI DONGORAN, FRISKI RIANA, AKHYAR M. NUR (BIMA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo