Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI mimbar Masjid Tarqiyah Taqwa di lantai delapan gedung Telkomsel Smart Office, Jakarta, Syihabuddin Umar berceramah setelah mendirikan salat zuhur, Kamis, 12 Desember lalu. Isi dakwah-nya soal larangan dan hukuman bagi pegawai yang melakukan korupsi. Sekitar 50 pegawai Telkomsel meriung di sekitar mihrab dan menyimak khotbah dai asal Bekasi tersebut.
Nesya Sofiana, 27 tahun, pegawai Telkomsel yang hadir di situ, mengaku sering mendengarkan ceramah Syihabuddin di masjid tersebut. “Dia cukup sering diundang ke sini,” ujarnya kepada Tempo seusai ibadah. Sepanjang mengikuti dakwah Syihabuddin, Nesya tak pernah mendengar dai asal Bekasi itu menyerukan ajaran radikal.
Masjid Tarqiyah Taqwa menjadi sorotan saat Ramadan lalu. Kala itu, Majelis Taklim Telkomsel mengundang 21 dai berkhotbah. Beberapa di antaranya pernah menyerukan Negara Kesatuan Republik Indonesia bersyariah. Setelah daftar penceramah itu viral di media sosial, Telkomsel urung mengundang ustad-ustad yang dituding menyebarkan radikalisme
Manajer Media Relations Telkomsel Kurnia Purwanto menjelaskan latar belakang peristiwa pada Ramadan itu. Termasuk soal tudingan bahwa pegawai Telkomsel telah terpapar radikalisme. Namun, belakangan, dia meminta pernyataannya tak dikutip. “Setelah berkoordinasi dengan pihak internal, kami tak ada pernyataan soal hal itu,” kata Kurnia.
Dugaan radikalisme di kalangan pegawai perusahaan pelat merah mendapat sorotan dari pemerintah. Dalam wawancara dengan Tempo pada Sabtu, 7 Desember lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengaku sudah menerima daftar pegawai BUMN yang terpapar radikalisme dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Enggan membeberkan data tersebut, Erick memastikan ada tim khusus yang menangani persoalan itu. “Loyalitas kepada negara penting. Kalau ideologinya bukan Pancasila, mending jangan tinggal di Indonesia,” ujarnya. Dimintai tanggapan, Mahfud enggan berkomentar tentang paparan radikalisme.
Tak hanya menyoroti pegawai perusahaan pelat merah seperti Telkomsel, pemerintah juga membidik aparatur sipil negara (ASN) yang dianggap radikal. Lewat surat keputusan bersama sebelas instansi yang diterbitkan pada akhir November lalu, pemerintah membuat aturan penanganan radikalisme di kalangan pegawai negeri. Surat itu antara lain melarang pegawai pemerintah mempublikasikan ujaran kebencian terhadap dasar negara, konstitusi, dan pemerintah. Para abdi negara juga tak boleh menyebarkan, berkomentar, dan menunjukkan ekspresi keberpihakan kepada ideologi yang bertentangan dengan Pancasila di media sosial.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mengatakan aturan itu mengikat semua aparat negara yang terdiri atas pegawai negeri dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja di instansi negara. “Silakan kalau ada yang nyinyir. Tapi, kalau mau masuk menjadi ASN, harus mengikuti aturan itu,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut.
Aturan itu sebenarnya mulai dibahas setahun sebelum periode pertama pemerintahan Joko Widodo berakhir atau sekitar Oktober 2018. Saat itu, kampanye pemilu presiden baru dimulai sekitar sebulan. Adalah Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang dipimpin Wiranto yang menyusun drafnya. Bekas anggota staf ahli Wiranto, Sri Yunanto, bercerita bahwa draf itu dibuat setelah Kementerian mencermati riset sejumlah lembaga survei tentang radikalisme. Salah satunya sigi Alvara Research Center, yang menunjukkan 19,4 persen dari 300 responden pegawai negeri dan 9,1 persen dari 500 karyawan BUMN di enam kota terindikasi anti-Pancasila.
Survei yang sama menyebutkan 22,2 persen pegawai negeri sipil dan 10,3 persen pegawai BUMN sepakat bahwa bentuk negara yang ideal adalah khilafah. “Kami perlu mengambil tindakan atas gejala ini karena ASN itu role model,” kata Yunanto menirukan pernyataan Wiranto saat itu. Kementerian sempat menguji kesahihan temuan Alvara. Menurut Yunanto, data milik lembaga intelijen memverifikasi kebenaran hasil riset tersebut.
Namun draf awal surat keputusan bersama itu tak kunjung rampung dibahas. Inisiatif melanjutkan pembahasan datang dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Awalnya, kementerian itu hanya mengundang lembaga di sektor kepegawaian, yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara dan Badan Kepegawaian Negara. Forum itu dibentuk tak lama setelah Wiranto ditikam Syahrial Alamsyah alias Abu Rara di Pandeglang, Banten, pada 10 Oktober lalu.
Setelah insiden itu, sejumlah personel Tentara Nasional Indonesia menerima sanksi akibat istri mereka berkomentar sinis tentang penusukan Wiranto. Salah satunya Komandan Distrik Militer Kendari Kolonel Hendi Suhendi. “Militer sudah bergerak, bagaimana dengan pegawai negeri? “kata Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto menirukan ucapan seorang peserta yang menghadiri pembahasan surat keputusan bersama.
Agus sendiri tak mau buru-buru mengambil keputusan dalam rapat perdana itu. “Pembahasan mengenai pencegah-an radikalisme dan aktivitas para ASN di media sosial sebaiknya melibatkan lebih banyak lembaga,” ujar Agus memberikan saran. Usul itu didukung sejumlah peserta rapat. Salah satunya untuk membahas definisi radikalisme. Jadilah rapat berikutnya dihadiri perwakilan sebelas instansi, antara lain Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Dalam pertemuan itu, pembahasan tentang definisi radikalisme mendatangkan berbagai versi. Kementerian Agama mengusulkan bahwa pegawai negeri yang radikal adalah mereka yang berniat mengubah sistem politik dan dasar negara. “Tindakan itu tecermin dalam aksi intoleran dan tak mau mematuhi sistem,” kata Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abdur Rahman Mas’ud, yang ikut merumuskan definisi radikalisme.
Adapun Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara memakai aturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil untuk mendefinisikan paham radikal. Setiawan Wangsaatmaja, Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, mengatakan, dalam dua regulasi itu, pegawai negeri wajib setia kepada Pancasila dan UUD 1945. “Mereka tidak boleh setia kepada ideologi yang lain.”
Peluncuran Portal Aduan ASN & Penandatanganan Surat Keputusan Bersama Penanganan Radikalisme ASN di Jakarta, 12 November 2019. www.kasn.go.id
Diskusi berjalan hangat ketika menyangkut nasib aparat negara. Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto melontarkan bahan diskusi dengan menanyakan sanksi bagi dosen ASN yang datang ke forum diskusi khilafah dalam status sebagai peneliti. Salah satu poin pelanggaran dalam rancangan adalah menghadiri kegiatan yang membenci dasar negara dan konstitusi. “Kalau niatnya riset, apakah dia akan diberi sanksi?” Agus bertanya.
Seorang pejabat Kementerian Agama yang mengetahui pembahasan dalam rapat itu mengatakan forum tersebut bersepakat membuat mekanisme investigasi. Pegawai negeri yang diduga pro-kelompok anti-Pancasila tak bisa langsung dihukum. Inspektorat jenderal harus mengundang pakar yang paham mengenai gerakan radikal untuk memeriksa pegawai negeri yang diadukan. Jika terbukti, barulah sanksi dijatuhkan. Sebaliknya, apabila tak terbukti, kementerian wajib merehabilitasi nama baik teradu.
Surat keputusan bersama itu menuai kritik dari berbagai kalangan. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Choirul Anam, menilai aturan itu berpotensi menyasar pegawai negeri yang kritis terhadap pemerintah. Pendiri Lokataru Foundation, lembaga pegiat hak asasi, Haris Azhar, menilai aturan itu bakal menjadi legitimasi untuk menuding pegawai pemerintah yang kritis sebagai penganut paham radikal.
Pemerintah tak ambil pusing. Sebelas instansi kemudian meluncurkan portal aduanasn.id yang dikelola Kementerian Komunikasi dan Informatika. Di situs itu, pengadu bisa melaporkan pegawai negeri yang dianggap anti-Pancasila, lengkap dengan bukti yang dimiliki. Kementerian kemudian menyortir laporan dan mengirimkannya ke institusi terkait. Setelah itu, mekanisme investigasi dan pemeriksaan pegawai dimulai. Menurut Setiawan Wangsaatmaja, hingga pekan pertama Desember lalu, ada 87 laporan yang masuk ke portal aduan.
Tak hanya mengandalkan portal aduan Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah belakangan juga memakai perangkat pendeteksi paham radikal yang dikembangkan Hamdi Muluk, guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dia mengklaim perangkat itu telah dipakai di belasan instansi pemerintah dan swasta. Menurut Hamdi, alat tersebut bisa mendeteksi apakah ucapan dan aktivitas seseorang di media sosial bertujuan menyebarkan paham radikal atau tidak.
Alat itu juga bisa menyimpan berkas tes tertulis dan wawancara pegawai yang bisa diakses institusi penggunanya saat hendak memetakan ideologi pegawainya. Hamdi optimistis hasil deteksi itu bisa mencegah terjadinya konflik akibat radikalisme. “Perangkat ini menjadi asesmen komprehensif agar Indonesia tak menjadi Suriah kedua,” kata Hamdi.
RAYMUNDUS RIKANG, DEVY ERNIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo