Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan Bachtiar Najamuddin merespons pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mengusulkan agar sistem pemilihan kepala daerah dikembalikan dari pemilihan langsung ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ia mengatakan DPD akan mengevaluasi dan mengkaji sistem pilkada saat ini dengan mempertimbangkan partisipasi dan keinginan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Intinya kami punya beberapa opsi untuk menyederhanakan dan membuat demokrasi makin efisien dan efektif, sekaligus meningkatkan kualitas demokrasi," kata Najamuddin lewat keterangan tertulis Jumat, 13 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan dirinya pernah menyinggung perubahan sistem pilkada dalam beberapa kali pertemuan dengan Prabowo. "Pilkada langsung juga tidak menjamin otomatis adanya legitimasi daulat rakyat yang kuat," katanya.
Najamuddin mencontohkan tingkat partisipasi pilkada serentak 2024 yang cukup rendah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan bahwa tingkat partisipasi secara nasional di pilkada 2024 hanya mencapai 71 persen. "Di pilkada Jakarta bahkan hanya 58 persen," kata dia.
Senator asal Bengkulu ini berpendapat bahwa sistem pilkada harus disempurnakan. Ia pun menyebut opsi terbaik, yaitu pemilihan gubernur dilakukan lewat DPRD. Sedangkan pemilihan bupati dan wali kota tetap digelar pilkada secara langsung.
"Terutama pilkada gubernur yang sejak awal memang kurang relevan dengan posisi dan fungsi gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Gubernur seharusnya menjadi mandataris pemerintah, seperti camat yang ditentukan oleh bupati," ujar Najamuddin.
Ia mengatakan sistem pemilihan gubernur tersebut akan membuat gubernur lebih leluasa menerjemahkan program pemerintah pusat tanpa hambatan politik dan tekanan masyarakat.
Presiden Prabowo Subianto mengusulkan perubahan sistem pilkada dari pemilihan langsung ke pemilihan di DPRD saat berpidato di perayaan ulang tahun ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis malam, 12 Desember lalu. Ketua Umum Partai Gerindra ini menyebut bahwa ada peluang kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD.
Usulan Prabowo ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dalam sistem pilkada di Indonesia. Di awal Reformasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengatur sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Sistem ini berbeda dengan mekanime pemilihan kepala daerah di masa Orde Lama dan Orde Baru. Saat itu, presiden yang berwenang mengangkat kepala daerah atas rekomendasi atau usulan DPRD.
Lima tahun setelah Reformasi bergulir, Undang-Undang Pemerintahan Daerah direvisi, yang membuka peluang sistem pilkada secara langsung. Sistem pilkada secara langsung mulai direalisasikan pada Juni 2005.
Pada 2014, Dewan Perwakilan Rakyat dan eksekutif mengesahkan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Undang-Undang Pilkada. Tapi ketentuan dalam undang-undang ini justru mengembalikan sistem pilkada ke DPRD. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk mengembalikan sistem pilkada langsung akibat menuai penolakan publik.
Di era pemerintahan Joko Widodo, pilkada secara langsung mulai digelar secara serentak untuk sejumlah daerah, yaitu pada 2015, 2017, 2018, dan 2020. Adapun pilkada serentak secara nasional mulai digelar tahun ini.
Prabowo Subianto mengatakan sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD akan mampu menekan ongkos politik di pilkada. Ia juga menyinggung mengenai efisiensi anggaran ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD. Di samping tidak boros anggaran, sistem pemilihan lewat DPRD juga mempermudah transisi kepemimpinan. Ia mencontohkan pemilihan di Malaysia, Singapura, dan India.
“Mereka sekali memilih anggota DPRD. DPRD itulah yang memilih gubernur dan wali kota,” kata Prabowo
Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor : Sejarah Pemilu di Indonesia dari 1955 Hingga Sekarang