Dr. Zaki Badawi adalah cendekiawan pluralis asal Mesir. Sebagai ketua para imam dan dewan masjid di Inggris, Zaki sering menjadi narasumber bagi media internasional menyangkut Islam pasca-peristiwa 11 September. Kini, Zaki adalah Dekan Islamic College, London. Minat studinya adalah dalam bidang teologi Islam, yurisprudensi, dan sejarah hukum Islam.
Kamis dan Jumat pekan lalu, tokoh Islam dunia itu menjadi pembicara dalam seminar bertema "Hidup Bersama di Tengah Masyarakat Plural", di Hotel Hilton, Jakarta Pusat. Acara yang digelar Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan lembaga The British Council itu juga menghadirkan Dr. M. Amien Rais, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai pembicara utama.
Pluralitas (kebinekaan) adalah hukum alam. Sementara itu, ketegangan sosial masih sering terjadi di tengah masyarakat Indonesia yang plural pasca-reformasi 1998 akibat rendahnya kesadaran tentang pluralitas. Islam, menurut Zaki, tak hanya kompatibel untuk masyarakat plural. Lebih dari itu, ia mampu menjadi jalan hidup bagi masyarakat plural. Untuk menggali pemikirannya tentang Islam dan pluralitas, wartawan TEMPO Rommy Fibri mewawancarai Zaki lebih jauh. Berikut kutipannya.
Apakah Islam kompatibel untuk mengelola masyarakat yang plural?
Bukan hanya kompatibel, Islam mampu menjadi jalan hidup bagi masyarakat plural. Sejak zaman Rasulullah Muhammad, contoh sudah diberikan, yaitu Piagam Madinah. Saat itu Islam menjamin masyarakat Yahudi di Kota Madinah untuk menjalankan ibadah dan adat-istiadatnya. Bahkan mereka hidup bersama sebagai satu umat dengan kaum muslim. Dengan begitu, sejarah telah membuktikan bahwa Islam mampu mengelola masyarakat plural.
Apakah masih relevan menjadikan Madinah sebagai contoh?
Yang penting bagi kita adalah bagaimana kita mampu mewujudkan konsep ideal itu dari masa ke masa. Kita punya tantangan untuk membuat setiap masyarakat dan negara hidup berdampingan dengan damai.
Negara mana lagi yang bisa menjadi contoh pluralisme?
Kita bisa berkaca pada negara-negara Timur Tengah, yang mayoritas penduduknya muslim tapi tetap menghargai dan menjaga harkat-martabat penganut agama lain. Juga, Spanyol mempunyai sejarah yang panjang dengan pluralisme ini. Meski ketika itu Islam berkuasa, mereka tetap toleran terhadap agama Kristen. Bahkan ada periode tertentu di Spanyol ketika Islam bisa berdampingan dengan Yahudi. Ini contoh bagus yang menurut saya tak lepas dari pengaruh Madinah. Dan saya yakin, konsep ini bisa diaplikasikan di zaman sekarang.
Tapi, faktanya, acap kali Islam sulit menampilkan wajah yang plural dan inklusif?
Itu benar. Ada kelompok dan perorangan yang membuat Islam diinterpretasikan menjadi begini. Tapi kita harus meluangkan waktu untuk selalu mendidik mereka dan membuat mereka sadar dengan atribut muslim.
Di mana letak kesalahannya?
Ini satu hal yang wajar. Kita merasa ada satu kekuatan yang mengancam. Untuk itu, sebagian orang merasa perlu mengamankan Islam dari ancaman dan perseteruan tersebut.
Apakah Indonesia mempunyai potensi untuk mengikuti konsep yang Anda kemukakan?
Jelas. Indonesia adalah negara besar. Sebagaimana bangsa-bangsa lainnya, ada satu babakan ketika suasana kediktatoran terjadi. Semua dipaksa menjalani kehidupan dan meyakini kepercayaan yang sama. Tapi, setelah itu berlalu, akan muncul semangat untuk menghargai perbedaan. Dengan kata lain, Indonesia sedang menuju pada penerapan demokrasi. Dia sedang keluar dari kemelut dan kesulitan. Memang masih ada konflik, misalnya di Maluku, tapi itu bersifat temporer. Nanti mereka akan belajar bernegosiasi dan menghormati satu sama lain. Pada akhirnya mereka akan menyadari betapa nikmatnya hidup dalam situasi masyarakat yang harmonis.
Apakah di Indonesia bisa muncul kota semacam Madinah?
Saya amat yakin bahwa Kota Madinah bisa saja terbentuk di Indonesia. Sebab, Islam di Indonesia itu penuh kompromi dan mudah bernegosiasi. Masyarakat juga dengan mudah mengikuti apa yang dikatakan oleh para ulama dan ahli agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini