Tiga stasiun televisi terkena semprotan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selasa pekan lalu, lembaga ulama paling tua di Indonesia itu menggelar jumpa pers di kantornya di kawasan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Isinya, mengecam pornografi yang dikandung beberapa acara stasiun televisi. Yang dituding secara blak-blakan adalah acara "Dansa yo Dansa" (TVRI), "Majalah X" (SCTV), dan "Life and Love" (Metro TV).
"Dansa" adalah acara musik hidup yang dipandu artis Kris Biantoro. Mengundang sejumlah pasangan suami-istri paruh baya, acara itu mengajak pengunjung berdansa. Sedangkan "Majalah X" adalah informasi yang dipandu para perempuan dengan busana sensual. Sementara itu, "Life and Love" adalah pertunjukan wicara seputar seks secara terbuka yang dipandu artis Jeremy Thomas dan istrinya.
Tiga acara itu, kata Prof. Dr. Din Syamsuddin, Sekretaris Umum MUI, hanya sebagian dari media yang memercikkan pornografi. Kecaman yang bersifat imbauan moral itu, kata Din, ungkapan kerpihatinan yang mendalam atas merebaknya pornografi di media cetak dan elektronik. Gejala itu dibaca sebagai adanya kecenderungan liberalisme dan permisivisme di tengah masyarakat. "Jika ini berlanjut, ia akan menjadi bahaya besar bagi pembentukan moral bangsa," kata Din kepada Agus Hidayat dari TEMPO.
Di luar itu, imbauan moral tersebut didorong oleh aspirasi, kritik, keluhan, dan protes yang dilayangkan masyarakat ke lembaga ulama tersebut. "Ada yang mengkritik mengapa MUI kok diam saja," kata Din. Dan masih menurut Din, sejumlah organisasi Islam juga mendukung imbauan itu.
Imbauan yang muncul sepekan setelah Jakarta dilanda banjir bandang yang menggelamkan Ibu Kota itu memperoleh beragam tanggapan dari beberapa tokoh. Ada yang menilai imbauan moral itu berlebihan karena banyak masalah lain yang lebih penting, misalnya narkotik dan korupsi. Ada juga ahli agama yang bersikap datar-datar saja. "Itu bukan fatwa ya, hanya saran. Semua orang boleh saja memberi saran atau imbauan, tidak hanya MUI," kata Dr. Atho' Muhdar, Direktur Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama, kepada Johan Budi S.P. dari TEMPO.
Namun, ada ahli yang memberikan cara pandang yang tidak hitam-putih. Budhy Munawar-Rachman, dosen bidang filsafat agama Universitas Paramadina Mulya, menilai bahwa kecaman MUI, khususnya terhadap acara Dansa, berlebihan. Dansa adalah acara musik hidup yang mengajak pengunjung ikut berdansa. "Itu tidak ada pornonya," kata Budhy.
Atas peristiwa itu, Budhy berpendapat perlunya pemerintah dan masyarakat merumuskan pengertian pornografi. Imbauan MUI itu, menurut Budy, tanda bahwa pengertian pornografi di kalangan masyarakat belum jelas. Contohnya, karena isu pornografi, 14 media pernah terpaksa berurusan dengan polisi pada 1999.
"Diskusi untuk mendefinisikan pornografi perlu dijadikan agenda nasional," kata Budhy. Dasarnya karena di tengah masyarakat ada yang sangat puritan menyangkut pornografi, dan ada yang bersikap liberal. Kecenderungan liberal itu dimungkinkan karena, pasca-reformasi 1998, banyak media yang menjual pornografi atas nama kebebasan pers. "Sensor masih penting sejauh menyangkut pornografi," kata Budhy, yang menganggap pornografi berbahaya untuk masyarakat.
Sedangkan sikap puritan juga dinilai tidak realistis. "Sikap terlalu puritan tidak mem-berikan ruang estetika yang memadai," kata Budhy. Usulan untuk menjadikan wacana pornografi sebagai agenda nasional bukan tanpa rujukan. Akhir dasawarsa 1960, Amerika Serikat membentuk Komisi untuk Pencabulan dan Pornografi. Salah satu tugasnya, meriset pornografi dari berbagai aspek, terutama efek negatifnya bagi masyarakat.
K.M.N.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini