EVALUASI tampaknya menjadi tema menonjol dalam peringatan 17 Agustus kali ini. Setidaknya, nada ini mewarnai pidato Presiden Soeharto di depan sidang paripurna DPR Sabtu lalu. Kepala Negara antara lain bicara tentang roda kehidupan bangsa yang menggelinding selama 42 tahun, pelaksanaan program jangka panjang 25 tahun yang pertama, Pelita V, dan perkembangan dalam tahun 1987 ini yang mulai membaik dibandingkan tahun lalu. Kemerdekaan selama 42 tahun oleh Presiden dibagi menjadi dua kurun waktu. Yang pertama, 21 tahun sejak proklamasi, seluruh perhatian, waktu, pikiran, perjuangan dan pengorbanan bangsa ditujukan untuk mempertahankan negara. Selebihnya oleh Presiden dinilai sebagai tahap awal pembangunan nasional, memasyarakatkan dan memantapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. "Kita menyadari sejarah kita tidak bebas dari kekurangan dan kelemahan," kata Presiden. Namun, menurut beliau, bangsa Indonesia bisa berbangga akan hasil yang dicapai setelah merdeka, dan bisa menarik manfaatnya dari sejarah itu. Landasan yang kukuh untuk pembangunan nasional telah diletakkan selama lima kali Repelita. Menurut Presiden, landasan tersebut menyangkut berbagai bidang kehidupan. Untuk bidang ekonomi, diperlukan struktur yang seimbang antara industri yang kuat dan dukungan pertanian yang tangguh. Di samping itu, perlu unsur kebutuhan pokok masyarakat yang tersedia dan terjangkau oleh rakyat banyak. Di bidang politik, tercipta kondisi setiap warga negara mengetahui hak dan kewajibannya. Kondisi lain di bidang ini, menurut Presiden, bila mekanisme kepemimpinan nasional berlangsung dengan mantap berdasarkan konstitusi secara demokratis dan berdasakan hukum. Bidang pertahanan dan keamanan akan menjadi landasan yang kukuh bila wawasan itu berdasarkan kekuatan rakyat semesta dengan inti ABRI. "Jika kita berbicara mengenai kerangka landasan, maka kerangka landasan itu tidak saja dalam bidang ekonomi, akan tetapi juga bidang politik dan bidang-bidang lainnya," kata Presiden. Mengenai pemilihan umum keempat dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, Presiden mengingatkan bangsa Indonesia telah mengalami empat kali siklus kepemimpinan nasional sesuai dengan UUD 45. Pemilu yang lalu, mempunyai makna tersendiri dalam pengembangan dan pendewasaan kehidupan politik. Yang sangat menggembirakan dan berbeda dengan sebelumnya, kampanye pemilu kali ini tetap menarik dan semarak. Tambah lagi, bau ideologi golongan atau asas ciri gologan yang sering menimbulkan ketegangan dan keretakan boleh dibilang tidak lagi mewarnai pesta demokrasi itu. Dengan diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka tingkah laku budaya politik lama ditinggalkan untuk selama-lamanya. Artinya, pengertian politik sebagai adu kekuatan, pengerahan dan pembentukan kekuatan untuk berhadapan dengan golongan lain -- walau keluarga bangsa sendiri -- tidak cocok lagi. Suasana baru dan segar ialah tingkah laku dan budaya politik yang bersuasana kekeluargaan. "Dengan lega kita dapat mengatakan, di bidang ideologi dan politik, kita telah berhasil meletakkan kerangka landasan yang kita perlukan," kata Presiden. Di depan para wakil rakyat, Kepala Negara juga menyampaikan pujian dan penghargaan kepada aparat penyelenggara, terutama ABRI. Karena ABRI, kata Presiden, selama pemilu lalu telah bersikap bijaksana dan tegas. Dengan demikian, luapan kegairahan dalam pemilu tersalur secara wajar dan tidak menjurus pada ketegangan. Untuk masa mendatang, peranan dwifungsi ABRI diharapkan semakin berbobot, terutama sebagai kekuatan yang menjaga dan sekaligus menyegarkan demokrasi Pancasila. "Sejarah kelak akan membuktikan juga ketidakbenaran anggapan bahwa peranan ABRI tidak akan dapat mendorong pertumbuhan demokrasi," kata Presiden Soeharto. Di bidang ekonomi, Kepala Negera mengingatkan lagi, seperti tahun-tahun sebelumnya, tantangan dan ujian berat tetap akan dihadapi. Tekanan paling berat dirasakan terjadi tahun lalu. Dalam mengevaluasi Repelita yang sudah dilaksanakan, Presiden memaparkan puncak-puncak sukses diraih pada Repelita I, II, dan III. Memasuki Repelita IV, Presiden mengakui adanya tekanan dan tantangan berat yang menghadang ekonomi Indonesia. Sebagian penyebabnya, demikian Presiden, adalah perkembangan ekonomi dunia yang masih saja belum menentu. "Usaha kita adalah mengurangi sampai batas yang terkecil pengaruh buruk terhadap perekonomian kita," katanya. Khusus untuk negara maju, Presiden jug tidak membenarkan proteksionisme. "Pro teksionisme yang dilakukan negara man pun bukan merupakan jawaban untu mengatasi kesulitan masing-masing negara tertama dalam keadaan perekonomian dunia yang makin menjadi satu," katanya Proteksionisme oleh negara maju, kata Presiden, mengakibatkan terhalangnya ekspor negara lain. Yang paling terpukul kelihatannya justru negara yang sedang membangun. "Bagi negara sedang membangun sepert negara kita, ekspor bukan hanya berarti sumber penerimaan devisa. Ekspor berart dorongan bagi pertumbuhan ekonomi dan terbukanya lapangan kerja bagi berjuta-juta manusia," tambahnya. Kepala Negara lalu mengecam kaum spekulan di dalam negeri yang sejak tahun lalu gemar memborong devisa, tanpa memikirkan keselamatan pembangunan nasional "Ada di antara mereka yang bernafsu untuk membeli devisa, semata untuk keuntungan sendiri," katanya. Akibatnya, dalam beberapa bulan terakhir terjadi pembelian devisa berjumlah cukup besar. Presiden juga menyesalkan timbulnya desas-desus yang tidak beralasan, sehingga masyarakat terombang-ambing. Bahkan gejala pembelian devisa belakangan ini dianggap telah menjurus ke spekulasi. Dan bukan lagi sekadar untuk kebutuhan nyata. "Oleh karena itu, pemerintah bertindak tegas mematahkan kekuatan spekulasi secara tuntas," katanya. Kepala Negara mengakui keadaan ekonomi Indonesia sekarang memang berat. Namun, ketahanan ekonomi Indonesia yang dipupuk selama bertahun-tahun sebelumnya ternyata cukup kuat. Ini pula kiranya yang dianggapnya bisa meringankan beban yang berat itu. Bahkan, di balik itu maslh ada kemajuan yang dicapai. Sukses besar yang pernah dicapai adalah produksi beras sampai 26,7 juta ton pada 1986. Namun, produksi itu cuma naik 0,9% dibandingkan 1985. Artinya, dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat 2%, maka pembangunan di bidang pertanian, menurut Presiden, tetap harus mendapat perhatian khusus. Pembangunan di bidang pertanian itu, kata Presiden, bukan cuma sekadar untuk mengejar tingkat produksi pangan. "Pembangunan pertanian ini telah meningkatkan penghasilan kaum tani yang merupakan laplsan terbesar masyarakat dan memperluas kesempatan kerja serta menggerakkan ekonomi di pedesaan," katanya. Dengan tingkat produksi beras yang menggembirakan dalam dua tahun terakhir, agaknya, Presiden tidak pesimistis menghadapi keadaan ekonomi sekarang. Tekanan ekonomi yang dirasakan berat pada tingkat nasional, demikian katanya, pengaruhnya terhadap lapisan terbesar masyarakat ternyata lebih terbatas. Pertumbuhan industri, sejak 1984, juga dilihat Presiden mengalami kemajuan dan bahkan melampaui laju pertumbuhan ekonomi nasional. Secara bertahap, menurut Kepala Negara, industri hulu dan industri hilir berkembang. Kemajuan bidang industri ini, katanya, tidak bisa dilepaskan dari kebijaksanaan pemerintah akhir-akhir ini. Misalnya langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi untuk melicinkan alur ekspor dan impor, dan penanaman modal. Untuk memperbesar penerimaan dalam negeri, Presiden juga mengingatkan masalah perpajakan. "Di waktu yang akan datang, tidak ada jalan lain, kita harus terus berusaha agar kesadaran membayar pajak mendarah daging dalam masyarakat," katanya. Tak ada janji-janji besar dari Presiden ketika mengantarkan pidato kenegaraan di depan wakil rakyat, yang akan berakhlr masa baktinya di akhir bulan depan. Dari pidato selama hampir dua jam, Pak Harto lebih banyak mengevaluasi keadaan, baik mengenai sektor kegiatan yang telah berhasil maupun yang belum, sebagai bekal pemerintah untuk melangkah ke depan. A. Margana (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini