Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Robeklah dadaku, potonglah jasadku

Sejumlah puisi karya panglima besar soedirman disiarkan tvri yogyakarta. almarhum mempunyai jiwa seni yang kuat, setiap yang dia rasa indah atau membuatnya terharu, selalu ia tuliskan dalam puisi.

22 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAM-diam seorang wanita tua menangis, 12 Agustus malam yang silam. Ia terisak menyaksikan acara yang ditayangkan TVRI Yogyakarta. Wanita tua itu merasa trenyuh. Pikirannya tcrasa mengawang. "Saya teringat ke masa-masa suka saya bersama Bapak. Saya seakan-akan hidup lagi dalam dunia masa lalu saya dengan Bapak," katanya. Suaranya serak. "Bapak" yang dimaksudnya adalah Almarhum Panglima Besar Soedirman, yang dikenal sebagai Bapak Tentara Nasional Indonesia. Sedang wanita tersebut siapa lagi kalau bukan Bu Dirman -- begitu hampir semua orang menyebutnya. Rabu malam pekan lalu itu, TVRI Yogyakarta memilih tema "Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Setelah Tahun 1945" dalam acara "Khazanah Dunia Pustaka"-nya. Riwayat hidup serta sejumlah film dokumentasi tentang Almarhum Jenderal Soedirman dibacakan dan diputar. Dan untuk pertama kalinya, dibacakan juga beberapa puisi karya Pak Dirman. "Di waktu-waktu senggang, Bapak memang sering memanfaatkan waktunya dengan menulis puisi," tutur Bu Dirman, 67 tahun, yang ditinggalkan suaminya sewaktu dia berusia 30 tahun. Ia ingat betul bagaimana almarhum suaminya sering menumpahkan kegelisahannya ke secarik kertas. "Terkadang, pada saat sekeluarga sedang ngobrol, tiba-tiba saja Bapak menghilang. Kemudian ia kemabli lagi dengan sebuah puisi. Ngene apik ora, Bu? (Ini bagus tidak, Bu?) -- seakan ia minta pendapat saya," katanya. Almarhum suaminya, kata Bu Dirman, mempunyai jiwa seni yang kuat. "Setiap yang dia rasa indah atau membuatnya terharu, selalu ia ia tuliskan dalam puisi. Apalagi kalau ia tidak bisa tidur, pastilah ia tumpahkan kegelisahannya lewat menulis puisi. Sesudah itu, barulah ia bisa tidur dengan tenang." Bu Dirman terus bercerita. "Ke mana-mana Bapak selalu membawa dagboek (buku harian) untuk mencatat segala sesuatu yang berkesan di hatinya. Kadang-kadang ia menulis di kertas yang ditemukannya. Banyak sekali buku yang ia gunakan untuk menulis puisi. Semua ia kumpulkan. Hanya saja, karena kami sering berpindah tempat, banyak puisinya yang hilang". Sejumlah sajaknya memang bisa diselamatkan. Diantaranya yang ditulisnya sewaktu ia memimpin perang gerilya, tatkala ia diusung dalam tandu, menyusur ratusan kilometer daerah yang dikuasai RI. Mungkin, karena itulah semangat patriotisme terasa sangat menggelegak dalam sajak-sajak yang ditulis panglima besar yang mengidap sakit paru-paru itu. Misalnya: Robek-robeklah badanku, Potong-potonglah jasadku, Tetapi jiwaku yang dilindungi benteng Merah Putih akan tetap hidup, Menuntut bela siapa pun lawan yang 'kan dihadapi. Sajak tersebut ditulisnya di Yogyakarta pada 1948. Waktu itu Soedirman berusia 32 tahun. Usia yang sangat muda bagi seorang panglima besar angkatan perang dari sebuah republik yang baru berusia tiga tahun. Tetapi itulah tahun-tahun saat para pemuda dituntut agar lebih cepat dewasa. Situasi Republik kacau balau. Dari luar ada ancaman Belanda dan antek-anteknya yang ingin balik berkuasa lagi. Di dalam, terjadi perpecahan dan pertentangan antarkelompok dan golongan, antara tentara dan politisi. TNI sendiri terpecah-pecah. Ada laskar yang dibina dan disetir kelompok-kelompok politik. Ada persaingan antarkelompok. Dan tentu saja ada petualang-petualang yang punya pamrih pribadi. Namun, masih lebih banyak prajurit yang siap mati untuk membela Ibu Pertiwi. Agaknya, untuk mereka itulah pada Januari 1948 Soedirman menulis: Kamu bukanlah tentara sewaan, Tetapi prajurit yang berideologi sanggup berjuang, Menempuh maut untuk kelahiran Tanah Airmu, Percaya dan yakinlah, Bahwa kemerdekaan suatu negara, Didirikan di atas timbunan reruntuhan ribuan jiwa, Harta benda rakyat dan bangsanya, Tidak akan dapat dihapuskan oleh manusia siapa pun juga. Sajak ini kemudian dipahatkan pada alas patung Soedirman di Museum Sasmitaloka Panglima Besar Soedirman Yogyakarta. Soedirman juga pernah menulis sajak cinta. Itu ditulisnya untuk Alfiah, putri Haji Jubaedi, yang lalu menjadi Nyonya Soedirman. Soedirman yang waktu itu bersekolah di MULO Taman Siswa Cilacap dan menjabat sekretaris PPWT (Poetra-Poetri Wiworo Tomo) -- semacam OSIS saat ini -- sedang Alfiah menjadi bendahara. "Saya lupa kapan persisnya puisi itu ia kirimkan. Yang saya ingat, isi puisi, itu antara lain, memuji kepribadian dan keteguhan hati saya yang juga ikut mencita-citakan Indonesia merdeka," tutur Bu Dirman. Ada juga sajak Soedirman yang ditulisnya dalam bahasa Jawa. Ia bahkan sudah mempersiapkan untuk menulis otobiografi. Peristiwa yang terjadi, tempat dan keadaan yang dihadapinya, selalu ia catat. "Bapak merncanakan membuat semacam Satri Lelono yang memuat kisah perjuangannya. Sayang, begitu bapak meninggal di Magelang, tahu-tahu buku itu sudah tidak ada di lemari," kata Bu Dirman. "Maklum saja, anak buah bapak sudah dianggap anak sendiri oleh bapak. Jadi mereka menganggap segala sesuatunya seperti punya Bapaknya sendiri." Tidak jelas berapa jumlah tulisan Soedirman. Bapak TNI yang hidup dan kepribadiannya begitu sederhana memilih beristirahat di rumah peristirahatan tentara di Taman Badakan, Magelang, tatkala kesehatannya makin menurun. Sebetulnya dokter menganjurkan agar ia dirawat di Rumah Sakit Pnati Rapih, Yogyakarta, yang pernah berkali-kali merawatnya. Padahal, RS Panti Rapih pernah disebutnya "Rumah nan Bahagia" dalam sajaknya yang ditulisnya pada 11 November 1948, untuk memperingati 25 tahun usia rumah sakit tersebut. Soedirman waktu itu menyebut dirinya "Orang rawatan". Sambil baring aku berdoa Tuhan Allah yang Maha Suci Limpahkan berkat kurnia Atas rumah bah'gia ini. Di Magelang itulah, pada 29 Januari 1950 pukul 18.30, Soedirman meninggal. Esoknya, jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta, dalam suatu upacara yang dipimpin oleh Letkol Soeharto. Peti jenazah, yang ditutup Bendera Merah Putih dan dilingkari bunga, diturunkan ke liang kubur pada pukul 16.00. Belum semua pengantar jenazah pulang, ketika hujan deras turun. Bapak TNI yang gemar menulis puisi itu telah pergi. Susanto Pudjomartono, Laporan Rustam F. Mandayun & Heddy Lugito (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus