BAU asap kemenyan menusuk hidung kembang bertebaran di pendopo bangunan berbentuk joglo 15 X 10 meter itu. Belasan orang berdoa. Ada juga yang hanya duduk diam dengan kedua tangan bersedakap. Udara dingin dan sepi. Sekeliling hanya pohon pinus dan cemara yang bersiut-siut ditiup angin. Itulah pemandangan yang akhir-akhir ini sering terlihat di Argodalem, salah satu puncak Lawu - gunung di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Upacara tiap malam Selasa dan Jumat Kliwon ini bermula setelah kebakaran besar, 1985, menimpa Keraton Solo. Lalu makin sering diadakan setelah malige baru terbakar lagi, 10 Juli lalu. Kegiatan di puncak gunung inilah yang baru-baru ini dikabarkan sebagai upaya mengkudeta Keraton Solo. Benar? "Gerakan kami tidak politis," jawab B.P.H. (Bendoro Pangeran Hario) Prabuwinoto, pemimpin kelompok pendoa itu. "Kami berdoa demi kembalinya kesentosaan dan kewibawaan keraton." Prabuwinoto punya hampir 100 pengikut, di antaranya para bupati keraton. Mereka berpendapat kebakaran yang datang beruntun menyebabkan wahyu dan pamor keraton telah melayang. Mesti ada upaya memulihkannya. Sebaliknya, penguasa keraton, yang yakin pamor dan wahyu masih bersemayam di istana. Tandanya, semua pusaka utama selamat dari amukan api. "Akulah yang menyelamatkan pusaka penting yang sakti, maka aku yakin pamor dan wahyu masih berada di keraton kami," kata Kanjeng Gusti Pangeran Hario Hangabehi, putra tertua Paku Buwana XII. Mula-mula, tentu cuma silang pendapat itu yang terjadi. Lama-lama muncul istilah, kegiatan Prabuwinoto disebut sebagai pemberontakan spiritual, tanpa senjata. Memang, Prabuwinoto pergi ke puncak Lawu bukannya naik kuda membawa pedang dan tombak, bersama pengikutnya. Mereka cuma bermobil 40 km ke Tawangmangu disambung jalan kaki mendaki gunung empat jam. Di situ pun tak ada latihan perang. Tapi, di keraton beredar kabar gawat: Prabuwinoto akan melakukan kudeta. Pihak Keraton rupanya tanggap. Siapa tahu, di zaman orang ingin jadi pengusaha besar, ada pula yang ingin jadi raja, bersibuk-sibuk dengan upacara-upacara. Sebuah sumber di Keraton mengungkapkan, pihak Keraton sejak beberapa waktu lalu memang memantau gerakan di Argodalem. Sebab, ada laporan -- konon dari salah seorang pengikut Prabuwinoto sendiri bahwa tak lama lagi Prabuwinoto akan dinobatkan sebagai Paktl Buwana XIII. Di puncak Lawu itu, kata laporan, seorang dukun sakti bersabda, "Prabuwinoto akan mendapat wahyu, hingga bisa menjadi raja." Siapa pun dukun itu, kata-katanya tidak ngawur. Prabuwinoto, 54, bukan sembarang bangsawan. Ia masih cucu PB IX, jadi punya hak tahta, entah peringkat keberapa. Selain itu, bekas pegawai penjara yang kiri menjadi pimpinan karawitan istana ini dikenal pula sebagai ahli kebatinan yang sakti. Di kertas, boleh jadi ini percaturan menarik. Tapi PB XII, yang pekan lalu mantu dua putrinya, membantah. "Aman, kok, tak ada apa-apa," katanya santai. Putra makota K.G.P.H. Hangabehi, 39, menjawab sama, "Saya memang mendengar kabar itu, tapi kenyataannya kami, raja, putra-putrinya, serta para pangeran tetap kompak." Hangabehi sendiri memang menanyakan kebenaran kabar itu kepada yang bersangkutan. "Dia mengatakan, mereka hanya mengadakan kegiatan memperdalam ilmu kebatinan," kata calon raja itu. Bahkan olah batinnya itu demi kekukuhan keluarga raja. Akan halnya Prabuwinoto sendiri sengit membantah. "Itu berita fitnah. Saya tak punya niat mendongkel raja," kata pangeran bertubuh gempal, dan berkumis dengan nada tinggi. "Saya dan teman-teman hanya mengadakan olah batin demi kejayaan Keraton, yang akhir ini memprihatinkan. Orang harus merenung mengapa Keraton terbakar. Dibangun, terbakar lagi. Itu perlu penyelamatan spiritual." Istrinya, Nyonya Prabuwinoto, menyela, "Ini cobaan pertama. Kami harus menguatkan batin." Kudeta? Di Keraton Solo? Apa yang diharapkan oleh kelompok pengkupnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini