Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin Judhariksawan mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) tak boleh merugikan pihak mana pun. Ia meminta pembahasan harus melihat kondisi sosiologis masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jangan merugikan siapa pun. Ketika ada perubahan, legislatif harus tahu kondisi sosiologis hari ini karena kita tidak berangkat dari nol," kata Judhariksawan dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu 21 Oktober 2017.
Baca: Pengamat: Pembahasan RUU Penyiaran Sarat Kepentingan Politik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mencontohkan, pada 2011 Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan peraturan soal migrasi analog ke digital. Peraturan itu digugat ke Mahkamah Agung karena dinilai tak berdasarkan dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. MA pun membatalkan peraturan tersebut.
Ia pun meminta Dewan memperhitungkan penentuan operator penyiaran dengan sistem mux tunggal atau multipleks yang juga melibatkan sejumlah lembaga penyiaran. "Sebagai pembuat UU banyak asas yang harus diperhitungkan. Jangan sampai UU menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah baru," ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI) Niel Tobing menyatakan migrasi ke digitalisasi adalah keniscayaan. Namun, bukan berarti menambah pemain baru dalam industri penyiaran. "Karena sekarang nonton TV berbarengan dengan menonton internet. Fenomena itu harus diatur dalam RUU penyiaran," ujarnya.
Baca juga: Pembahasan RUU Penyiaran Terhambat, Ini Penyebabnya
Ia memperingatkan bahwa migrasi dari analog ke digital harus mempertimbangkan kondisi dan kesiapan masyarakat. "Di sini, TV tabung masih ada, artinya harus disiasati dengan setup boks, dan siapa yang membiayai," kata Niel.
Ia meminta Dewan memperhatikan industri penyiaran yang sudah ada dan melakukan investasi terlebih dahulu. Ini terkait beberapa isu yang menjadi perdebatan pembahasan soal pemegang operator lembaga penyiaran: apakah single mux atau multi-mux. "RUU ini harus memperhatikan effort industri yang sudah eksisting," ujarnya.