Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Gerilya Menghadang Mega

Sejumlah tokoh politik lintas partai terus bergerilya menjajaki koalisi menghadang Megawati. Mampukah Mega meredamnya?

16 November 2003 | 00.00 WIB

Gerilya Menghadang Mega
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Andi Mapatehang Fatwa tampak mengernyitkan dahi. Kedua matanya terpicing begitu melihat belasan wartawan bergerombol di depan Ruang Mutiara 3 Hotel Maharani, Jakarta, Rabu malam pekan lalu. "Lo, mestinya ini kan rahasia," kata Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) itu, tak kuasa menyimpan keheranannya. Sejurus kemudian, dia bergegas melangkah memasuki ruangan. Di sana telah berkumpul Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Mahfud Md., Wakil Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera Almuzammil Yusuf, mantan Presiden Partai Keadilan Nurmahmudi Ismail, Sekretaris Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim, A.M. Luthfi, Yasin Kara, dan Hakam Naja dari PAN, dan Darmansyah dari Partai Bulan Bintang. Selain para tokoh partai politik itu, hadir pula Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama K.H. Sholahuddin Wahid dan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yahya Muhaimin. Kepada para hadirin, rupanya Fatwa kembali mengungkapkan rasa terkejutnya karena pertemuan mereka tercium banyak wartawan. Beberapa peserta pertemuan pun melontarkan gerundelan yang sama. Tapi Mahfud berusaha menetralkannya sambil berseloroh. "Biar saja, toh yang pertama membocorkan adanya pertemuan semacam ini kan Pak Amien Rais," katanya. Betulkah Amien Rais membocorkan pertemuan rahasia? Rupanya, yang dimaksud adalah pernyataan Amien di Solo akhir Oktober lalu. Ketika itu, dalam sebuah seminar, Amien mengungkapkan bahwa para tokoh dari lima partai berbasis Islam telah dua kali menggelar pertemuan. Tujuannya, seperti dilansir sejumlah koran ketika itu, adalah menghadang Megawati Soekarnoputri kembali bertakhta sebagai presiden pada Pemilu 2004 nanti. Tentu saja kabar itu langsung membuat sejumlah petinggi partai Islam kelabakan. Hamzah Haz, misalnya. Sebagai Ketua Umum PPP yang juga wakil presiden, kabar semacam itu tentu bisa membuat hubungan kerja dengan sang presiden jadi tak genah. Karena itu, dia langsung memanggil seorang stafnya untuk mencari tahu siapa gerangan wakil dari PPP yang berani nyelonong menghadiri pertemuan seperti disebut Amien. Setelah dicek, ternyata yang dimaksudkan hanyalah reuni para alumni Pelajar Islam Indonesia (PII) yang diprakarsai Z.A. Maulani sekitar tiga bulan lalu. Menurut Lukman Hakim, staf khusus Hamzah di Istana Wakil Presiden, mantan Kepala Bakin itu pernah sowan untuk mengundang Hamzah. Tapi, karena jadwal yang padat, akhirnya Sekjen PPP Yunus Yosfiah yang ditunjuk sebagai utusan untuk menghadiri acara PII itu. Saat berbuka puasa di kantor TEMPO, Amien sendiri menegaskan dalam pertemuan yang disebutnya itu sama sekali belum ada komitmen atau konsensus apa-apa seperti ramai diberitakan koran. Kalaupun di sela makan malam terlontar tentang berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini, semuanya baru sebatas wacana. "Betul-betul belum bicara hal yang konkret," tuturnya. Jadi, gerilya menghadang Mega itu hanya pepesan kosong? Tidak juga. Setidaknya ada dua pertemuan lain yang sebetulnya amat dijaga kerahasiaannya, tapi akhirnya diungkap ke publik ketika Amien tiba-tiba berbicara seperti apa yang disampaikan di Solo itu. Menurut Lukman, pertemuan awal Oktober itu bermula dari kongko-kongko sejumlah mantan aktivis HMI Yogyakarta yang kebetulan saat ini masing-masing berjuang di jalur partai yang berbeda. Selain Mahfud dan Lukman, hadir Darwis Darlis (PPP), Asmar Umar Saleh dan Zulkifli Halim (PAN), serta Abdul Hamid (LP3ES) dan Zaim Saidi (LSM). Obrolan di sebuah perkantoran di kawasan Pancoran itu ternyata berlanjut ke pertemuan di Hotel Bumikarsa, Bidakara, dua pekan kemudian. Pesertanya pun meluas, melibatkan sejumlah pribadi elite di masing-masing parpol. Di sana persepsi para peserta satu: Megawati sebaiknya tidak lagi menjadi presiden. Selama tiga tahun memimpin pemerintahan, Megawati dinilai gagal mengemban sejumlah agenda reformasi. Indikasinya, temuan lembaga internasional yang menempatkan Indonesia pada nomor enam negara paling korup. Juga nomor satu untuk negara yang lembaga peradilannya kacau. Praktek korupsi banyak terasa, tapi pelaku yang diseret ke pengadilan bisa dihitung dengan jari. "Ini kan paradoks," kata Mahfud. Persoalannya, meski tak punya kemampuan memimpin, Megawati ternyata masih mendapat dukungan fanatik sebagian masyarakat. Untuk bisa mengalahkannya, semua kekuatan reformasi harus bersatu. Sialnya pula, tiap parpol telah memiliki jago untuk diajukan sebagai calon presiden, sehingga kemungkinan mengajukan satu calon untuk diusung bersama sejak putaran pertama berdasar perolehan suara terbesar di Pemilu Legislatif menjadi mustahil. Politikus dari PAN yang diwakili Fatwa, misalnya, berpendapat sebaiknya koalisi mendukung calon presiden tidak didasarkan atas hasil perolehan suara di DPR. Tapi, dukungan didasarkan atas realitas kemampuan si calon yang akan dihadapkan melawan calon presiden dari PDIP atau Golkar. Kubu PAN sepertinya optimistis, meski perolehan suara pada Pemilu Legislatif di bawah PPP atau PKB, toh pada pemilihan presiden nama Amien Rais lebih menjual ketimbang Hamzah atau Gus Dur. Karena itu, akhirnya disepakati, mereka baru akan bersatu-padu pada pemilihan presiden putaran kedua. Dengan merujuk kekuatan Poros Tengah pada 1999, kekuatan reformis kali ini diperkirakan mencapai 38-39 persen. Sisanya, PDIP dan Partai Golkar masing-masing 34 persen dan 26 persen. Dengan kondisi tersebut, Mahfud dkk. optimistis bisa menyaingi Megawati. Sebab, dia yakin, sebagian kekuatan di Golkar akan lebih berpihak pada kelompok reformis. Tapi, bagaimana jika PDIP justru "bermain mata" dengan Golkar? Kemungkinan skenario ini pun telah diperhitungkan para peserta pertemuan. Ada yang berpendapat keduanya bakal langsung memimpin pemerintahan. Sebaliknya, ada juga yang menilai, jika skenario itu betul ditempuh, justru lebih memudahkan untuk mengalahkannya. Sebab, di tingkat massa akar rumput, Mahfud percaya betul mereka tak mungkin bersatu. Sehingga, jika di elite terjadi koalisi, di lapisan massa justru mereka akan meninggalkannya. "Kita ambil peluang untuk merangkulnya," tuturnya. Permusuhan massa kedua kelompok seperti diperlihatkan di Buleleng menjadi indikasi kuat. Dan mantan Menteri Pertahanan era Presiden Abdurrahman Wahid itu yakin, di sejumlah daerah pun kondisinya sama. Sekjen PKB Saifullah Yusuf, yang sebelumnya dikenal punya hubungan dekat baik dengan Megawati maupun Taufiq Kiemas, berpandangan sama. Dan yang bisa mencairkan semua itu hanya Mega, yakni dengan menjadikan gerilya yang ada sebagai energi untuk bertindak sesuai dengan tuntutan reformasi. Bila tidak? "Ya, keresahan di kalangan partai makin besar," ujarnya. Karena itu, kehadiran Wakil Sekjen PDIP Pramono Anung pada pertemuan lintas fraksi di kantor PKB Jakarta dan Erwin Muslim Singaruju Nasution, salah satu orang kepercayaan Taufiq Kiemas, dalam pertemuan di Hotel Maharani lebih dimaksudkan agar PDIP mendengar langsung kritik-kritik yang ada. Bagaimana respons Megawati? Sejauh ini sepertinya mereka belum punya strategi khusus menjawab tuntutan kelompok itu. Dia justru hanya meminta Sekjen PDIP Sutjipto atau pengurus lainnya agar lebih aktif mengikuti pertemuan-pertemuan semacam itu. Misinya, tentu saja meredam gerilya para aktivis proreformasi. "Agar pertemuan para tokoh tidak menjadi persoalan yang bersifat lebih politik," kata Pramono. Padahal yang sesungguhnya ditunggu masyarakat dari Megawati adalah perubahan kinerja. Paling tidak, seperti kata Mahfud, adalah itikad untuk lebih tegas pada pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Karena itu, kalau Megawati tetap seperti sekarang ini, ya, kita lihat siapa lebih kuat nantinya. Sudrajat, Jobpie Sugiharto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus