Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENERIMA sembilan pemimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat di rumahnya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis sore,10 Oktober lalu, Megawati Soekarnoputri mengungkapkan kegelisahannya. Berbicara selama sekitar 30 menit, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga mantan presiden itu antara lain mempersoalkan kesinambungan pembangunan oleh pemerintah pusat dan daerah.
“Saya menangkap kegelisahan beliau. ‘Kenapa, ya, setiap pergantian presiden, gubernur, atau bupati itu kebijakannya pasti berubah’,” kata Ketua MPR Bambang Soesatyo, menirukan pernyataan Megawati, kepada Tempo di ruang kerjanya, Jumat, 11 Oktober lalu. Menurut dia, Megawati berharap Indonesia bisa seperti Singapura dan Cina, yang memiliki perencanaan pembangunan jangka panjang hingga puluhan tahun ke depan.
Dua Wakil Ketua MPR, yaitu politikus Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, Fadel Muhammad, menceritakan hal serupa. Dalam persamuhan dengan suguhan jajanan pasar dan es cincau itu, Megawati juga bercerita tentang kebijakan pembangunan di masa pemerintahan ayahnya, Sukarno. “Ibu Mega terinspirasi dari ayahnya, yang ingin punya perencanaan jangka panjang, Pembangunan Nasional Semesta Berencana,” ujar Fadel.
Pada masa pemerintahan Sukarno, konsep Pembangunan Nasional Semesta Berencana tertuang dalam Ketetapan MPR Sementara Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969. Isinya antara lain soal rencana pembangunan di bidang mental, kesejahteraan, pemerintahan, dan keuangan. Menurut Fadel dan Arsul, Megawati mengatakan arah pembangunan negara perlu ditetapkan melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau nama lain yang dimasukkan ke amendemen Undang-Undang Dasar 1945.
Fadel sempat bertanya kepada Megawati soal batasan amendemen konstitusi, apakah termasuk mengembalikan pemilihan presiden ke MPR. Megawati, kata Fadel, menolak gagasan tersebut. “Beliau sebagai presiden terakhir yang menjadi mandataris MPR tak setuju jika presiden tak lagi dipilih rakyat,” ujar Fadel. Sedangkan Arsul Sani mengatakan Megawati menginginkan frasa “amendemen terbatas” dicetak tebal untuk menghilangkan prasangka negatif.
Menjelang magrib, Megawati keluar bersama tetamunya. Di hadapan wartawan, sahibulbait mengatakan mereka membicarakan pembahasan persidangan MPR periode 2019-2024. Sedangkan Bambang menyebutkan MPR akan membuka ruang untuk amendemen terbatas dan meminta masukan dari masyarakat. “Kita bisa menciptakan cetak biru perjalanan Indonesia 50-100 tahun ke depan,” ujar politikus Golkar ini.
RENCANA menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara menjadi salah satu rekomendasi MPR periode 2014-2019 untuk ditindaklanjuti pada periode ini. Bambang Soesatyo mengatakan PDIP menjadi yang terdepan dalam rencana tersebut melalui amendemen konstitusi. Rencana ini diutarakan Megawati Soekarnoputri sendiri dalam Rapat Kerja Nasional PDIP pada Januari 2016. Agustus lalu, Kongres PDIP di Bali juga merekomendasikan amendemen terbatas untuk menjadikan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang berwenang menetapkan GBHN.
Dalam sejumlah pertemuan dengan petinggi partai lain, Megawati juga membicarakan rencana amendemen konstitusi. Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto setelah berjumpa dengan Megawati pada Juli 2018 menyatakan membicarakan soal GBHN. Saat itu, Airlangga mengatakan perlunya pembentukan tim untuk mengkaji perubahan konstitusi. Begitu pula dalam pertemuan antara Megawati dan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya Prabowo Subianto pada Juli lalu. Dua pengurus PDIP dan Gerindra mengatakan pasangan calon presiden-wakil presiden pada pemilihan presiden 2009 itu berdiskusi tentang GBHN.
Lobi memuluskan amendemen kian intens menjelang masa jabatan MPR periode lalu berakhir. Sejumlah petinggi partai koalisi pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin, yaitu PDIP, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, dan NasDem, serta Partai Gerakan Indonesia Raya yang ditemui Tempo mengatakan amendemen konstitusi menjadi syarat penambahan kursi pemimpin MPR.
Sebelum DPR periode lalu berakhir, terjadi perdebatan di antara partai-partai yang lolos ke parlemen tentang pengisian kursi pemimpin MPR periode 2019-2024 yang hanya berjumlah lima orang—satu di antaranya perwakilan DPD. Gerindra, yang menjadi lawan koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf, juga ngotot bisa mendapatkan posisi pemimpin MPR.
Para petinggi partai yang ditemui Tempo bercerita, Wakil Ketua MPR dari PDIP, Ahmad Basarah, melobi mereka supaya membuka peluang amendemen. Sebagai gantinya, PDIP bersedia merevisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) untuk menambah kursi pemimpin MPR menjadi sepuluh, sesuai dengan jumlah fraksi di DPR dan satu wakil dari DPD. Pertengahan September lalu atau dua pekan sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir, revisi Undang-Undang MD3 terlaksana.
Sejumlah politikus Golkar dan PDIP menyatakan upaya melancarkan amen-demen juga berlanjut dalam penentuan Ketua MPR. Indikasinya terlihat dalam pertemuan di restoran Spectrum, Hotel Fairmont, Jakarta, pada Kamis siang, 3 Oktober 2019, yang dihadiri belasan politikus dari hampir semua partai di DPR. Dua sumber yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan Ahmad Basarah mengingatkan kembali soal rencana amendemen terbatas. Pertemuan itu memutuskan mendukung Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR, yang dilantik pada malam harinya.
Basarah belum bisa dimintai tanggapan tentang lobi memuluskan amendemen. Dia tak membalas permintaan wawancara yang dikirim Tempo ke telepon selulernya. Tapi, sehari sebelum pertemuan di Fairmont, Basarah menyatakan partainya mendukung Bambang dengan dua syarat, yaitu mendukung pemerintah Presiden Jokowi dan mendukung kelanjutan rencana menghidupkan kembali GBHN. “Dukungan kami bukan dengan cek kosong,” kata Basarah melalui siaran pers.
Politikus PDI Perjuangan lainnya, Hendrawan Supratikno, mengakui partainya memang ngotot mengegolkan amendemen. Tapi dia membantah info bahwa revisi Undang-Undang MD3 yang menambah kursi pemimpin MPR menjadi barternya. Hendrawan mengatakan upaya melancarkan amendemen dilakukan melalui komunikasi intensif dengan partai lain. Dia mengakui bahwa partainya mendukung Bambang karena berkomitmen mengawal agenda amendemen.
Para pimpinan MPR RI saat berkunjung ke rumah Megawati Soekarnoputri, di Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bambang Soesatyo membantah terpilih menjadi Ketua MPR karena mendukung rencana amendemen. Mantan Ketua DPR itu juga menyangkal info bahwa penambahan kursi pemimpin MPR terkait dengan perubahan konstitusi. “Penambahan itu untuk rekonsiliasi partai-partai setelah pemilihan presiden,” ujarnya.
Lobi memuluskan amendemen juga dilancarkan politikus PDIP kepada sejumlah anggota DPD. Jimly Asshiddiqie, senator asal DKI Jakarta, mengaku didekati petinggi PDIP agar mendukung perubahan konstitusi. Jimly menyatakan mendukung rencana tersebut. Salah satu alasannya adalah amendemen konstitusi terakhir terjadi 17 tahun lalu. “Saya ingin ada penambahan kewenangan DPD,” ucap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Meskipun PDI Perjuangan mengklaim perubahan konstitusi tak akan melebar ke pasal lain, politikus Senayan mengisyaratkan pembahasan bisa menyangkut hal lain. Sekretaris Jenderal NasDem Johnny Plate mengatakan tak ada istilah amendemen terbatas. Amendemen harus menyeluruh sehingga relevan dengan kebutuhan negara. Ia menyebutkan terbuka peluang untuk membahas perubahan masa jabatan presiden. “Konsistensi pembangunan juga terikat dengan eksekutifnya. Masa jabatan presiden juga berhubungan. Nanti perlu didiskusikan semuanya,” ujar Johnny, Senin, 7 Oktober lalu.
Sejumlah politikus lain di DPR mengatakan, dengan MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara yang menetapkan GBHN untuk dijalankan presiden, logikanya, presiden kembali menjadi mandataris MPR. Ini bisa menjadi pintu bagi pemilihan presiden oleh MPR.
Karena itu, Ketua Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mempertanyakan rencana menghidupkan kembali GBHN, yang bisa bertentangan dengan sistem presidensial. Ace khawatir amendemen bakal membuka peluang perubahan pasal lain, seperti pemilihan presiden. “Semangat amendemen terakhir itu adalah menyerahkan kedaulatan di tangan rakyat,” tuturnya.
Ihwal sikap Bambang Soesatyo yang membuka peluang amendemen, Ace menilainya sebagai sikap pribadi. “Dia tetap harus mengikuti garis partai,” kata Ace. Sebelumnya, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto menyatakan partainya bakal menolak jika presiden kembali menjadi mandataris MPR. “Kami tidak mau presiden menjadi mandataris MPR lagi seperti zaman Orde Baru,” ujar Airlangga. Penolakan datang pula dari Demokrat. Ketua Fraksi Partai Demokrat di MPR, Benny K. Harman, menilai perubahan satu pasal berpotensi mengubah substansi pasal lain.
Politikus PDIP, Hendrawan Supratikno, membantah anggapan bahwa amendemen konstitusi merupakan strategi partainya untuk mengegolkan pemilihan presiden oleh MPR. “Kami hanya ingin memasukkan GBHN,” ujarnya. Sedangkan Bambang Soesatyo mengatakan revisi membutuhkan waktu panjang. “Nanti kita lihat, bisa terwujud atau tidak.”
PRAMONO, RAYMUNDUS RIKANG, BUDIARTI UTAMI PUTRI, DEWI NURITA, DEVY ERNIS, HUSSEIN ABRI DONGORAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo