UTUSAN pribadi Sekjen PBB, Amos Wako, datang lagi ke Timor Timur. Dan pekan ini, laporan kunjungan Wako kedua itu disampaikan ke Sekjen PBB, Boutros Boutros Ghali, di New York. Tampaknya, ada beberapa hal yang perlu diperjelas, dan mungkin sekaligus mengecek langkah-langkah Indonesia sehubungan dengan insiden Dili 12 November 1991, hingga Wako perlu diutus ke sini lagi. Tak terungkap kesimpulan yang didapat Wako selama di Indonesia. Sebagai utusan pribadi, Wako akan menyampaikan semua temuannya kepada Sekjen PBB. Namun, yang bisa dicatat, ia merasa puas karena bisa bertemu dengan berbagai pihak. Di Jakarta, dengan semua pejabat tinggi yang dikehendaki, termasuk Presiden Soeharto sendiri. Di Tim-Tim, ia juga bebas menemui mereka yang ditahan, seperti pimpinan Fretilin Xanana Gusmao dan anak buahnya. Namun ada pula yang menafsirkan bahwa kunjungan Wako kedua ini tak lepas dari resolusi Komisi Hak Asasi Manusia di Jenewa bulan lalu. Dari 12 butir resolusi terhadap Indonesia itu, termasuk di antaranya perlunya pengiriman kembali Wako ke Indonesia. Dan Hasil laporan itu bukannya tak mungkin bisa mewarnai jalannya perundingan segi tiga yang diprakarsai Sekjen PBB di Roma 20-21 April ini, walau pertemuan Menteri Luar Negeri Indonesia, Portugal, dan Sekjen PBB itu tak mengagendakan topik hak asasi manusia. Dan masalah hak asasi manusia itu pula yang tampaknya akan dihadapi Indonesia sehubungan dengan soal Tim-Tim di berbagai forum. Ini yang kami sajikan dalam bagian pertama Laporan Utama. Kecuali kunjungan, juga ditampilkan berbagai langkah Indonesia dalam menangani insiden 12 November 1991 itu. Mulai dari pembentukan Komisi Penyelidik Nasional, Dewan Kehormatan Militer, sampai langkah menindak sejumlah anggota ABRI, termasuk beberapa perwira tingginya. Berbagai disinformasi yang mungkin berkembang di lembaga internasional itu diluruskan dan dijelaskan. Juga langkah nyata yang diambil seperti pengadilan bagi para pelaku unjuk rasa, atau data mutakhir berapa jumlah korban tewas dan hilang. Sehubungan dengan kecaman pelanggaran hak asasi manusia dari negara maju yang sering memojokkan negara berkembang, bagian berikutnya menampilkan konsep penerapan hak asasi manusia itu menurut tata nilai dan budaya Indonesia. Hak komunal dianggap lebih penting ketimbang hak pribadi. Hak ekonomi, sosial, budaya juga penting. Bukan cuma hak sipil dan politik perorangan. Pembangunan untuk mengangkat rakyat dari kemiskinan, keterbelakangan, buta huruf, kebodohan dan lain -lain, merupakan langkah meningkatkan harkat manusia. Penerapannya disesuaikan dengan tata nilai setempat, tanpa harus mengesampingkan universalitas hak asasi manusia itu. Dan ternyata, konsep yang katanya bertolak dari hak yang tak terpisahkan (indivisibility of rights) ini kemudian disetujui oleh sebagian besar negara berkembang. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang sikap Pemerintah mengenai hak asasi manusia, Menteri Luar Negeri Ali Alatas menjawab di bagian wawancara, baik mengenai kunjungan Wako sehubungan dengan pelaksanaan hak asasi manusia di Tim-Tim maupun konsep penerapan hak asasi manusia dari Indonesia dan negara berkembang lain. Sementara itu, bagian terakhir menyangkut soal sejarah hak asasi manusia dalam perjalanan konstitusi dan perundangan Indonesia. Ada pasang surut. Tentu ini berpengaruh pada operasionalisasinya. A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini