Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Dari dili sampai roma

Amos wako merasa puas pada akhir kunjungan keduanya ke indonesia. ia diterima presiden soeharto dan semua pejabat tinggi yang diperlukan. namun, sempat ada resolusi yang mengecam indonesia.

17 April 1993 | 00.00 WIB

Dari dili sampai roma
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KALAU sejak Insiden Dili 12 November 1991, Amos Wako sampai dua kali perlu bertandang ke Timor Timur, tentu utusan pribadi Sekretaris Jenderal PBB itu datang bukan untuk menikmati keindahan pasir putih Pantai Dili. Apalagi, 10 Maret lalu, sebuah resolusi dilayangkan Komisi Hak Asasi Manusia PBB yang berkedudukan di Jenewa. Isinya cukup mengagetkan Indonesia. Antara lain, mengecam masalah hak asasi di Timor Timur dan meminta pemerintah Indonesia mengizinkan PBB melakukan penyidikan atas tuduhan adanya penyiksaan dan pembunuhan ekstrajudisial di provinsi bungsu RI itu. Resolusi ini didukung oleh 22 negara, 12 negara menolak, dan 15 abstain. Setelah sekian lama hanya mendapatkan ''memo'' dari Komisi HAM (chairman statement), kini malah resolusi yang melayang dari Jenewa. Sejak Timor Timur berintegrasi pada 1975, sudah dua kali resolusi dilayangkan PBB. Pada 1976, pemerintah Indonesia dan Portugal sama-sama kena resolusi PBB. Ketika itu Indonesia dianggap melakukan intervensi di Tim-Tim dan dituntut menarik pasukannya, sedangkan Portugal dianggap lalai melaksanakan kewajibannya di Timor Timur. Belakangan ini, sorotan ke pemerintah Indonesia atas pelaksanaan hak asasi manusia, terutama di Timor Timur, memang meningkat. Terutama setelah pecahnya insiden Dili tahun 1991, yang menewaskan 50 orang itu. Barangkali, jatuhnya korban di pekuburan Santa Cruz ini pula yang memicu lahirnya resolusi lagi bagi Indonesia. Dalam salah satu butir resolusi Jenewa tadi, disebutkan bahwa Sekjen PBB menginginkan persetujuan pihak pemerintah Indonesia untuk kedatangan utusan pribadi Sekjen PBB Amos Wako pada bulan mendatang, atau sebulan setelah usai sidang di Jenewa itu, dan kunjungan Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Maka, Wako pun datang berkunjung. Namun, Wako selalu menolak menjawab, apakah kunjungannya kali ini juga untuk menyelidiki apa yang disebut PBB sebagai ''penyiksaan dan pembunuhan ekstrajudisial'' tadi. Bahan-bahan yang diperoleh Wako agaknya merupakan masukan penting untuk Sekjen PBB menjelang pertemuan segi tiga Indonesia-Portugal-Sekjen PBB di Roma, 20-21 April mendatang. Tapi, Menteri Luar Negeri Ali Alatas membantah bahwa kunjungan Wako yang kedua kali ini ada kaitannya dengan resolusi Jenewa. ''Kedatangan Wako yang kedua sudah direncanakan lama, hanya waktunya baru cocok sekarang. Wako tidak datang atas dasar resolusi itu sama sekali,'' kata Ali Alatas tegas (lihat Ali Menjawab Hak Asasi). Amos Wako sendiri di Jakarta juga membenarkan bahwa dia datang bukan berdasarkan resolusi itu, tapi atas dasar mandat dari Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros Ghali. Apa pun alasannya, Wako rupanya ingin bekerja cepat. Mendarat di Jakarta pada Minggu pekan lalu, Wako langsung bertolak menuju Dili keesokan harinya. Dia didampingi Hadi Wayarabi, pejabat Departemen Luar Negeri RI yang juga bekas anggota Komisi Penyelidik Nasional (KPN) yang mengusut insiden Dili. Entah mengapa, sambutan tuan rumah di Dili kurang semarak dibandingkan dengan kunjungan Wako yang pertama Februari tahun lalu. Dulu, Gubernur Carrascalao menjemputnya di Bandara Comoro, Dili, tapi sekarang Wako hanya dijemput bagian protokol Pemerintah Daerah Tim-Tim. ''Kita tak ingin membesar-besarkan rombongan Wako ini,'' kata sumber TEMPO di lingkungan Pemda tanpa menyebut alasan. Sambutan dingin juga datang dari Ketua DPRD Tim-Tim Antonio Freitas Parada. ''Saya menolak bertemu kalau Wako hanya ingin bicara soal hak asasi manusia di sini. Kenapa PBB mesti berdalih macam-macam soal integrasi yang sudah 17 tahun ini,'' begitu alasan Parada. Ketua DPRD ini rupanya merasakan kemajuan di berbagai sektor di tanah kelahirannya itu. Beberapa orang anak Parada telah menamatkan kuliah dan meraih gelar sarjana. Toh Wako tak kecewa. ''Saya hanya ingin bertemu banyak orang dan mendapat informasi sebanyak- banyaknya dengan membuka mata dan telinga saya,'' sambut Wako menjawab wartawan atas sikap Parada. Akhirnya Wako memang bertemu banyak orang. Tadinya, dijadwalkan ada 14 orang yang ditemui Wako, termasuk Uskup Dili Carlos Filipe Ximenes Belo dan pimpinan Fretilin Xanana Gusmao. Namun, Gubernur Timor Timur Abilio Jose Soares mengizinkan pula Wako bertemu Mauhunu, pentolan Fretilin yang disebut-sebut pengganti Xanana Gusmao. Mauhunu baru saja ditangkap di Desa Manautase, Kabupaten Ainaro, dua hari sebelum Wako mendarat di Dili. Yang menarik, Wako begitu bebas bekerja. Pembicaraannya dengan Xanana Gusmao atau anggota Fretilin yang lain berlangsung empat mata dengan seorang penerjemah tanpa pendamping dari pihak tuan rumah. Namun, Jaksa Agung Kenya itu selalu menolak memberi komentar tentang apa yang dibicarakannya di Dili. ''Saya harus melapor dulu ke Sekjen PBB,'' katanya mengelak. Dia juga mengecek soal perlakuan terhadap gembong Fretilin yang sekarang mendekam dalam tahanan. Wako mengamati tangan, kaki, dan seluruh anggota badan Mauhudu, asisten politik pimpinan Fretilin Xanana, yang ditangkap setahun lalu. ''Dia seperti ragu-ragu ketika saya katakan saya diperlakukan baik-baik. Saya bilang, kalau Bapak mengajak saya bertinju, saya masih sanggup,'' kata Mauhudu berseloroh kepada TEMPO, di sebuah tempat di Dili, seusai menjumpai Wako. Orang-orang di sekitar Xanana Gusmao juga tak luput dari perhatian Wako. Di Hotel Mahkota Dili, tempatnya menginap selama tiga hari di sana, orang Kenya ini sempat bertemu dengan adik perempuan Xanana, Armandina, dan Gilman dos Santos, suami Armandina yang tokoh LSM Etatif Dili. Wako bertanya seputar penangkapan adik Xanana itu. ''Saya katakan, saya ditangkap 24 Oktober lalu, setelah kakak saya ditangkap. Saya diperlakukan baik-baik, bahkan mendapat cuti delapan hari pada Natal yang lalu,'' kata Armandina, yang kini berada di tempat pembinaan GPK Nusra Bakti. Kepada Gubernur Abilio Soares, Wako bertanya tentang insiden Dili. ''Dia menanyakan soal orang-orang yang hilang dan sejauh mana hasil pencariannya. Saya beritahukan, dari jumlah hilang yang dilaporkan terdahulu, sudah ditemukan empat orang,'' kata Abilio. Seperti sudah diumumkan secara luas, hasil penyidikan tim KPN menyebutkan, 50 orang tewas dalam insiden Dili dan 90 orang dinyatakan hilang. Sampai sekarang, memang baru 19 kuburan korban insiden Dili yang ditemukan di kawasan Hera. Dan Presiden Soeharto, selaku Panglima Tertinggi ABRI, sudah pula menugasi Panglima ABRI (ketika itu dijabat Jenderal Try Sutrisno) untuk mencari selisih jumlah korban ini. Hasilnya telah pula diumumkan, dan memang tetap ada selisih jumlah korban yang masih terus diusahakan dicari. Pekan lalu, seusai bertemu Amos Wako di Jakarta, Panglima ABRI Jenderal TNI Edi Sudradjat menyatakan, hingga saat ini ABRI telah menemukan 32 orang dari 66 orang yang dinyatakan hilang dalam insiden Dili. ''Sisanya masih dicari terus,'' kata Jenderal Edi. Menurut dia, sejak keluar instruksi Pangti ABRI, berbagai upaya sudah dilakukan untuk mencocokkan angka korban insiden Dili. ''Ternyata, sebagian besar korban yang hilang itu melarikan diri ke hutan-hutan. Bagaimana mencari mereka? Saya bilang pada Wako, kalau ingin mencari mereka, coba kejar saja ke hutan sana,'' kata Jenderal Edi. Dalam jumpa pers di ruang Palapa Departemen Luar Negeri di Pejambon Jakarta, Kamis siang pekan lalu, Wako mengungkapkan serba sedikit soal jumlah korban ini. ''Seperti Anda ketahui, saya mendapatkan angka dari Pemerintah hari ini, bahwa orang- orang yang hilang berjumlah 61 orang. Berarti jumlah yang hilang ini turun, karena sebelumnya angka dari pemerintah Indonesia adalah 115 orang. Saya juga mendapat data dari sebuah LSM, jumlah yang hilang adalah 112 orang,'' ujar Amos Wako. Secara keseluruhan Wako menyatakan puas dengan kunjungan keduanya ini. Wako kali ini bertemu 40 orang, termasuk Presiden Soeharto, para pejabat tinggi negara, pejabat Pemda Tim-Tim, sampai para pelaku insiden Dili. Dan dia juga menyatakan, pelaku insiden Dili diperlakukan secara manusiawi oleh pemerintah Indonesia. Jadi, bagaimana evaluasi Wako atas pelaksanaan hak asasi manusia di Tim-Tim? ''Evaluasi itu termasuk kesimpulan saya yang akan saya berikan pada Sekjen PBB,'' kata Wako menghindar. Menurut rencana, pekan ini juga Wako akan diterima Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali di New York. Entah apa yang direkomendasikan Wako. Menurut sebuah sumber TEMPO di New York, dalam kunjungan pertama Wako memberikan laporan yang agak memberatkan Indonesia. Namun, menurut Menteri Ali Alatas, laporan hasil kunjungan Wako yang tidak dipublikasikan itu tidak mengandung value judgement, tidak memberatkan. Jadi, mengapa sekarang ada resolusi? Ini jelas bersangkut-paut dengan berubahnya arah angin yang berembus dari Gedung Putih. Sikap pemerintahan Bill Clinton ternyata berbeda dibandingkan ketika Presiden Bush masih berkuasa. Di sidang Komisi HAM PBB di Jenewa, pertengahan bulan lalu, berbaliknya sikap Amerika Serikat ini sangat terasa, terutama oleh delegasi Indonesia. Tahun lalu, di Jenewa justru delegasi AS, dibantu Australia dan Jepang, yang menggunakan pengaruhnya untuk menggagalkan upaya memasukkan resolusi untuk Indonesia. Akhirnya yang keluar hanyalah chairman statement yang nilainya masih negosiatif, masih bisa ditawar-tawar. Bulan lalu, justru Amerika yang menjadi ko-sponsor resolusi yang mengecam masalah hak asasi manusia di Tim-Tim dengan Portugal sebagai sponsor utama. Australia, yang dulu menolak, kini malah ikut-ikutan mendukung, sedangkan Jepang memilih abstain. Resolusi ini jelas mengecewakan pemerintah Indonesia. Delegasi Indonesia menyatakan menolak resolusi itu. Konon, pihak Indonesia menganggap perubahan politik di Amerika Serikat sebagai penyebab mencuatnya resolusi tadi. ''Dulu kekuasaan ada di tangan Partai Republik, dan kini Partai Demokrat. Kita hanya korban pergantian politik. Sikap diplomat Amerika Serikat terhadap kita sekarang berubah, agak aneh,'' kata sebuah sumber. Tapi Menteri Alatas menganggap bahwa Portugal-lah yang ''main'' dan berperan besar untuk mengegolkan resolusi kali ini. Wirjono Sastrohandojo, Dirjen Politik Departemen Luar Negeri, merasa kesal atas sikap negara-negara anggota Komisi Hak Asasi Manusia PBB yang tak menghargai upaya Indonesia. ''Ketika keluar chairman statement tahun silam, pemerintah Indonesia sudah memberikan tanggapan, semacam laporan pertanggung- jawaban,'' kata Wirjono, yang mengetuai delegasi Indonesia ke Jenewa itu. Isinya, antara lain, menjelaskan bahwa Presiden Indonesia telah menginstruksikan Panglima ABRI untuk mencari jumlah korban yang hilang. Juga telah dibentuk KPN. Dikabarkan juga kepada Komisi Hak Asasi Manusia itu, tiga perwira tinggi ABRI telah dikenai sanksi, dua di antaranya dilepas dari jabatan struktural, dan seorang di-nonjob-kan kendati masih dalam dinas aktif. Bahkan pekan lalu juga diumumkan oleh Mabes ABRI, bahwa mantan Panglima Kolakops Tim-Tim ketika terjadi insiden itu, Brigjen S. Warouw, diberhentikan dengan hormat. ''Warouw diberhentikan dengan hormat, sekarang tak lagi berada di ABRI,'' kata Panglima ABRI Jenderal Edi Sudradjat. Deplu melaporkan juga soal jumlah korban. Dari 115 orang yang hilang, 31 orang sudah kembali ke rumah, 18 ditemukan meninggal dan ditemukan kuburannya, dan empat orang tak bisa diidentifikasikan. Dari 62 orang sisanya, ternyata ada seorang lagi yang sudah kembali pulang. Jadi, ada 61 jiwa yang belum ketahuan ada di mana. Berbagai hal lain, misalnya perjalanan sembilan wartawan Portugal ke Dili, juga disampaikan ke Komisi HAM. Dengan segala usaha ini, kata Wirjono, ''Tidak pada tempatnya kalau tahun ini kita malah diberi resolusi.'' Sampai sejauh ini, resolusi yang dikeluarkan Komisi HAM belum akan diikuti oleh sanksi apa pun. Pertanyaan besarnya adalah, apakah resolusi HAM ini akan merembet pula ke soal yang sudah dianggap final Indonesia, yaitu penentuan nasib Timor Timur atau self determination, misalnya. ''Soalnya, urusan hak asasi manusia ini bisa merembet ke self determination,'' kata diplomat RI di perwakilan tetap di New York. Tampaknya, kekhawatiran ini kurang beralasan. Winstom Lord, asisten menteri luar negeri AS untuk urusan Asia Selatan dan Pasifik, akhir Maret lalu menegaskan bahwa sejak 1976 pemerintah AS telah mengakui integrasi Timor Timur ke Indonesia baik ketika Partai Republik maupun Partai Demokrat berkuasa. Namun, diakui Lord, keadaan hak asasi manusia di Tim-Tim masih sangat menyedihkan dan tak bisa diterima. ''Kami memang bermaksud menekan keras Indonesia secara bilateral dan multilateral agar memperbaiki catatan hak asasi manusia di Timor Timur, dengan memperhitungkan kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan,'' kata Lord lebih lanjut. Apa pun yang terjadi, pemerintah Indonesia rupanya sudah memasang langkah kuda-kuda. Senin pekan lalu, contohnya, Biro Koordinasi Gerakan Nonblok di New York mengadakan pertemuan untuk membicarakan koordinasi sikap Nonblok menjelang sidang hak asasi manusia di Wina, Austria, Juni mendatang. Pertemuan yang disponsori Indonesia sebagai ketua Gerakan Nonblok ini, kata Dubes Indonesia untuk PBB Nugroho Wisnumurti, ''Merupakan mandat yang diberikan Jakarta.'' Kelompok kerja yang terdiri dari 18 anggota Gerakan Nonblok di New York tadi sempat menyuarakan pendapat yang umumnya menyesalkan sikap negara Barat yang terlalu menekankan hak asasi individu dalam membicarakan hak asasi manusia. Negara Barat juga dituduh tak konsisten dalam menerapkan hak asasi manusia. ''Pendapat anggota Gerakan Nonblok umumnya cukup keras,'' kata Nugroho. Pendapat bahwa negara Barat terlalu menekan Selatan dalam soal hak asasi manusia ini sebelumnya juga terlontar dalam Deklarasi Bangkok, yang merupakan konsensus sikap 49 negara Asia Pasifik terhadap pelaksanaan hak asasi manusia. Deklarasi Bangkok ini dicanangkan awal April lalu. Tampaknya, semangat Bangkok itulah yang akan dibawa ke forum yang lebih besar, yakni Gerakan Nonblok, yang beranggotakan lebih dari seratus negara itu. Barangkali, upaya diplomasi untuk menggalang kesamaan pandangan di antara negara Nonblok tentang hak asasi manusia ini memang penting. Agar nanti tak hanya ada Deklarasi Bangkok, tapi mungkin kelak ada Deklarasi Hak Asasi Manusia Gerakan Nonblok, siapa tahu. Namun, seperti dikhawatirkan Mulya Lubis, pengacara lulusan Berkeley University, AS, yang disertasinya sekitar hak asasi manusia di Indonesia, berbagai versi hak asasi manusia ini jangan lantas menjadi alasan untuk membiarkan adanya pelanggaran hak asasi manusia dengan berbagai dalih. Pelanggaran hak asasi manusia di Selatan maupun di Utara, atau di mana saja, memang layak dikritik. Dan Indonesia pun telah mencoba melaksanakan dan menghormati hak asasi manusia itu. Seperti kata Ali Alatas, mengangkat martabat seluruh rakyat dari kemiskinan, buta huruf, keterbelakangan, jauh lebih penting. Mungkin, maksudnya, ketimbang sekedar mengusik hak satu atau dua orang yang tengah diperiksa. Itulah yang bisa dilihat di Timor Timur sejak integrasi. Toriq Hadad, Leila S. Chudori (Jakarta), Ruba'i Kadir (Dili), dan Bambang Harymurti (Washington)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus