Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – TNI memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-76 pada hari ini Selasa 5 Oktober 2021. Setara Institute melaporkan temuan bahwa tiga dari tujuh mandat reformasi TNI belum juga terpenuhi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Setara Institute Ikhsan Yosarie menyebut bahwa tiga mandat reformasi TNI yang belum dipenuhi. Melalui pemaparan hasil penelitian berjudul “Catatan Kinerja Reformasi TNI 2021 dan Temuan Survei Opini Ahli tentang Kandidat Panglima TNI”, yang mengkaji kasus-kasus dari 5 Oktober 2020 sampai 4 Oktober 2021, ia menyebut mandat yang belum dipenuhi meliputi penghormatan terhadap HAM dan supremasi sipil, kepatuhan terhadap kebijakan dan keputusan politik negara, dan larangan menduduki jabatan sipil.
1. Mandat Penghormatan terhadap HAM dan Supremasi Sipil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setara Insitute mencatat ketidakpenuhan mandat terdiri dari 3 bentuk. Bentuk pertama yaitu 4 kasus kekerasan aparat TNI terhadap masyarakat terjadi selama periode penelitian. Kasus tersebut terjadi Merauke, Purwakarta, dan Nusa Tenggara Timur. Akan tetapi, ujar Ikhsan, keempat kasus yang terjadi tidak dapat mewakili generalisasi berbagai dugaan tindak kekerasan yang dilakukan TNI.
“Karena kita tahu bahwa kasus-kasus kekerasan ini ibarat puncak gunung es, kita belum melihat bagaimana sisi tengahnya maupun sisi dasarnya, (dimana kasus tersebut) tentu berpotensi jauh lebih luas (permasalahannya),” ujar Ikhsan dalam diskusi daring pada Senin, 4 Oktober 2021.
Namun, Ikhsan mengatakan bahwa secara umum mengatakan bahwa kasus-kasus yang terjadi memberi gambaran kepada masyarakat bahwa kasus kekerasan oleh aparat masih terjadi hingga sampai kini. “Terlebih, persoalan kekerasan ini akan semakin sulit terselesaikan sebab TNI masih menikmati privilege dari belum direvisinya UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,” ujarnya.
Bentuk kedua dari tidak dipenuhinya mandat ini, ujar Ikhsan, belum dipenuhinya mandat ini juga tergambarkan dari minimnya imparsialitas atau akuntabilitas dari peradilan militer. Contoh kasus ini digambarkan pada kasus yang terjadi pada 9 Februari 2020, dimana terjadi pengeroyokan dari 11 anggota TNI terhadap korban meninggal dunia bernama Jusni
Menanggapi itu, Ikhsan menyampaikan bahwa putusan pengadilan militernya yang sudah keluar sama sekali tidak mencerminkan keadilan. “Sebab penyiksaan yang sampai mengakibatkan korban meninggal dunia itu hanya dihukum 1 sampai 2 tahun penjara, sehingga wajar jika putusan tersebut menimbulkan ketidakpuasan dari keluarga korban.” Ujar Ikhsan. Selain itu, ia menyampaikan bahwa tuntutan rendah tersebut juga disertai dugaan rekomendasi atasan TNI agar Oditur Militer meringankan hukuman.
Bentuk ketiga dari tidak dipenuhinya mandat yaitu terkait pengaturan komponen cadangan. Setara Institute mengkritik dua hal yang berkaitan dengan ini, pertama berupa penggunaan Hukum Militer bagi Komponen Cadangan selama masa aktif sebagaimana diatur Pasal 46 UU PSDN, dimana dalam UU tersebut sama sekali tidak disebutkan jenis atau posisi dari Komcad, apakah disamakan dengan prajurit TNI atau tidak.
“Jika kita mengacu pada UU TNI, yang tunduk pada hukum militer hanyalah prajurit TNI, sedangkan di UU PSDN justru Komcad termasuk dalam ruang lingkup hukum militer,” ujarnya.
Kritik lainnya yang dilayangkan Setara Institute terkait pengaturan komponen cadangan yaitu tidak diberinya ruang conscientious objection,. Ikhsan mencontohkan hal ini dengan kasus perang, dimana prajurit Komcad berstatus kesukarelaan untuk ikut apabila terjadi perang. “Tetapi kesukarelaan itu tidak dimaknai secara luas, sebab ketika seseorang sudah mendaftar Komcad maka prinsip kesukarelaan itu hilang karena tidak bisa menolak dimobilisasi perang,” ujar Ikhsan.
2. Mandat Kepatuhan terhadap Kebijakan dan Keputusan Politik Negara
Kasus yang dicatat Setara Institute berupa keterlibatan TNI dalam menurunkan baliho Front Pembela Islam (FPI) pada November 2020 lalu disebut tidak memiliki dasar hukum dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Hal ini disebabkan karena UU TNI secara eksplisit menyebutkan bahwa TNI di dalam perannya sebagai pertahanan negara maupun dalam pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) harus dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. “Sementara, arahan untuk menurunkan baliho ini justru diinstruksikan oleh Pangdam Jaya (bukan kebijakan negara), sehingga tidak ada dasar hukumnya,” ujar Ikhsan.
3. Mandat Larangan Menduduki Jabatan Sipil
Setara Institute menyoroti pengangkatan salah seorang perwira TNI aktif menjadi Staf Khusus Bidang Pengamanan Destinasi Wisata dan Isu-Isu Strategis oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno.
Padahal, ujar Ikhsan, secara eksplisit pada Pasal 47 Ayat 2 UU TNI disebutkan bahwa Kemenparekraf bukan menjadi salah satu jabatan sipil yang dikecualikan bagi TNI berstatus aktif untuk dapat mendudukinya.
“Penempatan TNI pada Kemenparekraf ini tidak mencerminkan pemerintah belajar dari berbagai kritik sebelumnya mengenai penempatan TNI aktif sebagai Komisaris BUMN, ini (seperti yang terjadi) pada tahun 2020 lalu,” ujar Ikhsan.
AQSHAL RAIHAN BUDIPUTRA | MAGANG
Baca: 76 Tahun TNI, Pameran Alutsista Digelar di Sekitar Istana Kepresidenan
Catatan koreksi:
Berita ini telah mengalami perubahan pada Selasa 5 Oktober 2021 pukul 8.39 WIB karena ada kesalahan penulisan masa kajian penelitian. Redaksi memohon maaf atas kesalahan tersebut.