Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Malam itu, Kamis, 30 September 1965, sebanyak enam jenderal dan satu kapten jadi korban Gerakan 30 September atau G30S. Sebelumnya Partai Komunis Indonesia atau PKI kepada Presiden Soekarno melaporkan, para jenderal ini adalah anggota Dewan Jenderal. Rencananya, mereka ditangkap dan akan dihadapkan ke Presiden Sukarno.
Apa Itu Dewan Jenderal?
Dewan Jenderal merupakan istilah yang diungkapkan PKI untuk menyebut sejumlah jenderal TNI Angkatan Darat atau AD yang dicurigai hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno.
Saksi kasus G30S, Kolonel Abdul Latief, atau Kolonel Latief, kepada Majalah Tempo pada April 2000 lalu mengatakan, ide untuk menghadapkan para jenderal ke hadapan Presiden Sukarno adalah ide PKI. Menurut PKI, jika tidak dijemput maka akan terjadi kudeta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kalau para jenderal itu tidak dijemput, yang terjadi adalah kudeta. Presiden Sukarno menjadi sasaran pokok untuk digulingkan,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isu yang berkembang saat itu adalah Dewan Jenderal akan merencanakan pameran kekuatan atau machts-vertoon di hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965. Mereka akan mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Menurut PKI, saat kekuatan militer yang besar tersebut telah terkonsentrasi di Jakarta, Dewan Jenderal akan melakukan kudeta kontra-revolusioner, bertepatan dengan hari angkatan bersenjata tersebut.
Sebagai tandingan Dewan Jenderal, PKI lantas membentuk gerakan yang dinamai Dewan Revolusi Indonesia. Dewan inilah yang nantinya berperan dalam peristiwa G30S. Gerakan tersebut diketuai oleh Letkol Untung Syamsuri, dia adalah salah satu perwira AD yang berada di bawah pengaruh PKI. Latief merupakan anggota dari Dewan Revolusi Indonesia ini. Dia mengaku pertama kali diajak bergabung oleh Untung.
“Saya dan teman-teman bertekad untuk melawan dan menggagalkan Dewan Jenderal,” kata Latief.
Menurut Latief, isu Dewan Jenderal ini sebenarnya sudah lama beredar di kalangan perwira muda. Bahkan Latief mengungkapkan Brigjen Supardjo Panglima Komando Tempur II dalam Komando Mandala Siaga atau Kolaga mengaku punya bukti tentang isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965.
Kemudian dibuatlah operasi penangkapan para jenderal ini, yang kemudian disebut dengan Operasi G30S.
Namun, apa yang terjadi di lapangan jauh dari apa yang direncanakan. Para jenderal ditembak mati yang mana harusnya dibawa hidup-hidup menghadap Soekarno.
PKI diyakini menjadi dalangnya. Namun Abdul Latief membantah bila pembunuhan terjadi atas perintah PKI atau Ketua CC PKI DN Aidit. Latief mengaku sama sekali tak pernah sama bertemu dengan DN Aidit.“Padahal, ketemu rai (wajah) saja belum pernah,” kata dia.
Sementara itu, menurut Menurut Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani, yang juga merupakan korban G30S, pernah membuat pernyataan bahwa apa yang disebut sebagai Dewan Jenderal merupakan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti).
Bukan untuk mengkudeta, tugas Wanjakti sebagai penasihat bagian kenaikan pangkat dan jabatan dalam Angkatan Darat. Setelah peristiwa G30S hingga pemakaman pada 5 Oktober 1965, keberadaan Dewan Jenderal yang dituduhkan PKI itu, tidak terbukti.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca juga : Kolonel Latief Bicara Soal Asal-usul Isu Dewan Jenderal dan Kudeta 5 Oktober
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.