DARI 116 kecamatan di Irian Jaya, hanya empat yang "tidak
miskin". Selebihnya, 63 kecamatan tergolong sangat miskin, 33
buah miskin dan sisanya, 16 kecamatan, tergolong "hampir
miskin".
Semua itu diperoleh dari penelitian Badan Perencana Pembangunan
Daerah (Bappeda) Ir-Ja, bersama Direktorat Tata Guna Tanah
Ditjen Agraria Departemen Dalam Negeri. Hasil penelitian selama
tahun anggaran '79 - '80 itu telah diungkapkan kembali oleh
Gubernur Ir-Ja, Busiri Suryowinoto di hadapan sidang pleno
khusus DPRD Ir-Ja akhir bulan lalu.
Para peneliti telah menjadikan sembilan bahan pokok sehari-hari
sebagai tolok-ukur kemiskinan itu. Untuk memperoleh ke-9 bahan
pokok itu, sebuah keluarga di Ir-Ja setiap bulan harus
mengeluarkan uang Rp 45.400 -- yaitu sebagai patokan kebutuhan
minimum tiap keluarga.
Berdasarkan patokan itu kemudian ditentukan empat klasifikasi
tingkat idup di seantero kecamatan di daerah itu. "Kecamatan
miskin sekali": pendapatan per kapita kurang dari 75% kebutuhan
hidup minimum, berarti kurang dari Rp 30.050. "Kecamatan
miskin": pendapatan per kapita antara 75%-125%, berarti kurang
dari Rp 65.750. "Kecamatan hampir miskin" pendapatan per kapita
antara 125% - 200% atau kurang dari Rp 90.800. "Kecamatan tidak
miskin ": pendapatan per kapita di atas Rp 90.800.
Perlu Ditangani Serius
Laporan penelitian Bappeda Ir-Ja yang dituangkan dalam buku
setebal 42 halaman itu, menyebutkan juga, bahwa dari sembilan
kabupaten di Ir-Ja masing-masing diambil dua kecamatan sebagai
sample. Dari tiap sample, disusun urutan desa menurut tingkat
pembangunannya. Masing-masing kecamatan sample diwakili tiga
desa.
Desa-desa ini dihitung besar produksi kotornya dari seluruh
sektor. Jumlah produksi kotor itu kemudian dibagi dengan jumlah
penduduk. Diperolehlah angka pendapatan per kapita kecamatan
sample. Analisa terhadap data yang terkumpul itu dilakukan
dengan komputer IBM 370/145 oleh PT El Nusa (Jakarta) dengan
menggunakan paket program S.P.S.S. (Statistical Package Program
for the Social Sciences).
Busiri yang dilantik Januari lalu, menolak jika laporan tentang
kemiskinan Ir-Ja itu ditanggapi secara dangkal. Yang penting
menurut Busiri, "desa-desa sebagai basis, perlu ditangani
serius, perlu dibantu." Dan untuk itu perlu dana.
Drs. Sareco, Ketua Bappeda tk. I Ir-Ja memperkuat keterangan
gubernur. "Penelitian penentuan lokasi daerah miskin di Ir-Ja
dimaksudkan agar penyebaran dana pembangunan dapat lebih
merata," katanya. Diharapkannya, dengan penelitian tersebut
Departemen Dalam Negeri dapat mengarahkan bantuan yang diterima
dari luar negeri. Misalnya dana PBB untuk pembangunan desa
seperti yang pernah diberikan untuk Malang, Surabaya dan
Ujungpandang.
Hasil penelitian itu tentu tak seluruhnya tepat.
Setidak-tidaknya begitulah pendapat Camat Jayapura, Drs. P.S.
Ukung, yang daerahnya, Jayapura, bersama-sama Abepura, Manokwari
dan Oransbari tergolong empat kecamatan yang dikategorikan
sebagai daerah tidak miskin. "Kalau dilihat dari pendapatan
rata-rata, saya sependapat," kata camat lulusan Institut Ilmu
Pemerintahan itu. "Tetapi kalau dilihat Desa Kayubatu yang mata
pencaharian sehari-hari penduduknya nelayan tradisional,
bagaimana mungkin desa itu termasuk tidak miskin. Ada perbedaan
menyolok sekali dengan penduduk di kota, padahal Kayubatu hanya
10 km dari Jayapura."
Sebaliknya Sentani. Kecamatan ini dihuni oleh pelbagai suku
bangsa. Areal pertaniannya banyak yang telah dibuka. Pendapatan
bulanan per kapita rata-rata Rp 90.159,34. Sebab itu Sentani
digolongkan sebagai kecamatan hampir miskin. Tapi di kecamatan
ini terletak pula Desa Sabron Dosey yang terkenal maju,
khususnya dalam pertanian, perkebunan dan KB. Karenanya desa
tersebut selalu jadi sasaran peninjauan tamutamu dari Pusat atau
Jayapura -- sebagai contoh pembangunan desa yang sukses di Irian
Jaya.
Sementara itu, daerah lain di luar empat kecamatan "tidak
miskin" itu, juga tidak mungkin disebut 100% miskin. Karena
misalnya di Sorong, Fak-Fak dan Merauke. Penduduk di sini memang
tidak menyimpan uang dalam jumlah besar, tapi di sana terbentang
kebun pala dan cengkih berhektar-hektar luasnya. Belum terhitung
ternak babi yang dipelihara seperti halnya orang Jawa memelihara
ayam.
Sebaliknya di Abepura, yang menurut penelitian disebut sebagai
"tidak miskin", tinggal seorang bernama Lukas Ulep, 30 tahun,
yang berpenghasilan hanya Rp 14.000 sebulan. Ia terdaftar
sebagai pegawai kantor camat dengan tugas menggali liang kubur
di pekuburan Abe Pantai. Penghasilan yang tergolong di bawah
garis kemiskinan itu, dimanfaatkan Lukas untuk membeli pakaian,
rokok dan beras. Lukas punya seorang anak, istrinya sudah
meninggal. Makanan pokoknya, sagu. Nasi, menurut Lukas, untuk
selingan.
Bertolak-belakang dengan Lukas adalah Majid, 40 tahun, nelayan
asal Pangkep, Sulawesi Selatan. Sejak 1969 Majid bermukim di
Abepura. Dari enam bagan miliknya, tiap bulan ia bisa menjual
ikan seharga Rp 500.000. Kadang-kadang bisa sampai Rp 1 juta.
Meski menanggung seorang istri, enam anak dan satu adik, Majid
masih mampu membangun sebuah rumah lagi yang lebih besar dan
permanen. Penduduk asli Ir-Ja yang juga nelayan, bukan tidak ada
yang setaraf Majid, tapi jumlahnya hanya beberapa gelintir. "Ada
kebiasaan buruk di antara mereka," ungkap Majid. "Kalau mendapat
hasil, tak jarang digunakan secara salah. Pesta dan minum
minuman keras."
Komposisi penuduk Ir-Ja yang hanya 1.146.178 jiwa itu (hasil
sensus terakhir) memang tidak mungkin diketahui persis. Tapi
dari profesi penduduk bisa diperoleh sekedar gambaran. Para
pendatang umumnya bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta,
tenaga ahli, petani (asal transmigrasi) dan nelayan yang umumnya
pendatang bebas dari Maluku, Sul-Sel dan Sul-Teng. Melihat
Abepura, Jayapura, Manokwari dan Oransbari, ada kesan bahwa
daerah pantai tingkat hidupnya rata-rata lebih tinggi dari
pedalaman. Namun ini pun ternyata tidak sepenuhnya benar.
Sepanjang pantai sampai ke pedalaman Kabupaten Merauke,
misalnya, oleh peneliti ditandai hampir seluruhnya sebagai
daerah miskin sekali.
Baru Empat Kecamatan
Dapat dikatakan bahwa daerah-daerah terpencil yang hubungannya
ke luar sedikit sekali, kurang mampu mengembangkan diri sendiri.
"Mereka sangat sederhana," kata Busiri. "Yang mereka perlukan
adalah bimbingan, penyuluhan, dorongan." Penduduk asli Ir-Ja
sebagian besar terbiasa dengan hidup seadanya. "Aktivitas
penduduk belum mencapai satu tingkatan yang memungkinkan mereka
dapat bergerak mengikuti petunjuk," kata Busiri lagi. Gubernur
ini berpendapat bahwa mereka perlu insentif, contoh dan
tuntunan. Baru dengan cara itu mereka berbuat menurut contoh
yang diberikan.
Yang menarik bagi anggota DPRD bukan analisa Busiri, tapi hasil
penelitian Bappeda. "Heran, sudah 18 tahun kita membangun, kok
baru empat kecamatan yang berhasil keluar dari garis
kemiskinan," begitu kata Tony Rahail, Ketua Fraksi PDI di DPRD
Ir-Ja. Ternyata Busiri tidak sependapat. "Untuk ukuran
pembangunan, 18 tahun bukan masa yang terlalu panjang," katanya
tegas. Sedangkan Victor Siswoyo Ketua FKP berpendapat lain.
"Secara hukum memang 18 tahun, tapi secara faktual baru pada
Pelita II Ir-Ja mulai dibangun," katanya.
Yang pasti sasaran pembangunan perlu dibidik secara tepat. Dalam
rangka itu pula penelitian Bappeda dilaksanakan. Meskipun hasil
penelitian di sanasini tidak 100% tepat, tapi setidak-tidaknya
sudah ada patokan ke mana mesti nya dana dan tenaga pembangunan
dicurahkan secara tepat. Pertama-tama tentu ke-63 kecamatan yang
miskin sekali itu. Ini tentu saja kalau Bappeda ketat berpegang
pada hasil penelitiannya sendirl.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini