Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Ir-ja, yang miskin & miskin sekali

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh bappeda ir-ja bersama direktorat tata guna tanah ditjen agraria dep. dalam negeri, dari 116 kecamatan di ir-ja hanya 4 kecamatan yang tidak miskin. (dh)

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI 116 kecamatan di Irian Jaya, hanya empat yang "tidak miskin". Selebihnya, 63 kecamatan tergolong sangat miskin, 33 buah miskin dan sisanya, 16 kecamatan, tergolong "hampir miskin". Semua itu diperoleh dari penelitian Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Ir-Ja, bersama Direktorat Tata Guna Tanah Ditjen Agraria Departemen Dalam Negeri. Hasil penelitian selama tahun anggaran '79 - '80 itu telah diungkapkan kembali oleh Gubernur Ir-Ja, Busiri Suryowinoto di hadapan sidang pleno khusus DPRD Ir-Ja akhir bulan lalu. Para peneliti telah menjadikan sembilan bahan pokok sehari-hari sebagai tolok-ukur kemiskinan itu. Untuk memperoleh ke-9 bahan pokok itu, sebuah keluarga di Ir-Ja setiap bulan harus mengeluarkan uang Rp 45.400 -- yaitu sebagai patokan kebutuhan minimum tiap keluarga. Berdasarkan patokan itu kemudian ditentukan empat klasifikasi tingkat idup di seantero kecamatan di daerah itu. "Kecamatan miskin sekali": pendapatan per kapita kurang dari 75% kebutuhan hidup minimum, berarti kurang dari Rp 30.050. "Kecamatan miskin": pendapatan per kapita antara 75%-125%, berarti kurang dari Rp 65.750. "Kecamatan hampir miskin" pendapatan per kapita antara 125% - 200% atau kurang dari Rp 90.800. "Kecamatan tidak miskin ": pendapatan per kapita di atas Rp 90.800. Perlu Ditangani Serius Laporan penelitian Bappeda Ir-Ja yang dituangkan dalam buku setebal 42 halaman itu, menyebutkan juga, bahwa dari sembilan kabupaten di Ir-Ja masing-masing diambil dua kecamatan sebagai sample. Dari tiap sample, disusun urutan desa menurut tingkat pembangunannya. Masing-masing kecamatan sample diwakili tiga desa. Desa-desa ini dihitung besar produksi kotornya dari seluruh sektor. Jumlah produksi kotor itu kemudian dibagi dengan jumlah penduduk. Diperolehlah angka pendapatan per kapita kecamatan sample. Analisa terhadap data yang terkumpul itu dilakukan dengan komputer IBM 370/145 oleh PT El Nusa (Jakarta) dengan menggunakan paket program S.P.S.S. (Statistical Package Program for the Social Sciences). Busiri yang dilantik Januari lalu, menolak jika laporan tentang kemiskinan Ir-Ja itu ditanggapi secara dangkal. Yang penting menurut Busiri, "desa-desa sebagai basis, perlu ditangani serius, perlu dibantu." Dan untuk itu perlu dana. Drs. Sareco, Ketua Bappeda tk. I Ir-Ja memperkuat keterangan gubernur. "Penelitian penentuan lokasi daerah miskin di Ir-Ja dimaksudkan agar penyebaran dana pembangunan dapat lebih merata," katanya. Diharapkannya, dengan penelitian tersebut Departemen Dalam Negeri dapat mengarahkan bantuan yang diterima dari luar negeri. Misalnya dana PBB untuk pembangunan desa seperti yang pernah diberikan untuk Malang, Surabaya dan Ujungpandang. Hasil penelitian itu tentu tak seluruhnya tepat. Setidak-tidaknya begitulah pendapat Camat Jayapura, Drs. P.S. Ukung, yang daerahnya, Jayapura, bersama-sama Abepura, Manokwari dan Oransbari tergolong empat kecamatan yang dikategorikan sebagai daerah tidak miskin. "Kalau dilihat dari pendapatan rata-rata, saya sependapat," kata camat lulusan Institut Ilmu Pemerintahan itu. "Tetapi kalau dilihat Desa Kayubatu yang mata pencaharian sehari-hari penduduknya nelayan tradisional, bagaimana mungkin desa itu termasuk tidak miskin. Ada perbedaan menyolok sekali dengan penduduk di kota, padahal Kayubatu hanya 10 km dari Jayapura." Sebaliknya Sentani. Kecamatan ini dihuni oleh pelbagai suku bangsa. Areal pertaniannya banyak yang telah dibuka. Pendapatan bulanan per kapita rata-rata Rp 90.159,34. Sebab itu Sentani digolongkan sebagai kecamatan hampir miskin. Tapi di kecamatan ini terletak pula Desa Sabron Dosey yang terkenal maju, khususnya dalam pertanian, perkebunan dan KB. Karenanya desa tersebut selalu jadi sasaran peninjauan tamutamu dari Pusat atau Jayapura -- sebagai contoh pembangunan desa yang sukses di Irian Jaya. Sementara itu, daerah lain di luar empat kecamatan "tidak miskin" itu, juga tidak mungkin disebut 100% miskin. Karena misalnya di Sorong, Fak-Fak dan Merauke. Penduduk di sini memang tidak menyimpan uang dalam jumlah besar, tapi di sana terbentang kebun pala dan cengkih berhektar-hektar luasnya. Belum terhitung ternak babi yang dipelihara seperti halnya orang Jawa memelihara ayam. Sebaliknya di Abepura, yang menurut penelitian disebut sebagai "tidak miskin", tinggal seorang bernama Lukas Ulep, 30 tahun, yang berpenghasilan hanya Rp 14.000 sebulan. Ia terdaftar sebagai pegawai kantor camat dengan tugas menggali liang kubur di pekuburan Abe Pantai. Penghasilan yang tergolong di bawah garis kemiskinan itu, dimanfaatkan Lukas untuk membeli pakaian, rokok dan beras. Lukas punya seorang anak, istrinya sudah meninggal. Makanan pokoknya, sagu. Nasi, menurut Lukas, untuk selingan. Bertolak-belakang dengan Lukas adalah Majid, 40 tahun, nelayan asal Pangkep, Sulawesi Selatan. Sejak 1969 Majid bermukim di Abepura. Dari enam bagan miliknya, tiap bulan ia bisa menjual ikan seharga Rp 500.000. Kadang-kadang bisa sampai Rp 1 juta. Meski menanggung seorang istri, enam anak dan satu adik, Majid masih mampu membangun sebuah rumah lagi yang lebih besar dan permanen. Penduduk asli Ir-Ja yang juga nelayan, bukan tidak ada yang setaraf Majid, tapi jumlahnya hanya beberapa gelintir. "Ada kebiasaan buruk di antara mereka," ungkap Majid. "Kalau mendapat hasil, tak jarang digunakan secara salah. Pesta dan minum minuman keras." Komposisi penuduk Ir-Ja yang hanya 1.146.178 jiwa itu (hasil sensus terakhir) memang tidak mungkin diketahui persis. Tapi dari profesi penduduk bisa diperoleh sekedar gambaran. Para pendatang umumnya bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta, tenaga ahli, petani (asal transmigrasi) dan nelayan yang umumnya pendatang bebas dari Maluku, Sul-Sel dan Sul-Teng. Melihat Abepura, Jayapura, Manokwari dan Oransbari, ada kesan bahwa daerah pantai tingkat hidupnya rata-rata lebih tinggi dari pedalaman. Namun ini pun ternyata tidak sepenuhnya benar. Sepanjang pantai sampai ke pedalaman Kabupaten Merauke, misalnya, oleh peneliti ditandai hampir seluruhnya sebagai daerah miskin sekali. Baru Empat Kecamatan Dapat dikatakan bahwa daerah-daerah terpencil yang hubungannya ke luar sedikit sekali, kurang mampu mengembangkan diri sendiri. "Mereka sangat sederhana," kata Busiri. "Yang mereka perlukan adalah bimbingan, penyuluhan, dorongan." Penduduk asli Ir-Ja sebagian besar terbiasa dengan hidup seadanya. "Aktivitas penduduk belum mencapai satu tingkatan yang memungkinkan mereka dapat bergerak mengikuti petunjuk," kata Busiri lagi. Gubernur ini berpendapat bahwa mereka perlu insentif, contoh dan tuntunan. Baru dengan cara itu mereka berbuat menurut contoh yang diberikan. Yang menarik bagi anggota DPRD bukan analisa Busiri, tapi hasil penelitian Bappeda. "Heran, sudah 18 tahun kita membangun, kok baru empat kecamatan yang berhasil keluar dari garis kemiskinan," begitu kata Tony Rahail, Ketua Fraksi PDI di DPRD Ir-Ja. Ternyata Busiri tidak sependapat. "Untuk ukuran pembangunan, 18 tahun bukan masa yang terlalu panjang," katanya tegas. Sedangkan Victor Siswoyo Ketua FKP berpendapat lain. "Secara hukum memang 18 tahun, tapi secara faktual baru pada Pelita II Ir-Ja mulai dibangun," katanya. Yang pasti sasaran pembangunan perlu dibidik secara tepat. Dalam rangka itu pula penelitian Bappeda dilaksanakan. Meskipun hasil penelitian di sanasini tidak 100% tepat, tapi setidak-tidaknya sudah ada patokan ke mana mesti nya dana dan tenaga pembangunan dicurahkan secara tepat. Pertama-tama tentu ke-63 kecamatan yang miskin sekali itu. Ini tentu saja kalau Bappeda ketat berpegang pada hasil penelitiannya sendirl.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus