Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jabatan Gubernur

Wawancara Tempo dengan Gubernur Tjokropranolo, saat-saat terakhir masa jabatannya, dan kesan-kesan terhadap kepemimipinan cokropranolo selama masa jabatannya. (nas)

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN kaus oblong dan jaket, sepatu kets dan topi pet, Jumat siang pekan lalu, Tjokropranolo mendarat di Pulau Bidadari. Sejumlah staf humas DKI dan wartawan menyambutnya. Dalam acara perpisahan itu ia menerima hiasan dinding dari kulit bergambar Pandu Dewanata, ayah Pandawa Lima. "Tokoh ini terlalu tinggi buat saya. Dulu, kawan-kawan melukiskan saya sebagai Hanuman yang hanya tahu mengabdi. Disuruh apa-apa mau," ujarnya. Ini salah satu dari beberapa kegiatan ringan Tjokro, 58 tahun, seminggu sebelum menyerahkan jabatan Gubernur DKI Jakarta kepada Suprapto. Hari-hari terakhirnya sebagai gubernur agaknya tak sepi dari kesibukan. Tak jarang ada seorang pejabat menyusul atau menunggu dalam Toyota Hardtop dinasnya B-8 untuk minta tanda-tangannya. Jip warna hijau muda itu dilengkapi dengan AC, telepon, lampu dan macam-macam kenop. Beberapa map tertumpuk di jok depan. Sepatu olahraga kaus dan handuk, tergeletak di jok beiakang. Orang menilai pidato sang gubernur tidak menarik. Tapi kata sambutannya ketika meresmikan pemugaran Gereja Pantekosta di Jalan Kramat pekan lalu memikat. "Beberapa minggu setelah memangku jabatan, saya diundang Pantekosta. Dan sekarang, seminggu sebelum mengakhiri masa jabatan, diundang lagi oleh Pantekosta. Jadi dibuka dan ditutup oleh Pantekosta," katanya dengan tekanan suara lantang, seperti biasanya. Barangkali ingin meninggalkan kesan yang baik, dalam setiap kesempatan bertemu dengan warga kota, Tjokro selalu mengakhiri kata sambutannya dengan menarik. Katanya "Jangan mengucap selamat jalan. Ucapkanlah selamat datang sebagai warga kota sebab sebentar lagi saya akan menjadi warga kota biasa seperti saudara-saudara. Kalau selama ini pada hal-hal yang baik anggaplah itu petunjuk Tuhan. Tapi kalau ada yang salah anggaplah sebagai kesalahan saya pribadi dan istri saya". Ia memang ingin selalu berendah hati -- katanya merupakan karakter Hanuman yang tanpa pamrih. Meski begitu, dalam acara perpisahan dengan para seniman di TIM Jumat malam pekan lalu, tak urung ia diguyur dengan sanjung dan pujapuji Kelompok Ngamen '82 menyanyikan lagu "apakah kami akan mendapat pengganti yang sepertimu, gubernur dengan senyum yang bijaksana". Kelompok ini juga membacakan "kebulatan tekad" mengangkat Tjokro sebagai godfather kaum kaki-lima. Anak-anak kecil tak ketinggalan menangisi "kepergian" bapak mereka dengan membacakan sajak-sajak sentimental. Mereka menceritakan Tjokropranolo sebagai pelindung tukang becak, pemungut puntung rokok, kaum gelandangan. Mereka menjadi saksi Jakarta yang bersolek dengan pot-pot tanaman bunga di tengah terik matahari kemarau panjang dan taburan debu Galunggung. Tjokro dan Ny. Sundari sempat berkaca-kaca. Mungkin suami-istri beranak 4 itu teringat 10 cucu-cucunya. Namun, di saat-saat terakhir masa jahatannya Tjokro juga dinilai meninggal dan semacam "keresahan" di kalangan aparat bawahannya lantaran mengangkat satu-dua karyawan yang menurut anggapan beberapa kalangan kurang tepat. Tjokro membantah adanya "keresahan" itu. "Pengangkatan itu sudah dipersiapkan jauh sebelumnya. Dan itu sudah disetujui staf saya, juga sudah dikonfirmasikan dengan Depdagri," katanya. Mengenai istri seorang camat yang diangkat menjadi sekretaris kota di salah satu wilayah Jakarta, "juga diusulkan staf saya dan disetujui Depdagri". Ia mengungkapkan, wanita itu capable sedang jabatannya yang baru sesuai dengan golonganya sebagai sarjana. "Lagi pula itu sesuai dengan GBHN, memberi kesempatan kepada kaum wanita. Lantaran wanita, apa terus dianggap tidak mampu? Kua kecerdasan, cukup tinggi. Mungkin hanya kua fisik, tapi itu kan soal lain," ujarnya. Selama masa jabatannya, Tjokro sempat bercinta dengan laut. Ia mempopulerkan hasil laut yang bergizi tinggi--kerang hijau yang kemudian diperkenalkan sebagai "kerang Nolly". Belakangan ia juga menawarkan keindahan panorama dasar laut dengan membuat film bersama Des Alwi. Ia sendiri menjadi salah seorang bintang filmnya, melakukan diving di dasar Teluk Jakarta. "Kalau film itu diputar di pesawat yang menerbangi jalur Jakarta--Amsterdam misalnya, tentu banyak turis yang tertarik," katanya. Selama lima setengah tahtn menjadi gubernur, ia mengaku tak pernah mengambil cuti, tak pernah sempat tidur siang. "Dan alhamdulillah saya selalu sehat, tidak pernah sakit. Itu mungkin karena saya selalu gembira, berolahraga dan bekerja keras," kata Tjokro yang gcmar sepakbola dan lari. TERHADAP anggapan bahwa ia gubernur yang lamban -- dibanding Ali Sadikin, pendahulunya -- Tjokro mengemukakan falsafah sepakbola. "Ibarat bermain sepakbola, kalau memang tidak ada bola buat apa lari-lari. Nanti kan seperti orang gendeng. Tapi kalau jelas ada bola, ada tantangan, kita harus lari mengejarnya dan berusaha menggoalkannya ke gawang lawan," jawabnya tangkas. Dan baginya, Jakarta merupakan kota yang penuh dengan tantangan. "Kota ini unik, interesting. Masyarakatnya dinamis, selalu ada masalah yang harus ditangani dengan cepat," katanya. Pada hari-hari pertama jadi gubernur, Tjokro melihat Jakarta sebagai Jakarta, yang tidak mungkin "diangkat" sederajat dengan kou-kota besar seperti New York atau Tokyo. "Lebih-lebih karena 85% lebih penduduknya terdiri dari masyarakat berpenghasilan rendah," ujarnya. Itulah sebabnya, dengan memperkenalkan pola masyarakat Jakarta yang menurut dia sosialistis-religius, Tjokro menekankan pemerataan dan mengerem pembangunan fisik, yang oleh beberapa orang dianggap "lamban membangun". Karyawan Pemda DKI memuji sifat kebapakan Tjokro. "Dulu suasana di kantor rasanya sangat ketat. Sekarang, kami menganggap Pak Tjokro sebagai eorang bapak yang teramat baik. Seperti seorang bapak yang mau bermain-main, menjadi kuda-kudaan yang ditunggangi anak-anaknya," kata seorang karyawan. Untunglah walau disiplin di bawah Tjokro karena sikap itu dinilai merosot, mesin pemerintahan yang dirakit Ali Sadikin dulu cukup baik jalannya. Terhadap beberapa lelucon yang mengejek-ejeknya sebagai "bodoh", Tjokropranolo tidak sakit hati. "Ndak apaapa. Biarkan mereka menikmati lelucon itu. Saya sendiri sadar, kan tidak semua orang Jakarta menyukai saya. Uang receh saja punya dua sisi, apalagi saya sebagai manusia. Ada sisi baik ada sisi jelek," katanya dengan tenang. "Pokoknya saya bekerja untuk orang kecil. Dan saya berusaha meningkatkan pendapatan mereka," tambahnya. Ia menunjuk banyaknya sarana pendidikan SD sampai SMA, pasar-pasar, perumahan murah -- semuanya untuk kepentingan orang kecil. Juga beberapa kemungkinan untuk membuka kesempatan kerja bagi masyarakat berpenghasilan kecil seperti kaki-lima. "Saya juga berusaha menaikkan upah buruh harian dari Rp 450 menjadi Rp 600, kemudian dinaikkan lagi jadi Rp 750, diatur dengan Perda. Pendeknya orang kecil harus diayomi. Sekarang ini perusahaan real estate misalnya tidak boleh seenaknya saja membebaskan tanah. Pemda harus campur-tangan dan harus bermusyawarah dengan penduduk" katanya. Berhasilkah ia sebagai gubernur? Tjokro mengaku tidak bisa menilai dirinya sendiri. "Tapi saya lega karena yang lebih berwenang menilai saya menganggap saya sebagai berhasil. Yaitu Presiden sebagai yang memberi besluit dan DPRD yang mengontrol pemerintah daerah. Selain itu kan banyak pula yang mengakui bahwa saya membantu orang kecil to?", katanya. Pengakuan Presiden dan penilaian DPRD itu merupakan sesuatu yang sangat membahagiakannya. Kini Tjokropranolo belum tahu jabatan apa yang hendak dipercayakan kepadanya. "Yang terang saya akan lebih banyak bekerja untuk kegiatan sosial, mengurusi penderita cacat, orang-orang buta, penderita paraplegia," katanya. Bersama beberapa pensiunan ABRI, beberapa waktu lalu ia membangun rumah sakit Bhakti Yudha di Depok--berkapasitas 100 tempat tidur, dan merupakan satu-satunya rumah sakit di kawasan itu. Tentang kegiatan lain, Tjokro menambahkan: "Mungkin hobi saya, bersepeda atau berkebun, akan saya pupuk. Dan kalau diajak bisnis mau juga, asal ada kaitannya dengan pekerjaan sosial. Pendeknya saya mau kerja terus, sebab kalau berhenti malah berbahaya. Manusia yang berhenti bekerja akan kehilangan kekuatannya sendiri. Ibarat mobil kalau lagi berjalan tiba-tiba dihentikan sukar lagi untuk maju," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus