DENGAN kaus oblong dan jaket, sepatu kets dan topi pet, Jumat
siang pekan lalu, Tjokropranolo mendarat di Pulau Bidadari.
Seiumlah staf humas DKI dan wartawan menyambutnya. Dalam acara
perpisahan itu ia menerima hiasan dinding dari kulit bergambar
Pandu Dewanata, ayah Pandawa Lima. "Tokoh ini terlalu tinggi
buat saya. Dulu, kawan-kawan melukiskan saya sebagai Hanuman
yang hanya tahu mengabdi. Disuruh apa-apa mau," ujarnya.
Ini salah satu dari beberapa kegiatan ringan Tjokro, 58 tahun,
seminggu sebelum menyerahkan jabatan Gubernur DKI Jakarta kepada
Suprapto. Hari-hari terakhirnya sebagai gubernur agaknya tak
sepi dari kesibukan. Tak jarang ada seorang pejabat menyusul
atau menunggu dalam Toyota Hardtop dinasnya B-8 untuk minta
tanda-tangannya. Jip warna hijau muda itu dilengkapi dengan AC,
telepon, lampu dan macam-macam kenop. Beberapa map tertumpuk di
jok depan. Sepatu olahraga kaus dan handuk, tergeletak di jok
beiakang.
Orang menilai pidato sang gubernur tidak menarik. Tapi kata
sambutannya ketika meresmikan pemugaran Gereja Pantekosta di
Jalan Kramat pekan lalu memikat. "Beberapa minggu setelah
memangku jabatan, saya diundang Pantekosta. Dan sekarang,
seminggu sebelum mengakhiri masa jabatan, diundang lagi oleh
Pantekosta. Jadi dibuka dan ditutup oleh Pantekosta," katanya
dengan tekanan suara lantang, seperti biasanya.
Barangkali ingin meninggalkan kesan yang baik, dalam setiap
kesempatan bertemu dengan warga kota, Tjokro selalu mengakhiri
kata sambutannya dengan menarik. Katanya "Jangan mengucap
selamat jalan. Ucapkanlah selamat datang sebagai warga kota
sebab sebentar lagi saya akan menjadi warga kota biasa seperti
saudara-saudara. Kalau selama ini pada hal-hal yang baik
anggaplah itu petunjuk Tuhan. Tapi kalau ada yang salah
anggaplah sebagai kesalahan saya pribadi dan istri saya".
Ia memang ingin selalu berendah hati -- katanya merupakan
karakter Hanuman yang tanpa pamrih. Meski begitu, dalam acara
perpisahan dengan para seniman di TIM Jumat malam pekan lalu,
tak urung ia diguyur dengan sanjung dan pujapuji Kelompok Ngamen
'82 menyanyikan lagu "apakah kami akan mendapat pengganti yang
sepertimu, gubernur dengan senyum yang bijaksana". Kelompok ini
juga membacakan "kebulatan tekad" mengangkat Tjokro sebagai
godfather kaum kaki-lima.
Anak-anak kecil tak ketinggalan menangisi "kepergian" bapak
mereka dengan membacakan sajak-sajak sentimental. Mereka
menceritakan Tjokropranolo sebagai pelindung tukang becak,
pemungut puntung rokok, kaum gelandangan. Mereka menjadi saksi
Jakarta yang bersolek dengan pot-pot tanaman bunga di tengah
terik matahari kemarau panjang dan taburan debu Galunggung.
Tjokro dan Ny. Sundari sempat berkaca-kaca. Mungkin suami-istri
beranak 4 itu teringat 10 cucu-cucunya.
Namun, di saat-saat terakhir masa jahatannya Tjokro juga dinilai
meninggal dan semacam "keresahan" di kalangan aparat bawahannya
lantaran mengangkat satu-dua karyawan yang menurut anggapan
beberapa kalangan kurang tepat. Tjokro membantah adanya
"keresahan" itu. "Pengangkatan itu sudah dipersiapkan jauh
sebelumnya. Dan itu sudah disetujui staf saya, juga sudah
dikonfirmasikan dengan Depdagri," katanya.
Mengenai istri seorang camat yang diangkat menjadi sekretaris
kota di salah satu wilayah Jakarta, "juga diusulkan staf saya
dan disetujui Depdagri". Ia mengungkapkan, wanita itu capable
sedang jabatannya yang baru sesuai dengan golonganya sebagai
sarjana. "Lagi pula itu sesuai dengan GBHN, memberi kesempatan
kepada kaum wanita. Lantaran wanita, apa terus dianggap tidak
mampu? Kua kecerdasan, cukup tinggi. Mungkin hanya kua fisik,
tapi itu kan soal lain," ujarnya.
Selama masa jabatannya, Tjokro sempat bercinta dengan laut. Ia
mempopulerkan hasil laut yang bergizi tinggi--kerang hijau yang
kemudian diperkenalkan sebagai "kerang Nolly". Belakangan ia
juga menawarkan keindahan panorama dasar laut dengan membuat
film bersama Des Alwi. Ia sendiri menjadi salah seorang bintang
filmnya, melakukan diving di dasar Teluk Jakarta. "Kalau film
itu diputar di pesawat yang menerbangi jalur Jakarta--Amsterdam
misalnya, tentu banyak turis yang tertarik," katanya.
Selama lima setengah tahtn menjadi gubernur, ia mengaku tak
pernah mengambil cuti, tak pernah sempat tidur siang. "Dan
alhamdulillah saya selalu sehat, tidak pernah sakit. Itu mungkin
karena saya selalu gembira, berolahraga dan bekerja keras," kata
Tjokro yang gcmar sepakbola dan lari.
TERHADAP anggapan bahwa ia gubernur yang lamban -- dibanding Ali
Sadikin, pendahulunya -- Tjokro mengemukakan falsafah sepakbola.
"Ibarat bermain sepakbola, kalau memang tidak ada bola buat apa
lari-lari. Nanti kan seperti orang gendeng. Tapi kalau jelas ada
bola, ada tantangan, kita harus lari mengejarnya dan berusaha
menggoalkannya ke gawang lawan," jawabnya tangkas. Dan baginya,
Jakarta merupakan kota yang penuh dengan tantangan. "Kota ini
unik, interesting. Masyarakatnya dinamis, selalu ada masalah
yang harus ditangani dengan cepat," katanya.
Pada hari-hari pertama jadi gubernur, Tjokro melihat Jakarta
sebagai Jakarta, yang tidak mungkin "diangkat" sederajat dengan
kou-kota besar seperti New York atau Tokyo. "Lebih-lebih karena
85% lebih penduduknya terdiri dari masyarakat berpenghasilan
rendah," ujarnya. Itulah sebabnya, dengan memperkenalkan pola
masyarakat Jakarta yang menurut dia sosialistis-religius, Tjokro
menekankan pemerataan dan mengerem pembangunan fisik, yang oleh
beberapa orang dianggap "lamban membangun".
Karyawan Pemda DKI memuji sifat kebapakan Tjokro. "Dulu suasana
di kantor rasanya sangat ketat. Sekarang, kami menganggap Pak
Tjokro sebagai eorang bapak yang teramat baik. Seperti seorang
bapak yang mau bermain-main, menjadi kuda-kudaan yang
ditunggangi anak-anaknya," kata seorang karyawan. Untunglah
walau disiplin di bawah Tjokro karena sikap itu dinilai merosot,
mesin pemerintahan yang dirakit Ali Sadikin dulu cukup baik
jalannya.
Terhadap beberapa lelucon yang mengejek-ejeknya sebagai "bodoh",
Tjokropranolo tidak sakit hati. "Ndak apaapa. Biarkan mereka
menikmati lelucon itu. Saya sendiri sadar, kan tidak semua orang
Jakarta menyukai saya. Uang receh saja punya dua sisi, apalagi
saya sebagai manusia. Ada sisi baik ada sisi jelek," katanya
dengan tenang. "Pokoknya saya bekerja untuk orang kecil. Dan
saya berusaha meningkatkan pendapatan mereka," tambahnya.
Ia menunjuk banyaknya sarana pendidikan SD sampai SMA,
pasar-pasar, perumahan murah -- semuanya untuk kepentingan orang
kecil. Juga beberapa kemungkinan untuk membuka kesempatan kerja
bagi masyarakat berpenghasilan kecil seperti kaki-lima. "Saya
juga berusaha menaikkan upah buruh harian dari Rp 450 menjadi Rp
600, kemudian dinaikkan lagi jadi Rp 750, diatur dengan Perda.
Pendeknya orang kecil harus diayomi. Sekarang ini perusahaan
real estate misalnya tidak boleh seenaknya saja membebaskan
tanah. Pemda harus campur-tangan dan harus bermusyawarah dengan
penduduk" katanya.
Berhasilkah ia sebagai gubernur? Tjokro mengaku tidak bisa
menilai dirinya sendiri. "Tapi saya lega karena yang lebih
berwenang menilai saya menganggap saya sebagai berhasil. Yaitu
Presiden sebagai yang memberi besluit dan DPRD yang mengontrol
pemerintah daerah. Selain itu kan banyak pula yang mengakui
bahwa saya membantu orang kecil to?", katanya. Pengakuan
Presiden dan penilaian DPRD itu merupakan sesuatu yang sangat
membahagiakannya.
Kini Tjokropranolo belum tahu jabatan apa yang hendak
dipercayakan kepadanya. "Yang terang saya akan lebih banyak
bekerja untuk kegiatan sosial, mengurusi penderita cacat,
orang-orang buta, penderita paraplegia," katanya. Bersama
beberapa pensiunan ABRI, beberapa waktu lalu ia membangun rumah
sakit Bhakti Yudha di Depok--berkapasitas 100 tempat tidur, dan
merupakan satu-satunya rumah sakit di kawasan itu.
Tentang kegiatan lain, Tjokro menambahkan: "Mungkin hobi saya,
bersepeda atau berkebun, akan saya pupuk. Dan kalau diajak
bisnis mau juga, asal ada kaitannya dengan pekerjaan sosial.
Pendeknya saya mau kerja terus, sebab kalau berhenti malah
berbahaya. Manusia yang berhenti bekerja akan kehilangan
kekuatannya sendiri. Ibarat mobil kalau lagi berjalan tiba-tiba
dihentikan sukar lagi untuk maju," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini