Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

40 Saksi untuk Kasus HAM di Paniai

Kejaksaan Agung akan menghadirkan lebih dari 40 saksi dalam persidangan perkara pelanggaran HAM di Paniai. Jumlah terdakwa dimungkinkan bertambah.

18 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Papua Itu Kita melakukan unjuk rasa di depan Gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jakarta, 2015. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lebih dari 40 saksi akan dihadirkan dalam sidang peristiwa berdarah Paniai.

  • Jaksa Agung melibatkan 34 jaksa dalam tim penuntut umum.

  • Jumlah terdakwa dimungkinkan bertambah.

JAKARTA – Kejaksaan Agung bakal menghadirkan lebih dari 40 saksi dalam persidangan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Paniai, Papua. Saksi-saksi ini terdiri atas warga sipil, anggota TNI/Polri, dan empat ahli. Adapun penuntut yang dilibatkan untuk menangani perkara ini berjumlah 34 orang. “Tapi tidak semuanya turun ke persidangan karena ada yang men-support untuk menghadirkan alat bukti dan menghadirkan saksi," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, kemarin, 17 Juni 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jaksa Agung telah mengeluarkan Surat Perintah Nomor: Prin-41/A/Fh.2/05/2022 bertarikh 23 Mei 2022 kepada 34 jaksa itu untuk bergabung dalam tim penuntut umum. Adapun berkas perkara dan terdakwa sudah dilimpahkan ke Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Makassar pada 15 Juni 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terdakwa dalam perkara ini adalah IS, perwira yang sebelumnya bertugas di Komando Distrik Militer (Kodim) Paniai. "Terdakwa saat ini memang baru satu," kata Ketut. "Seandainya dalam perkembangan ada tersangka lain, kami akan rilis."

Demonstran menuntut negara menuntaskan HAM berat di depan gedung Istana halaman Monas Jakarta Pusat, 31 Maret 2022. Tempo/Muhammad Syauqi Amrullah

Dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Saat itu masyarakat mendatangi Markas Kepolisian Sektor Paniai dan komando rayon militer untuk meminta penjelasan tentang pengeroyokan terhadap pemuda setempat yang diduga dilakukan oleh anggota TNI. Karena kedatangan mereka tidak ditanggapi, masyarakat berkumpul di lapangan Karel Gobai, di depan Markas Polsek, sambil menyanyi dan menari sebagai bentuk protes.

Belakangan situasi semakin memanas. Masyarakat mulai melempari pos polisi dan koramil dengan batu. Aparat akhirnya melepaskan tembakan untuk membubarkan massa. Empat warga sipil tewas dan 21 orang luka-luka dalam kerusuhan ini.

Ketut mengatakan IS, yang saat ini menjabat perwira penghubung di kodim wilayah Paniai, patut didakwa melakukan pelanggaran HAM berat karena tidak berupaya mengendalikan secara efektif anak buahnya. Padahal, sebagai komandan militer secara de facto ataupun de jure, IS memiliki kekuasaan dan pengendalian terhadap anggota TNI yang saat itu bertugas.

“Namun saat kejadian IS tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukannya itu,” kata Ketut. "Terdakwa juga tidak menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan."

Jaksa penuntut akan mendakwa IS melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf a dan b jo Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Pengadilan HAM dan Pasal 42 ayat (1) huruf a dan b jo Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, serta Pasal 40 Undang-Undang Pengadilan HAM. Ketut berharap Mahkamah Agung segera menentukan hakim yang akan menyidangkan perkara ini di Pengadilan Negeri Makassar. "Biasanya, setelah pelimpahan, nanti hakim akan ditunjuk oleh Mahkamah Agung," kata dia.

Juru bicara Pengadilan Negeri Makassar, Sibali, mengatakan sebelumnya sidang perdana perkara ini akan digelar pada 27 Juni 2022. Namun kemarin, ia menjelaskan, agenda sidang dibatalkan karena tiga hakim ad hoc dan hakim karier belum ditetapkan oleh Mahkamah Agung. “Kami masih menunggu arahan dari Mahkamah Agung,” kata Sibali.

Menurut Sibali, setelah menerima pelimpahan berkas dari Kejaksaan Agung dengan nomor perkara 1/Pid.sus-HAM/2022/PN, Pengadilan Negeri Makassar sebenarnya telah menetapkan majelis hakim untuk menangani perkara ini. Majelis hakim itu terdiri atas Sigid Triyono sebagai ketua serta Eddy, Rusdiyanto Loleh, Abdul Rahman Karim, dan Johnical Richard Frans Sine sebagai anggota. Namun penetapan ini dibatalkan karena majelis hakim untuk perkara pelanggaran HAM harus terdiri atas hakim ad hoc dan karier. "Nanti kalau hakim ad hoc sudah ada, baru ditetapkan majelis hakim dan jadwal sidangnya,” kata dia.

IMAM HAMDI | DIDIT HARIYADI (MAKASSAR)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus