Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gunadi Kasnowihardjoberulang kali naik-turun lubang galian sedalam satu meter. Peneliti senior Balai Arkeologi Yogyakarta ini memperhatikan detail susunan bata merah dalam grid (kotak gali) di Dusun Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Lumajang, Kamis dua pekan lalu. "Kami melakukan ekskavasi penyelamatan," kata Gunadi kepada Tempo.
Bersama empat arkeolog lain, Gunadi melakukan penggalian di dua lokasi, yakni di Blok Pengungakan dan Blok Candi. Di tiap blok, tim membuat empat grid. Selama ekskavasi pada 17-22 September itu, mereka menemukan struktur dinding dari batu bata merah, pecahan keramik, gerabah, serta tembikar kuno.
Temuan yang paling menyita perhatian para arkeolog itu adalah struktur batu bata setebal 210 sentimeter, yang diduga bagian dari benteng. Menurut Gunadi, berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta pada 1982-1991, luas kawasan Situs Biting itu diperkirakan 135 hektare, yang mencakup enam blok atau area, yaitu Blok Keraton seluas 76,5 hektare, Blok Jeding (Taman Sari) 5 hektare, Blok Biting 10,5 hektare, Blok Randu 14,2 hektare, Blok Salak 16 hektare, dan Blok Duren 12,8 hektare.
Cukup besar untuk ukuran sebuah candi. Blok-blok itu diduga bekas kawasan permukiman, pemandian, dan peribadatan. Selama penelitian sejak 1980-an, banyak ditemukan artefak seperti keramik Cina dari abad ke-12 sampai abad ke-16 serta gerabah kuno.Sejauh ini peninggalan dari masa pengaruh Hindu-Buddha yang berupa benteng baru ada di Candi Ratu Boko di daerah Prambanan, Jawa Tengah.
Situs itu diduga merupakan peninggalan kerajaan yang pernah berdiri di Lumajang. Ketua Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur Mansur Hidayat mengatakan Lumajang atau Lamajang muncul dalam Prasasti Kudadu. Disebutkan bahwa Adipati Sumenep, Arya Wiraraja, dan Raden Wijaya mengadakan perjanjian membagi dua wilayah yang sama besar setelah mengalahkan Prabu Jayakatwang di Kediri dan mengusir tentara Tar Tar pada 1292. Satu kerajaan bernama Majapahit di sebelah barat dengan raja Raden Wijaya serta Lamajang Tigang Juru (meliputi Lamajang, Panarukan, dan Blambangan) dengan raja Arya Wiraraja.
Hanya, kata Mansur, belum diketahui siapa pendiri benteng di Biting. "Dari runutan sejarah dan bukti arkeologis, diduga kuat benteng dan permukimannya dibangun sekitar abad ke-14," ujarnya.
Aries Purwantiny, arkeolog Universitas Udayana, Bali, yang kini menetap di Lumajang, mengatakan ada beberapa alasan yang menjadi landasan mengapa Situs Biting harus diteliti lebih lanjut. Bisa jadi, kata dia, Majapahit yang disebut dalam NagarakreÂtagama dikelilingi benteng adalah Situs Biting ini. "Di Trowulan sampai saat ini belum ditemukan struktur benteng seperti di Biting."
"Ini benteng klasik pertama (peninggalÂan Majapahit) yang ditemukan," ujarnya. Hanya disiplin arkeologi, kata dia, yang nantinya akan mengungkap kebenaran ini melalui berbagai temuan. Dengan luas kawasan 135 hektare dan benteng keliling sepanjang 8-10 kilometer, situs ini adalah karya besar pada zamannya. "Banyak misteri belum terungkap," ujarnya.
Sayangnya, perhatian pemerintah terhadap situs sepenting ini sangat kurang. Lahan di lokasi itu masih dikuasai masyarakat, baik untuk kebun, sawah, maupun perumahan milik Perumnas seluas 15 hektare pada 1996. Menurut Buamin, tokoh masyarakat setempat, sejak adanya pembangunan perumahan di dekat kawasan Situs Biting itu, banyak benda bersejarah yang ditemukan di lokasi tersebut diperjualbelikan.
Peninggalan berupa guci, piring, hingga keramik kini berada di tangan kolektor. "Penggalian liar banyak terjadi saat itu," katanya. Warga kerap menemukan perhiasan emas berbentuk biji timun. "Itu emas tapi emas enom (muda)," ujar Buamin, yang mengaku pernah menjual benda-benda temuannya ke kolektor.
Menurut Mansur Hidayat, perusakan Situs Biting sebenarnya sudah terjadi sejak penjajahan Belanda dengan pembukaan kebun tebu yang dilengkapi rel untuk lori menuju Pabrik Gula Jatiroto pada abad ke-19. Perusakan berlanjut setelah masa kemerdekaan, ketika penduduk bertani dan berkebun. "Kerusakan juga akibat maraknya penggalian liar untuk mencari benda kuno di area situs," ujarnya.
Kawasan Situs Biting seperti ditelantarkan. Baru pada 2011 Pemerintah Kabupaten Lumajang membentuk Tim Pelestarian dan Perlindungan Cagar Budaya Kabupaten Lumajang. Balai Pelestarian PeninggalÂan Purbakala Jawa Timur mencatatnya sebagai cagar budaya prioritas pada 2012. Sayangnya, sejak itu tak ada langkah perlindungan nyata. "Pembangunan perumahan masih terus berlanjut," kata Mansur.
Balai Arkeologi Yogyakarta menyatakan Biting merupakan situs berskala nasional. Pemerintah perlu menetapkan situs ini sebagai kawasan situs nasional sebagaimana Trowulan, Candi Muara Jambi, dan Gunung Padang.
Kepala Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Lumajang Gawat Sudarmanto mengatakan pemerintah saat ini tengah menyusun Peraturan Daerah Cagar Budaya. Pemerintah Kabupaten memiliki rencana strategis untuk menjadikan Situs Biting sebagai obyek wisata serta studi sejarah. Jika pemerintah tidak segera bertindak, situs ini bakal tinggal sejarah belaka.
Agus Supriyanto, David Priyasidharta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo