Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Jalan Terjal Niciren Syosyu

Kedatangan biksu tertinggi Buddha Niciren Syosyu diprotes massa. Tak putus dirundung masalah.

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BROSUR dan cakram digital itu memang rada "istimewa". Dibagikan ke pelbagai media di Jakarta, isinya foto-foto "tak senonoh" Biksu Abe Nikken, yang datang mengunjungi Indonesia pekan lalu. Foto-foto itu memperlihatkan biksu tertinggi agama Buddha Niciren Syosyu sedunia itu berpose dengan para geisha—wanita penghibur khas Jepang. Brosur itu juga berisi kisah berbagai "tindakan kriminal" para biksu Niciren Syosyu.

"Itu tindakan keji," kata Pandita Aiko Senosoenoto, menanggapi aksi Forum Kerukunan Umat Beragama (Forkubi), yang membagi-bagikan brosur dan CD itu. "Biksu tertinggi Abe Nikken tak melakukan pesta seks," Ketua Pandita Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia itu menambahkan. Forkubi juga membawa 300 demonstran ke Departemen Agama dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, meminta pemerintah melarang Biksu Abe Nikken, yang asal Jepang itu, masuk Indonesia.

"Biksu-biksu Niciren menodai kesucian agama," ujar Arif Babhier, koordinator Forkubi. Forum ini sekalian meminta pemerintah membatalkan rencana pemberkahan Kuil Myogan-ji di Mega Mendung, Jawa Barat, oleh Biksu Abe Nikken. Tudingan "menodai agama" memang kerap menimpa Niciren Syosyu. Sekte bermazhab Buddha Mahayana ini sering dituding menyimpang dari kesucian ajaran Buddha.

Diciptakan Biksu Zesho-bo Renco pada 1253 di Kuil Seico, Jepang, sekte Niciren Syosyu (nici: matahari, ren: teratai, syosyu: ortodoks) melewati periode kelam. Pada awalnya saja Biksu Renco mengalami pelbagai upaya pembunuhan dari penganut sekte lain. Biksu Renco, yang kemudian oleh para pengikutnya disebut "Niciren Daisyonin", akhirnya diasingkan ke Pulau Sado yang beriklim sangat dingin.

Setelah Biksu Renco wafat, sekte Niciren Syosyu malah berkembang. Masuk Indonesia pada 1950 lewat para pengusaha Jepang, di sini pun Niciren Syosyu menapaki jalan terjal. Awalnya aliran ini dituding eksklusif karena mayoritas penganutnya etnis Tionghoa. Niciren juga disebut-sebut membiakkan ajaran Buddha yang nyeleneh. Pada 8 Juli 1987, Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) meminta Departemen Agama membubarkan Niciren Syosyu. Walubi menganggap sekte Niciren telah menyebarkan "ajaran sesat".

Empat bulan kemudian, November 1987, Walubi menerbitkan buku tentang "penyimpangan" Niciren Syosyu. Dalam buku yang dibagikan gratis ke umat Buddha itu, Niciren disebut-sebut tak mengakui Buddha Sakyamuni sebagai nabi bagi umat Buddha. Niciren dikatakan malah menjadikan Niciren Daisyonin, pendiri sekte ini, sebagai nabi bagi pengikutnya. Sekte Niciren dianggap sesat karena menyatakan perayaan Hari Raya Waisak sebagai "hari balas budi"—bukan hari kelahiran, pencapaian Buddha, dan kematian Pangeran Sidharta Gautama.

Semua tudingan itu disanggah Pandita Aiko Senosoenoto, yang menyatakan sekte Niciren pengikut Buddha yang setia. Sekte Niciren tetap menjalankan tisarana (tiga perlindungan): berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Memang, Aiko mengakui, Niciren memiliki perbedaan prinsip dengan sekte-sekte lain. Seorang biksu Niciren, misalnya, boleh menikah, makan daging, dan menenggak minuman beralkohol—yang terlarang sangat keras dalam sekte lain.

Niciren punya alasan. Soal minuman beralkohol, misalnya, mereka anggap tak bermasalah selama tak dikonsumsi berlebihan, sampai mabuk. Soal status perkawinan para biksu, sekte yang mempunyai 1,5 juta pengikut di Indonesia ini juga punya penjelasan. "Kalau biksu selibat, bagaimana dia memahami umatnya yang menikah?" ujar Pandita Aiko Senosoenoto. Untunglah, akhirnya sekte Niciren dan Walubi berdamai.

Direktur Agama Buddha Departemen Agama, Cornelis Wowor, menyebut tak ada pilihan bagi semua sekte selain menghargai perbedaan. Apalagi di Indonesia kini tercatat 19 sekte agama Buddha. Mereka merupakan pecahan dari tiga mazhab Agama Buddha: Mahayana, Hinayana, dan Tantrayana. "Biarkan semua berkembang," ujar Cornelis Wowor, "Tak ada yang lebih hebat dari yang lain."

Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus