PONDOK Pesantren Banyuanyar di Pamekasan, Madura, bak menghadapi pesta besar. Jumat pekan lalu, ribuan santri berkumpul di halaman, sementara seribu ulama dari seluruh Madura berkumpul di dalam pondok. Hari itu, para ulama yang tergabung dalam Badan Silaturahmi Ulama se-Madura memang berkumpul untuk mengadakan Seminar Ulama Madura II. Kali ini mereka akan mendengarkan ceramah Menteri B.J. Habibie, yang akan menjelaskan seputar pembangunan dan pengembangan Madura. Sejak meletusnya kasus Waduk Nipah di Sampang, Oktober lalu, peran ulama di Madura memang jadi terasa penting untuk melancarkan program pembangunan Pemerintah. Namun, ketua panitia seminar, K.H. Cholil A.G., membantah kalau seminar ulama ini dikaitkan dengan macetnya komunikasi antara ulama dan aparat Pemerintah setelah kasus Nipah. "Kami ingin tahu, kayak apa sih konsep Pemerintah. Jangan sampai pembangunan telah jadi, kami malah terkaget-kaget," katanya. Dengan gayanya yang blak-blakan, Habibie menjelaskan pentingnya pembangunan jembatan Madura untuk menunjang rencana mengembangkan Madura sebagai kawasan industri. Proyek jembatan Madura sepanjang 5,45 km, dengan anggaran sebesar Rp 500 miliar, rencananya akan dimulai pembangunannya pada tahun ini. Menurut Menteri Riset dan Teknologi itu, berkembangnya industri di Madura akan bermanfaat bagi masyarakat setempat. "Betapa indahnya jika suatu saat nanti orang Madura merantau bukan untuk cari kerja, tapi jadi turis ke Bali," katanya. Lalu, ia menceritakan perkembangan Batam sejak ditetapkan menjadi kawasan industri. Pernyataan Habibie tentu tak ditelan begitu saja. K.H. Kholili Rahman dari Pamekasan malah khawatir kalau pembangunan di Madura akan mengubah kultur masyarakat setempat. "Saya sempat membaca, ternyata pembangunan di Batam membawa ekses negatif," katanya. Pernyataan itu dijawab dengan tangkas oleh Habibie. Pemerintah, menurut Habibie, berusaha membangun dengan memperhatikan lingkungannya. Ia lantas mengajak 30 ulama ke Pulau Batam agar bisa melihat langsung pembangunan di sana. Ajakan itu langsung disambut hangat para ulama. Namanya juga kiai, dalam acara tanya jawab itu tak hanya soal pembangunan Madura yang ditanyakan, tapi juga soal tempat ibadah, yang akhirnya menyerempet ke soal ICMI. Seorang kiai menanyakan mengapa tidak ICMI saja yang membangun masjid dan pondok pesantren di Madura. Habibie lalu menjelaskan bahwa ICMI bukanlah organisasi politik atau badan yang bisa membangun masjid atau pesantren. Menurut Ketua ICMI itu, ilmu agama Islam saja belum cukup. Tanpa teknologi, bangsa Indonesia akan mudah tertindas. Sementara para kiai bertugas memperdalam ilmu Islam, ICMI berkewajiban membantu dalam pengembangan teknologinya, tentunya teknologi yang bernapaskan Islam. "Karena itu, saya mohon agar semua ulama dan masyarakat Islam di Madura ini menerima ICMI," kata Habibie. Ajakan Habibie itu bersambut. "Semua ulama seharusnya masuk ICMI," kata K.H. Alawy Muhammad, pemimpin Pondok Pesantren At Taroqi, Sampang. Kiai yang terkenal keras reaksinya ketika meletus kasus Sampang itu punya dasar pemikiran sederhana. Ia melihat ICMI sebagai sarana pembangun umat. "Dengan masuk ICMI, umat Islam bisa bersatu dalam pembangunan bidang ekonomi," kata Alawy. Tapi kiai yang dikenal sebagai juru kampanye PPP itu cepat-cepat menambahkan, "Masuk ICMI bukan berarti masuk Golkar."Bambang Sujatmoko, Moebanoe Moera, dan Zed Abidin (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini